Oleh: Achmad Fatturohman Rustandi*
Cape Town salah satu kota besar di Afrika Selatan, sebagai tujuan utama pariwisata Benua Afrika, kota dengan sejumlah objek wisata yang mempesona. Table Mountain, gunung besar di tengah kota, seolah menjadi simbol kokohnya kota ini dengan hamparan pantai yang siap memanjakan mata mengelilingi seluruh kota. Kebun anggur di musim panas menjadi tujuan utama turis dari mancanegara. Kota ini juga dikenal sebagai tempat pendidikan nomor wahid di Republik Afrika Selatan.
Negara Afrika Selatan memiliki populasi 52 juta penduduk, 1.5 % diantaranya adalah muslim, di kota Cape Town persentasenya 9,7%. Walau dengan populasi muslim sedikit, makanan halal sangat mudah dijumpai dikota ini, banyak restoran yang menyediakan makanan halal, bahkan hampir seluruh restoran cepat saji asal Amerika sudah berlabel halal.
Pengalaman Menjadi Minoritas
Di Indonesia sebagai negara mayoritas muslim, dan iklim tropis, berpuasa bukan masalah yang sulit, namun cerita menjadi berbeda, ketika saya seorang pelajar muslim tinggal di negara mayoritas non muslim, dan memiliki empat musim. Beruntungnya puasa kali ini bertepatan musim dingin, artinya matahari siang lebih sedikit. Di musim dingin puasa lebih pendek, waktu Subuh jam 06.30 pagi dan 17.50 sore sudah berbuka puasa.
Toleransi dan keramahan Cape Town begitu terasa, kota kosmopolitan di provinsi Western Cape mengajarkan kita keberagaman, bayangkan dengan populasi muslim kurang dari 10%, masjid diperbolehkan dengan bebas menggunakan pengeras suara untuk mengumandangkan Azan dan acara perayaan hari besar umat Islam.
Shalat Tarawih menjadi ibadah yang tidak boleh ketinggalan selama Ramadhan di kota ini, sebab setiap masjid berlomba-lomba menampilkan performa terbaiknya, imam yang hafal Al Qur’an disiapkan untuk menambah ke-khusuk-an Tarawih. Hampir semua masjid melaksanakan Shalat dengan bacaan satu Juz Al Qur’an setiap hari, sehingga satu bulan sedikitnya khatam Al-Qur’an satu kali. Bila rindu Tanah Air, saya bisa berbuka puasa dengan Bubur, Bubur jadi makanan khas warga lokal yang biasa disajikan hanya pada bulan puasa.
Warisan Islam Nusantara
Agama Islam masuk Afrika Selatan sekitar tahun 1652, bersama masuknya Syaikh Yusuf Al Makassari, seorang ulama Nusantara yang dijadikan tahanan politik, pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional dua bangsa, Indonesia dan Afrika Selatan. Jejak warisan Nusantara sangat mudah kita kenali, banyak terminologi dan praktik keagamaan menggunakan bahasa Indonesia, seperti kata “Lebaran” untuk Idul Fitri, “Puasa” untuk berpuasa Ramadhan, dan kata “buka” untuk berbuka puasa, masih eksis digunakan sebagai percakapan sehari-hari.
“Apa kabar? Selamat datang!,” sapaan ramah muslim Cape Town kepada saya, awalnya sempat kaget, mereka bisa menyapa dengan Bahasa Indonesia, mungkin ini dipengaruhi akulturasi budaya Indonesia dengan kearifan lokal. Tidak sampai disitu, ritual ziarah kubur, shalawat Maulid ad Diba’i, al Barzanji, dan doa sesudah Tarawih di masjid, kental sekali rasa Nusantara-nya. Kota dengan nama lama Cape of Good Hope ini, memberikan cita rasa Indonesia di Benua Afrika.
Akhir abad 18, Satu abad setelah kedatangan Syaikh Yusuf, seorang pangeran dari kerajaan Tidore Maluku, Tuan Guru Abdullah Qadi Bin Abdus Salam dijebloskan ke penjara Robben Island, bui yang sama dipakai Nelson Mandela dua abad berikutnya. Nama Tuan Guru sangat terkenal di komunitas muslim Cape Malay (sebutan orang keturunan Indonesia). Di daerah Tana Baru Bo-Kaap, Cape Town, berdiri Awwal Masjid, masjid pertama yang dibangun di Afrika Selatan oleh Tuan Guru asal Indonesia itu.
Ketika di penjara Robben Island Tuan Guru menulis banyak manuskrip, salah satunya menulis kitab suci Al Qur’an langsung dari hafalannya. Manuskrif Al Qur’an ini bisa kita lihat di dalam Awwal Masjid. Namun sayangnya maha karya pendahulu kita ini, belum banyak diketahui generasi muda Indonesia saat ini.
Pengalaman berpuasa yang luar biasa di negeri Rainbow Nations, saya bersyukur bisa mencicipi makanan, budaya, bahasa, ritual keagamaan dengan rasa Indonesia di benua berbeda. Bangga menjadi Indonesia.
*Penulis adalah Alumnus Madina Institute South Africa & Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng.