Suasana sawah dan rutinitas ibu. (sumber: tribunnews)

Matahari baru saja bangun dari tempat pertapaannya yang cukup panjang. Cukup untuk menyiapkan kemilau terang dengan kemewahan senjanya di pagi hari, saat wanita berumur setengah abad bergegas pergi menengok padinya yang mau menguning. Ia kupanggil ibu, tiada lain. Aku selalu ingat bagaimana Ibu membangunkanku dari mimpiku yang lelap di saat senandung kalimat azan shalat fajar berkumandang jelas.

Sesekali aku merasa dongkol dengan Ibu, sebab ia terkadang menghancurkan mimpiku yang sedang asik bermain petak umpet bersama teman-temanku. Kadangkala, aku berterimakasih kepada ibu ketika ia membangunkanku dari mimpi buruk dikejar anjing atau di kala aku akan terjatuh ke dalam jurang atau barangkali di kala aku akan tenggelam dalam lautan.

“Mimpi adalah keadaan paling melamun, Nak. Bangunlah.” Pesan ibu di saat aku merengek ingin melanjutkan tidur. Dengan terpaksa aku bangun melanjutkan sisa-sisa nafas dalam kehidupan penuh riuh ini. Sampai aku beranjak dewasa, sampai senyum simetris ibu hanya bisa kupandang hanya dalam sebentuk bayangan beberapa waktu setelah jantung ibu berhenti berdetak dan dishalatkan di altar persembahan dan diantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Masa kecil yang dahulu terkisah dalam lembaran masa lalu itu membuatku ingin menengok kembali, masa-masa di mana aku merasakan duka cinta ibu. Di pagi hari, ibu memasak santapan pagi hari sebelum aku berangkat ke sekolah dan memasangiku kancing seragam sekolah. Kadangkala menjahit celanaku yang robek akibat ulah liarku. Setiap Minggu pagi, ibu memeriksa jari-jemariku, memotong kuku dekilku agar esok ketika aku akan menyeberang ke hari Senin dari pelabuhan Minggu, aku dalam keadaan bersih dan gagah mengikuti apel bendera.

“Nak, setelah pulang sekolah langsung makan ya. Sepertinya, Ibu pulang dari sawah sore hari.” Pesan yang selalu aku dengar ketika Ibu akan pergi ke sawah dan terlambat pulang. Selain memikirkan padinya yang sedang menguning, ia juga tak jemu-jemu mikirkan anaknya yang sedang tumbuh. Kadang juga ibu sering telat sarapan, sebab kesibukkanya di pagi hari. Menyapu dan membersihkan seisi rumah. Belum lagi menyapu daun-daun yang gugur di malam hari di pekarangan rumah. Mencuci baju pramuka yang akan kupakai di hari Rabu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ia tak sempat sarapan pagi. Ibu membawa bekal sarapan sekaligus makan siang ke sawah ladang, menaruhnya dalam bakul dan menyantapnya sendiri di dangau sambil memandang ke arah gugusan padinya yang rimbun. Di dalam bakul, ibu tak lupa menaruh sebilah sabit untuk membersihkan dan menebas rerumputan liar di pematang atau sewaktu-waktu ketika ibu menemukan seekor ular liar yang merayap di semak-semak dan parit ketika ingin menyela belukar dan sampah yang membikin mampet saluran air menuju sawah.

Pernah dalam suatu waktu, ibu terkejut ketika aku sekonyong-konyong datang menemuinya di sawah setelah pulang sekolah tanpa mengganti seragam terlebih dahulu. Dari kejauhan, nampak ibu sedang berdiri di pematang sawah memandangi padinya.

Awalnya, aku mengira itu orang-orangan sawah, namun ketika ia mengusapkan tangan kirinya di dahinya, aku sadar kalau itu adalah ibu yang sedang berdiri di bawah terik matahari. Peluh keringatnya bercucuran tanpa keluh. Sesekali ia memandang jauh di setiap sudut sawah untuk memastikan apakah segerombolan burung emprit nakal memakan bulir-bulir padinya yang baru menguning.

Jika segerombolan burung emprit turun, ibu langsung bergegas menyiapkan bedil dan mengisinya dengan peluru yang telah disiapkan dalam bungkusan karung semen bekas. Bedil ibu telah siap membidik kepala burung-burung nakal dan kemudian menembakinya bagai seorang pemburu yang telah terlatih di hutan rimba.

Senjata ibu tak seperti bedil para serdadu yang sedang berperang di medan tempur. Tidak pula seperti bedil seorang pemburu terlatih. Pun tidak menyerupai senapan angin milik pemburu amatiran. Bedil ibu hanyalah potongan bambu yang diisi oleh kerikil-kerikil sungai yang dimasukkan ke lubang bambu. Cara memakainya pun cukup mudah; hanya memasukkan segenggam kerikil dan melemparnya ke objek sasaran.

“Kapan aku bisa membahagiakan ibu?” Batinku. Ibu tidak pernah mengeluhkan kepalanya yang pening akibat pukulan sinar matahari sepanjang hari. Ibu juga tidak pernah merengek jika kakinya pegal akibat berjalan ribuan meter setiap hari tanpa henti dan berdiri ribuan kedip saat berada di pematang sawah. Sedangkan aku, mengerang sejadi-jadinya jika ibu tidak memberikanku uang jajan lebih dari yang aku inginkan. Meskipun kebadunganku begitu berangasan, ibu selalu datang membawa cinta. Meskipun tetesan tangisku melebihi betak-betak keringatnya, ia datang dengan tulus, mengusapi air mataku yang nista dengan renjana kasih sayang.

*****

Suatu waktu, ibu juga pernah mendapati hujan di sore hari tatkala matahari hampir saja terlelap. Waktu itu, dari siang hari, langit memang murung dan beberapa kali mengeluarkan gelegar suara yang bagi anak kecil sepertiku, suara langit itu sebagai tanda kemarahan Tuhan. Semakin besar dentumannya, semakin besar pula kemarahan Tuhan.

Namun, bagi ibu hujan adalah rahmat tuhan, meski dijalan baju ibu basah kuyup. Tetap saja hujan adalah rahmat baginya. Sesekali aku mengumpat hujan karena iba melihat ibu. Siapa yang bisa membantuku kembali menyelinap dalam lembaran secinta ibu?

“Sudahlah, Tan. Sudahi sendumu. Relakan ibumu mendekap dalam kasih Tuhan.” Malam itu terasa senyap. Seorang laki-laki bernama Tanur hampir saja mati sia-sia. Untung saja, gadis pelacur menghentikan percobaan bunuh diri itu. Setelah ia berhasil menenangkan hati Tanur, ia menyimak dan mencoba masuk dalam kehidupan Tanur.

“Apa yang berguna bagi hidup tanpa kasih ibu?”

“Aku mengerti, Tan.” Ucap gadis yang menjumpainya di atas jembatan kematian, “Aku menikmati kisahmu,” tapi, kamu tidak harus memilih bunuh diri. Jika kamu mencintainya, bukankah doa adalah pelarian terbaik?” Tentu saja darah yang akan terbuang sia-sia itu tidak bisa membuat ibunya bahagia di alam baka. Tanur tidak sadar, tindakannya itu malah akan membuat ibunya muram di atas langit. Mungkin saja gemercik hujan malam ini berasal dari air mata ibunya yang tengah menangisi anaknya.

Gemercik hujan membasahi alis mereka yang kalis. Air mata Tanur tak tertangguhkan pada malam yang kejam ini. Meski air mata Tanur mengalir begitu deras, gadis rupawan itu terus mencoba menyelamatkan Tanur dari jurang nadir. Tanur kembali tenang. Memang tidak mudah hidup dalam perantauan. Begitupula bagi Tanur. Ia hidup seorang diri di dalam kesepian di sebuah kamar kos sederhana. Ia bekerja sebagai tukang koran. Ia terpaksa bekerja untuk membiayai hidup dan kuliahnya.

Ibunya meninggal secara tragis. Ia ditabrak lari oleh mobil sedan sewaktu ia akan pulang kampung setelah menemui Tanur beberapa hari sebelumnya. Pengemudinya berhasil lolos dan sampai sekarang tidak ditemukan batang hidungnya. Nafasnya berhenti di tempat dan tidak tertolong. Kala itu, ibunya sengaja datang tiba-tiba di hari ulang tahun Tanur sebagai kado terindah untuk anak semata wayangnya. Tanur kaget dengan kedatangan ibunya yang datang dari kampung seorang diri.

Tanur tak sempat menikmati kado terindah dari ibunya. Ibunya memilih pergi meninggalkannya. Padahal ibunya tidak bersalah sedikitpun. Tapi kenapa ibunya harus menjadi korban malam penuh duka itu. Entahlah. Sebenarnya ini tahun terakhir kuliahnya. Ia tak sabar untuk pulang menemui ibunya di rumah. Menemaninya pergi menengok sawah dan berperang melawan pasukan burung emprit yang nakal, seperti masa kecilnya beberapa tahun silam. Sayangnya, keinginannya tak tersampaikan. Kegirangannya berakhir dengan kematian seorang ibunya.

“Aku, tidak bisa menemanimu lebih lama, Tanur,” ucap gadis itu, “yang pasti, kau harus lebih lama.”

Tanpa berlama-lama, gadis itu meninggalkan Tanur seorang diri atas jembatan, tempat ia ditemukan. Kini tanur kembali seorang diri. Menatap keras bebatuan karam dari atas jembatan. Seandainya gadis itu tidak datang, kepala tanur mungkin sudah pecah oleh bebatuan itu. Untungnya, Tuhan mengutus seorang gadis pelacur untuk menyelamatkannya. Sayang, ia belum sempat berkenalan dengan gadis itu. ia kesal. Bagaimana tidak, ia tak menanyakan sedikitpun tentang gadis itu. Nama pun tidak. Apalagi sempat mengucapkan rasa terimakasih.

“Kamu harus hidup lebih lama.” Kata-kata itu selalu saja diingat. Dia penasaran dengan gadis itu. Ia begitu anggun. Tanur ingin menatap mata gadis itu lebih lama lagi. Nampaknya, ia jatuh cinta. Selama ini, tidak ada yang mengingatkannya tentang hidupnya kecuali ibunya. Dan setelah ibunya tiada, gadis itulah yang pertama kali mengutarakan itu padanya.

Kemana Tanur mencari perempuan yang membuat dirinya hidup kembali? Ia sendiri kebingungan. Ia tak tahu alamatnya. Yang ia ingat hanya keanggunan mata yang membuatnya jatuh cinta.

Setelah berada di kamar kosnya, ia menidurkan kepalanya di atas bantal sambil menatap langit-langit kamar yang usang dan lapuk penuh dengan sarang laba-laba. Meski demikian, keusangan itu tergantikan oleh bayangan elok wajah gadis yang menyelamatkannya dari kematian yang buru-buru. Tak lama kemudian, ia terlelap dan hanyut dalam mimpi cinta seorang gadis penolong.

Keesokan harinya, ia kembali menjalankan rutinitasnya sebagai tukang koran. Hidup di antara langkah kaki yang tergesa-gesa di halte dan stasiun kereta api. Laki-laki berambut cepak dan hidung lancip itu terbiasa dengan keramaian. Ia biasanya menunggu di halte sambil menawarkan koran kepada orang-orang yang berlalu lalang. Hampir empat jam waktu berjalan, ia merasa gerah dan istirahat sejenak. Di sela-sela melepas lelah, Tanur mengambil selembar koran. Melihat berita apa saja yang menarik hari itu.

Di lembar ketiga, foto seorang gadis berumur dua puluh empat tahun terpampang di koran yang berada di antara kedua tangannya. Ia bernama Ranya. Seorang gadis yang sedang diburu oleh aparat sebagai Daftar Pencarian Orang. Kabarnya, ia adalah pelaku tabrak lari dan pemilik sedan yang telah  menabrak seorang perempuan tua beberapa hari yang lalu. Beritanya, gadis itu dalam keadaan mabuk selepas kembali dari klub malam. Seorang gadis idaman Tanur yang sempat membuatnya jatuh cinta semalam suntuk. Tak pernah ia merasakan cinta sedalam itu, walaupun hanya dalam waktu semalam.  Dan hari ini, ia tahu bahwa gadis itulah yang menabrak ibunya sampai nafasnya enyuh hilang sekerdip mata.

“Aku, tidak bisa menemanimu lebih lama, Tanur.” 

Benar kata gadis itu. Ia seolah menepati janji. Gadis bernama Ranya tak bisa menemani Tanur lebih lama lagi.



Penulis: Khaerul Majdi