Sumber: google.com

Oleh: Hilmi Abedillah*

Dari aspek metodologi, hukum Islam bersumber dari al-Quran dan hadits melalui proses ijtihad. Karakteristik hukum Islam yang bersendikan nash dan didukung dengan logika merupakan ciri khas yang membedakan hukum Islam dengan hukum yang lain. Teks-teks Islam terbatas, sementara problematika hukum yang memerlukan solusi tidak terbatas. Hal ini yang memaksa umat Islam yang hidup setelah berhentinya wahyu sampai kiwari (sekarang) untuk melakukan qiyas (analogi). Dalam qiyas ini ada unsur yang harus dipenuhi yang disebut dengan ‘illat.

Illat menjadi latar belakang keberadaan suatu hukum, sebagaimana yang tercantum dalam kaidah fikih ‘keberadaan dan ketiadaan hukum beredar bersama ‘illat-nya’. Namun, di sisi lain, juga istilah hikmah seolah-olah juga menjadi landasan hukum itu berada.

Secara definitif, ‘illat ialah sifat lahir yang terukur oleh batasan-batasan yang menjadi asas suatu hukum, keberadaan dan ketiadaannya mempengaruhi hukum tersebut. ‘Illat merupakan sebuah tema penting dalam bahasan qiyas. Hukum asal (kasus yang sudah ada dalam nash) dan far’ (cabang: kasus yang belum ada dalam nash) menjadi sama ketika ditemukan ‘illat yang sama ketika telah memenuhi syarat.

Sementara hikmah ialah maslahat yang ingin dicapai oleh Syari’ (pembuat syariat) dengan penentuan sebuah hukum. Beberapa ulama, termasuk Abu Zaid ad-Dabusi menyebut bahwa hikmah adalah buah dari hukum.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Secara garis besar, ada tiga perbedaan antara ‘illat dan hikmah. Pertama, hikmah merupakan suatu yang samar, tersembunyi, dan sulit untuk membuktikan wujudnya. Misalnya hikmah kebolehan jual beli yakni menghilangkan krisis pada manusia dan mencukupi kebutuhan (hajat) hidup. Akan tetapi, kebutuhan merupakan perkara yang samar.

Hukum kebolehan jual beli tidak bergantung pada kebutuhan. Namun, dialihkan pada suatu perkara yang jelas, lahir, dan terukur, yaitu ijab kabul antara penjual dan pembeli. Ijab kabul bisa menjadi tanda bahwa antara penjual dan pembeli saling rela, dan kerelaan itu menjadi cermin dari kebutuhan tadi. ‘Illat adalah sesuatu yang lahir dan jelas. Apabila ‘illat tidak jelas, maka tidak akan ada qiyas dari satu kasus terhadap kasus yang lain. Karena ‘illat menjadi ganti dari dalil.

Perbedaan kedua, hikmah tidak mundlabith (terukur). Membuat hikmah bisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain, begitupun antara satu keadaan dengan keadaan lain. Misalnya, rukhsah (keringanan/dispensasi) bagi orang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa Ramadan. Hikmahnya adalah ‘menghilangkan kepayahan’. Namun terkadang, ada dari orang sakit dan musafir yang kuat puasa, dan yang tidak sakit dan tidak musafir malah tidak mampu puasa. Oleh karena itu, ‘menghilangkan kepayahan’ tidak bisa menjadi tempat hukum itu bergantung. Maka, ia harus melihat sesuatu yang mundlabith (terukur), yaitu sakit dan safar (pergi). Jadi, ada atau tidaknya kepayahan tidak mempengaruhi hukum. Yang mempengaruhi hukum ialah ada tidaknya sakit dan safar.

Ketiga, ‘illat itu tunggal. Misalnya ‘illat khamr ialah memabukkan. Sedangkan hikmah bisa plural yang kadang diketahui seorang ulama namun tidak diketahui ulama lain. Contohnya hikmah disyariatkan zakat, yaitu hiburan kepada fakir miskin sekaligus untuk memenuhi kebutuhan mereka, juga untuk membersihkan jiwa manusia dari keserakahan, dan hikmah-hikmah lainnya.

Hikmah merupakan perkara Allah yang agung nan indah. Kadang ditampakkan pada semua hambanya, kadang diperlihatkan pada sebagian orang saja. Kadang ditampakkan pada suatu masa, tidak pada masa yang lain. Namun, hikmah tidak menjadi landasan hukum. Yang bisa menjadi landasan hukum, sebagai ganti dari dalil, ialah ‘illat.


Sumber:

Taisir Ilmi Ushulil Fiqh

Mandhumatul Qowaid al-Fiqhiyyah


*Redaktur Majalah Tebuireng