Sumber: Bukalapak.com

Oleh: Hilmi Abedillah*

Keahlian manusia dalam berinovasi berhasil menemukan fakta-fakta baru mengenai serangga dan hewan-hewan melata. Semula, tidak banyak serangga yang diketahui manfaatnya, mungkin hanya lebah dengan madunya, ulat sutra, dan lintah untuk pengobatan. Dengan kreativitas tinggi, beberapa pebisnis membuat souvenir dari serangga, semisal gantungan kunci, menciptakan tas dari kulit ular, pengobatan dengan tokek, dan berbagai kreativitas lainnya. Serangga akhirnya menjadi komoditi yang tidak remeh.

Jual beli (bai’) secara etimologi adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. Sementara secara terminologi ialah akad yang di dalamnya terdapat penukaran harta dengan harta dengan syarat tertentu untuk dimiliki bendanya atau diambil manfaatnya. (Nihayatul Muhtaj, VIII, 19)

Mula-mula kita harus mengetahui bahwa dalam akad jual beli terdapat tiga rukun: (1) ‘aqid (orang yang akad) yaitu penjual dan pembeli, (2) ma’qud ‘alaih (barang yang diperjualbelikan), (3) shighat (ijab qabul). Dalam pembahasan ini, kita menitikberatkan pembahasan pada rukun kedua, yaitu barang yang diperjualbelikan. (Nihayatuz Zain, 223)

Ada lima syarat dalam ma’qud ‘alaih yang harus terpenuhi agar jual beli menjadi sah. Pertama, barang harus suci. Maka, tidak boleh menjual anjing, khamr, dan benda mutanajjis yang tidak bisa disucikan, seperti cuka, madu, susu, dan minyak yang kemasukan najis. Kedua, bermanfaat secara syara’. Oleh karena itu, dilarang memperjualbelikan serangga yang tidak ada manfaatnya. Tidak boleh juga menjual binatang buas yang tidak ada manfaatnya, seperti singa, gagak, rajawali, dan serigala yang tidak bisa dimakan. Maksud dari dua syarat ini adalah tidak ada pelanggaran dalam syara’.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketiga, bisa diserahkan. Tidak boleh menjual burung yang sedang terbang, atau barang-barang yang hilang atau dighoshob. Keempat, dimiliki oleh penjual atau dalam kekuasaannya. Maka, dilarang bai’ fudluli (menjual barang milik orang lain tanpa izin pemiliknya). Kelima, diketahui oleh kedua belah pihak, baik jenis barangnya, kadarnya, maupun sifatnya. (al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, V, 50)

Dari kelima syarat tersebut, serangga disinggung dalam syarat kedua, yakni dengan tidak adanya manfaat di dalamnya. Akan tetapi, manfaat yang dimaksud bukanlah manfaat dalam paradigma manusia, melainkan berdasarkan syariat Islam. sehingga ini berkaitan dengan halal-haram.

Dalam Qowaidul Buyu’ wa Faraidul Furu’ disebutkan sebuah kaidah jual beli:

ما صح نفعه صح بيعه إلا بدليل

“Apapun yang sah dimanfaatkan, sah pula diperjualbelikan, kecuali dengan dalil.” (Qowaidul Buyu’ wa Faraidul Furu’, 29)

Menurut kaidah ini, barang yang diperjualbelikan harus:

  1. Terdapat manfaat. Barang yang sama sekali tidak ada manfaatnya tidak sah diperjualbelikan, karena termasuk menyia-nyiakan harta, mubazir.
  2. Manfaatnya mubah. Dengan syarat ini, barang yang manfaatnya haram tidak sah diperjualbelikan, semisal khamr.

Jika diterapkan dalam kasus yang sedang kita bahas, serangga ada bermacam-macam bentuk dan fungsinya. Dalam Nihayatul Muhtaj disebutkan, “Tidak sah menjual serangga yaitu binatang darat yang kecil, seperti tikus, kumbang, ular, kalajengking, dan semut. Dan tidak ada anggapan manfaat khusus dari binatang yang disebutkan. Dan dikecualikan (boleh dijual) yarbu’ (jerboa, sejenis tikus), dlabb (kadal uromastyx) yang halal dimakan, lebah, ulat sutra, dan lintah untuk menyedot darah.” (Nihayatul Muhtaj, VIII, 26)

Sedangkan dalam Qowaidul Buyu’ wa Faraidul Furu’ disebutkan pula hukum jual beli burung yang enak didengar suaranya dan dipandang warnanya, “Sesungguhnya ada manfaat dalam burung itu, yaitu dengan mendengarkannya, dan manfaat itu tidak dilarang oleh syara’.” Oleh karena itu, ikan hias juga boleh diperjualbelikan, sekalipun tidak untuk dimakan. (Qowaidul Buyu’ wa Faraidul Furu’, 34)

Dengan begitu, prinsip barang yang boleh dijual ialah yang ada manfaatnya secara syara’. Dan manfaat ini bermacam-macam, selama tidak melanggar hukum. Ibarat yang kita petik dari Nihayatul Muhtaj di atas, menyebutkan bahwa ular tidak boleh diperjualbelikan. Pendapat tersebut dalam kondisi masa itu, sedangkan manusia semakin pintar dalam mengolah bahan-bahan menjadi komoditas yang bernilai. Ular yang diperjualbelikan untuk dimakan, jelas dilarang oleh syara’. Melihat perkembangannya, ular juga dimanfaatkan kulitnya untuk dibuat sabuk, tas, dan sepatu. Ini juga tidak diperbolehkan, karena ular adalah hewan yang tidak boleh dimakan, memanfaatkan kulitnya tidak boleh pula.

Jual beli tokek untuk pengobatan memerlukan rincian yang banyak dan membutuhkan penjelasan yang luas. Jika lintah yang diperjualbelikan untuk pengobatan hukumnya boleh, apakah begitu sama dengan tokek? Singkatnya, proses pemakaian lintah dan tokek tidak sama. Lintah tidak dimakan, melainkan ditempelkan di kulit saja untuk menyedot darah. Sementara tokek, jika dimakan, harus ada syarat yang harus dipenuhi. Karena tokek menurut hukum asal haram dimakan, maka ia harus menjadi obat satu-satunya untuk mengobati penyakit yang dimaksud. Bila masih ada obat yang suci, maka tidak boleh.

Sedangkan mengenai gantungan kunci dari hasil pengawetan serangga, hukumnya haram. Karena serangga tersebut sudah mati dan menjadi bangkai. Menjual bangkai yang najis itu pun tidak boleh menurut fiqh. Hal ini tidak sama dengan menjual lebah, karena lebah yang dijual masih hidup (bukan bangkai) untuk diambil madunya. Begitu pula dengan ulat sutra. Namun Hanafiyyah tidak mensyaratkan barang harus suci. Maka, boleh menjual barang najis selama ada manfaatnya. Gantungan kunci pun bukan semata-mata menjual bangkai serangga, melainkan ada komposisi lain di dalamnya. Ini menjadi tidak masalah. (al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, IV, 537)

Selain memandang manfaat, kita juga harus memperhatikan aspek lain dalam jual beli serangga. Manfaat itu tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Barangnya tidak boleh najis, dan berdasarkan syarat-syarat yang sudah dipaparkan di atas. Kecuali jika kita mengikuti pendapat Hanafiyyah yang memperbolehkan jual beli najis selama ada manfaatnya.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari