Oleh: Almara Sukma Prasintia*

Setiap agama mempunyai aturan dan hal yang wajib dilaksanakan bagi pemeluk agama tersebut. Dalam agama Islam shalat lima waktu merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang sudah memenuhi syarat-syarat shalat. Shalat lima waktu juga merupakan salah satu rukun Islam. Apabila meninggalkan hal yang wajib konsekuensinya adalah berdosa.

Sakit merupakan hal yang tidak ingin dialami oleh semua orang. Makan pahit, minum pahit, badan capek itulah kondisi orang yang sedang sakit. Meskipun sakit kewajiban shalat tetap tidak bisa ditinggalkan. Bagaimana dengan orang yang sakitnya sudah parah, koma misalnya. Apakah hal wajib tersebut bisa digantikan oleh keluarganya?

Sholat lima waktu adalah ibadah wajib yang khusus diwajibkan atas setiap individu hamba yang kewajibannya dilakukan di waktu-waktu tertentu dengan tata cara tertentu dan sesuai dengan kemampuan dan kondisi individu tersebut kecuali saat tidak lagi ada akal dan nyawanya. Bila tak mampu berdiri, maka duduk. Jika tak bisa duduk maka berbaring.

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ طَهْمَانَ ، قَالَ : حَدَّثَنِي الْحُسَيْنُ الْمُكْتِبُ ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ : كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةِ فَقَالَ : ” صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “.[1]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Telah menceritakan kepada kami Abdan, dari Abdillah, dari Ibrahim bin Tohman, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Husain Al-Muktib, dari Ibni Burdah, dari Imron bin Husoinin Radhiyallahu Anhu yang saat itu sedang menderita sakit wasir, kemudian ia berkata; Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sholat, Rasulullah Saw, bersabda:”Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak bisa maka duduklah, dan jika tidak bisa maka shalat dengan berbaring”.

Apabila hanya sakit pusing, panas, dan sejenisnya, tapi masih bisa berdiri maka wajib baginya untuk berdiri, apabila tidak sanggup berdiri maka baru boleh shalat duduk, apabila sudah tidak mampu untuk duduk barulah boleh shalat dengan berbaring. Posisi shalat bisa dilihat dari keadaan orang yang sakit, tidak semua orang yang sakit boleh shalat dengan duduk atau berbaring.

Bila ada udzur syar’i dalam pelaksanaannya, maka kewajibannya tertunda sampai hilang dan berlalu udzur tersebut. Sehingga ibadah shslat ini menjadi ibadah yang tak bisa digantikan pelaksanaannya oleh orang lain dan dengan sesuatu yang lain.

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abdul A’la telah menceritakan kepada kami Said dari Qatadah dari Anas bin Malik katanya; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa lupa shalat atau ketiduran karenanya, maka kaffaratnya adalah menunaikannya disaat ingat.”[2]

Kewajiban shslat orang tua tersebut tertunda sampai orang tua sudah sadar (siuman). Dan tidak bisa digantikan oleh siapapun termasuk anak sendiri. Adapun anak bisa melakukan amal kebaikan, karena semua amalan anak akan sampai pahalanya ke orang tuanya walau tanpa diniatkan, karena anak adalah hasil usaha orang tuanya sekaligus aset bagi keduanya.

Anak bisa mendoakan akan kebaikan orang tuanya, bertawassul kepada Allah dengan amal-amal sholih, seperti puasa, sholat, bersedekah, dll. lalu minta kepada Allah agar segera diberikan kesembuhan penyakit orang tuanya.

Huwallahu’alam

[1] HR . Bukhari no. 1117

[2] HR. Muslim, no. 684


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari