Oleh : Fitrianti Mariam Hakim*
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i adalah anak dari paman Rasulullah Saw. dengan garis keturunan bertemu dengan beliau pada kakeknya yang bernama Abdul Manaf. Rasulullah berasal dari ketururnan Hasyim bin Abdi Manaf, sedangkan Imam Asy-Syafi’i berasal dari keturunan Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Sebagaimana yang disabdakan Nabi dalam sebuah hadis,
إنما بنو المطلب، وبنو هاشم شيء واحد
“Sesungguhnya keturunan Al-Muthalib dan keturunan Hasyim adalah satu. (HR.Al-Bukhari, 6/616, Abu Dawud, no. 2962, dan An-Nasa’i, 7/130-131)
Imam An-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa seungguhnya Imam Asy-Syafi’i adalah termasuk manusia pilihan yang mempunyai akhlak mulia dan mempunyai peran yang sangat penting dalam sejarah Islam. Pada diri Imam Asy-Syafi’i terkumpul berbagai macam kemuliaan karunia Allah, diantaranya adalah nasab yang suci bertemu dengan nasab Rasulullah dalam satu nasab dan garis keturunan yang sangat baik. Ini semua merupakan kemuliaan paling tinggi yang tidak ternilai dengan materi.
Karir dan Keilmuan
Di luar itu, kecerdasan Imam Asy-Syafi;i sudah nampak sejak kecil. Pada awal menuntut ilmu, Imam Syafi’i berkata, “Aku adalah seorang yatim di bawah asuhan ibuku. Ibuku tidak mempunyai dana guna membayar seorang guru untuk mengajariku. Namun, seorang guru telah mengizinkanku untuk belajar dengannya ketika ia mengajar yang lain.” Kemudian, setelah Imam Asy-Syafi’i selesai mengkhatamkan al-Qur’an, ia melanjutkan menghafalkan hadis-hadis dan permasalahan-permasalahan agama. Yang pada waktu itu, Imam Asy-Syafi’i masih tinggal di Makkah, di suku Khaif.
Dalam keadaan yang demikian terbatas itu, pada suatu hari Imam Syafi’i melantunkan syair. Terdapat Sekertaris Ubay memacu kendarannya untuk mendekati Imam Asy-Syafi’i, kemudian berkata, “Orang sepertimu akan kehilangan muru’ah kalau hanya seperti ini saja. Dimana kemampuanmu di bidang fikih?” Pada peristiwa inilah, Imam Asy-Syafi’i tergerak untuk mempelajari fikih.
Imam Asy-Syafi’i kemudian mulai pergi kepada seorang mufti di Makkah, Ibnu Khalid Az-Zanji untuk mempelajari fikih, juga kepada Imam-imam di Makkah lainnya. Setelah itu, ia pindah ke Madinah dengan tujuan berguru kepada Imam Malik bin Anas. Ketika di Madinah, Imam Asy-Syafi’i dikenal dengan mulia karena nasab, ilmu, analisa, akal, dan budi pekertinya.
Pada Imam Malik, ia belajar dan menghafal kitab al-Muwatha’. Kemudian pindah ke Yaman dan diperkenalkan dengan metode-metode cemerlang yang baik sekali. Dari Yaman, ia lalu pindah ke Irak, ia berdebat dengan Muhammad bin Al-Hasan dan ulama yang lain. Disanalah Imam Asy-Syafi’i menyebarkan ilmu hadis dan mendirikan madzab-madzabnya untuk membantu perkembangan sunnah Nabi Muhammad saw. Hasilnya, keutamaan Imam Syafi’i semakin dikenal hingga namanya mengangkasa memenuhi setiap dataran bumi Islam.
Keutamaan Imam Asy-Syafi’i semakin mencuat ketika dalam event perdebatan, ia patahkan dan mentahkan dengan hujjah para Ulama Irak dan daerah sekitarnya dengan telak dan baik sekali. Akhirnya banyak sekali orang-orang yang berpindah dari madzab terdahulu telah diikuti untuk pindah ke madzab Imam Syafi’i serta berpegang teguh pada metode yang digunakannya.
Hingga selama ia tinggal di Irak, Imam Asy-Syafi’i mengeluarkan kitab karyanya yang bernama Kitab al-Hujjah yang kemudian di kenal dengan Qaul Qadim Imam Asy-Syafi’i. Hingga pada tahun 199 Hijriyyah, dia meninggalkan Irak, untuk pergi ke Mesir, dan semua karyanya yang dikenal Qaul Jadid ditulis di Mesir.
Melihat kemulian pada diri Imam Asy-Syafi’i ada banyak sekali sanjungan-sanjungan mengenai dirinya. Abu Nu’aim Al-Hafidz berkata, “Di antara para ulama terdapat imam yang sempurna, berilmu dan mengamalkannya, mempunyai kemuliaan yang tinggi, berakhlak mulia, dan dermawan. Ulama demikian ini adalah cahaya di waktu gelap yang menjelaskan segala kesulitan dan ilmunya menerangi bumi dari bagian Timur sampai barat.”
Fakhruddin Ar-Razi berkata, “Sesungguhnya sanjungan dan pujian para ulama terhadap Imam Asy-Syafi’i sangat banya sekali dan tak terhitung jumlahnya. Di sini kami mencoba menyebutkan sebab-sebab mereka mencintai Imam Asy-Syafi’i; dahulu sebelum munculnya Imam Asy-Syafi’i, menusia terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu Ashab al-Hadits dan Ashab ar-Ra’yi.
Ashab al-Hadits adalah kelompok yang suka menghafal hadis-hadis Rasulullah. Mereka lemah dalam pemikiran dan analisa. Oleh sebab itu, ketika mereka ditanya atau dimintai solusi tentang problematika kehidupan oleh Ashab ar-Ra’yi, maka mereka kebingungan.
Sedang Ashab ar-Ra’yi adalah kelompok yang pandai dalam pemikiran dan analisa, akan tetapi mereka kurang pengetahuan sunnah dan atsar.
Sementara, Imam Syafi’i menguasi sunnah Nabi dan mendalami dasar-dasar kaidahnya, ia juga menguasai retorika serta dasar-dasar berdiplomasi. Semua kelebihan itu digunakan Imam Asy-Syafi’i untuk mendukung dan membantu eksistensi hadis-hadis dari Rasulullah saw.
Oleh karena itu, ketika ada orang melontarkan pertanyaan yang sulit dipecahkan oleh Ashab al-Hadits atau menyanggah jawaban dari Asy-Syafi’i, maka dengan mudah Imam Asy-Syafi’i menepis dan menjawab dengan jawaban yang jelas, lengkap dan menyenangkan pikiran. Inilah sebab dimana pujian-pujian dan sanjungan mengalir pada diri Imam Syafi’i, baik dari ulama besar maupun ulama salaf.
Murid-murid Imam Asy-Syafi’i membagi karya Imam Asy-Syafi’i menjadi dua macam, yaitu al-Qadim dan al-Hadits. Seperti yang telah dijelaskan, al-Qadim adalah kitab-kitab yang ditulis di Baghdad, yaitu Kitab Al-Hujjah. Sedang al-Hadits adalah kitab-kitab yang ditulis di Mesir, yaitu Kitab Al-Umm, As-Sunan Al-Ma’tsurah, Ar-Risalah, dan banyak kitab Musnad lainnya.
Wafat
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Menjelang wafatnya, Imam Asy-Syafi’i menderita penyakit yang kronis, sampai-sampai darahnya mengalir ketika ia sedang menaiki kendaraanya. Aliran darah itu berceceran sampai memenuhi celana, kendaraan dan telapak kakinya.”
Hingga pada suatu hari, Yunus bin Adbil A’la membesuknya, kemudian berkata, “Wahai Abu Musa, tolong bacakan untukku setelah ayat 120 dari surat Ali Imran. Kemudian aku membacanya untuknya dengan suara yang lirih. Tatkala aku hendak berdiri, ia berkata, “Jangan lupakan aku. Sesungguhnya aku sedang dalam kondisi payah.” Yunus berkata kepada Ar-Rabi’, “Imam Asy-Syafi’i berharap dengan bacaanku tersebut, ia dapat bertemu dengan Rasulullah,para sahabatnya dan orang-orang shaleh.’
Kemudian Ar-Rabi’ menjenguk Imam Asy-Syafi’i dan berkata, “Wahai guru, bagimana kondisimu sekarang?.”
Imam Asy’Syafi’i menjawab, “Aku rasakan bahwa sudah tiba waktunya meninggalkan dunia dam berpisah dengan saudara-saudaraku. Sungguh, kematian sudah lekat, kembali kepada Allah sudah dekat untuk mempertagunggjawabkan amal keburukan yang kuperbuat.”
Setelah berkata demikian, Imam Asy’Syafi’i kemudian mengarahkan pandangannya ke langit menerawang jauh. Imam Asy-Syafi’i meninggal pada malam Jum’at setelah Magrib. Jasadnya dimakamkan pada hari Jum’at setelah Ashar, hari terakhir bulan Rajab.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.