Sumber gambar: http://laci-kopak.blogspot.com

Oleh: Silmi Adawiya*

Seseorang yang memiliki hati bersih akan senantiasa menggantungkan hidupnya hanya kepada Allah, ia tidak bosan dalam menjalani hidup dengan ketaatan dan selalu mengutamakan hal yang bermanfaat. Pemilik hati nan bersih ini rentan memiliki hidup indah nan bahagia, karena dalam hidupnya ia lebih mementingkan urusan akhirat daripada dunia.

Berbeda kehidupan dengan seseorang yang memiliki hati yang mati, ia akan cenderung mendahulukan kepentinga pribadinya dan syahwatnya daripada urusan ketaatan dan cinta kepada sang pencipta. Dalam QS Al-Furqan dissebutkan:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً

”Sudahkan engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ibn ‘Athaillah as-Sakandari menyampaikan kalam hikmah dalam kitabnya Al-Hikam bahwa di antara tanda-tanda hati mati adalah tidak ada kesedihan atas ketaatan yang terlewatkan dan tidak adanya penyesalan atas adanya kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Kedua tanda tersebut menunjukkan bahwa tidka adanya nilai-nilai keimanan yang tertanam kokoh dalam hatinya.

Ketika ketaatan terlewati begitu saja, hati yang mati tidak menemukan penyesalan sama sekali. Begitu dikarenakan oleh hati yang sudah tidak sehat lagi. Seharusnya hati mampu merasakan setiap hal yang mendatangkan keridhaan Tuhan, sehingga membuatnya bahagia. Sementara hati yang mati merasakan ketaatan dan murka Tuhan sama saja. Ketaatan tidak membuatnya bahagia, maksiat tidak membuatnya gundah gulana. Keduanya tidak ada perbedaan yang signifikan.

Dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw bersabda:

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ. (رواه أبو الفرج البغدادي

“Orang yang kebaikannya membuatnya bahagia dan keburukannya membuatnya sedih, maka ia seorang mukmin (yang sempurna.”

Begitu pula dengan hati yang mati, ia tidak mengenal perasaaan yang menyesal sebab kesalahan yang telah diperbuat. Ia menganggapnya hal biasa dan tetap biasa dilakukan kembali di lain waktu. Hati yang mati tidak mengenal indahnya hari-hari dengan ketaatan, melainkan ia menilainya sama saja antara kebaikan dan keburukan.

Adapun orang yang hatinya sakit, dia selalu mengikuti keburukan dengan keburukan juga. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, ”Itu adalah dosa di atas dosa sehingga membuat hati menjadi buta, lalu mati.” Sementara hati yang sehat selalu mengikuti keburukan dengan kebaikan dan mengikuti dosa dengan taubat. Dalam kitabNya, Allah menyebutkan:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَواْ إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).”


*Penulis adalah mahasiswa S2 UIN Jakarta, alumnus Unhasy dan Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.