Sumber gambar: https://id.images.search.yahoo.com

oleh: Khoshshol Fairuz*

;tahun ini, bagaimanapun kabar yang berhasil dibawa hujan, sampaikanlah

Pemuda bernama Nauval Azizi tengah memperagakan gaya penyair, tentu menggunakan topi tipis khas Sapardi: mengacung-acungkan jari telunjuknya ke arah jendela. Sementara Adel, adiknya, melongo menyaksikan Nauval demikian.

Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
….

“Kak!” Adel teriak, memotong bait sesudahnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Apa sih?”

“Profesor UI memang begitu semua?”

“Begitu bagaimana?” Nauval hampir meneruskan bait selanjutnya.

“Pandai bikin puisi.” Mata Adel melirik lantai, takut kalau-kalau dirinya datang menghancurkan suasana yang dibangun kakaknya.

Adel memang masih SMP, Nauval yang semester lima jurusan teknik informatika itu lah dalang dibalik pengetahuan tentang sastra. Saat sarapan sebelum berangkat sekolah, Nauval dan Adel sepakat hanya akan menyantap sesendok sereal atau seteguk susu cokelat jika sudah membaca satu buah puisi. Bayangkan jika dalam semangkuk sereal mereka ada 15 sendok, dan dalam segelas susu yang diaduk kasih sayang ada 8 tegukan. Belum lagi saat mereka berdua menemukan paragraf ganjil dalam sebuah novel, perdebatannya bisa sampai membuat matahari bergeser satu jengkal lebih tinggi.

Bulan Oktober di tahun yang sama

Universitas Nauval merilis tempat KKN dan daftar nama mahasiswa, selama dua bulan mereka harus belajar mengabdi, menerapkan ilmu yang didapat selama di bangku kuliah. Enam puluh hari bukanlah waktu yang sebentar.

“Hujan bulan Juni sudah bukan puisi lagi.” Nauval mengawali pembicaraan. Adel segera menyiapkan sepatu kets favorit kakaknya.

“Ya, buku itu menjelma menjadi sekumpulan paragraf Kak. Bukan cerpen atau lainnya, hujan bulan Juni sudah salah jalan. Sapardi tidak seperti perkiraanku, hujan miliknya tidak setia,” sela Adel.

“Tidak setia bagaimana?” Bu Rahmi tiba-tiba nyempil dengan pertanyaan.

“Ya tidak setia, Bu. Bayangkan saja, belum selesai Adel baca buku puisi Sapardi, beliau sudah bikin novel dengan judul yang sama. Itu kan namanya nggak setia, ya nggak Kak Nauv?” Gadis berjilbab biru muda itu memohon dukungan moral.

“Nggak juga. Kan Oktober ini udah cetakan kelima novel itu, Dedel.”

“Hah! Beneran Kak?” seru Adel.

“Sudah, sudah. Ayo siap-siap Nak, jangan lupa berdoa selama perjalanan. Kalau sudah sampai kabari ibu.”

“Iya bu. Aku akan kembali menemui kalian.” Keduanya menangis dalam peluk.

Keadaanya sama persis seperti seorang tentara yang akan pergi ke medan perang. Nauval akrab dengan suasana ini, hanya Adel yang dilarang mengetahui bahwa ayah mereka pernah mengatakan hal yang sama kepada istrinya, Nauval, dan Adel yang saat itu belum lahir.

“Cengeng banget kalian,” ledek Adel.

Bu Rahmi melepas sebelah tangannya, membiarkan Adel paham isyarat ini. Mula-mula Adel diam, hingga saat Nauval melakukan hal yang sama, gadis bermata kecil itu buru-buru berbaur dalam isak yang dalam. Lima menit sepuluh detik, Nauval bergegas melangkah tanpa kata-kata menuju gerbang rumah mereka.

“Kaaak, janji ya bawa oleh-oleh buku yang banyaaak!” teriakan Adel hanya melewati udara, membersamai daun yang gugur beberapa lembar, lalu ikut terbawa angin menuju entah.

Nauval menoleh, melambai beberapa kali. Tampaknya lelaki ini pun yakin, dalam kondisi paling mustahil untuk tersenyum, kata-kata adalah omong kosong. Sementara menurutnya, bahasa paling mungkin mendamaikan hati hanyalah tatapan. Punggung Nauval mengecil menjauhi rumah nomor 29, bersama kepergian lelaki satu-satunya dalam keluarga itu, gerimis datang menunaikan tugasnya menghapus jejak kaki Nauval Azizi.

Satu bulan berlalu, di sudut bumi setinggi matahari

Desa Gung Pinto, Sumatera Utara. Ada dingin yang meresap hingga tulang, ada Sutrany, Vani Laila, dan Galuh Bachtiar yang mengajak anak-anak membuat lingkaran dalam skala kecil. Di tengah-tengah mereka duduk bersila lelaki berkacamata membawa buku bersampul abu-abu.

“Kak Nauval! Apa Adelia bisa baca puisi?” gadis empat belas tahun berkulit cokelat mengacungkan tangan kirinya.

“Tentu,” jawab lelaki tersenyum.

“Bisa membacanya tanpa mengeja?”

“Yap. Dia paling suka dengan puisi-puisi Sapardi.”

“Sapardi?” gadis itu menoleh ke kanan-kirinya dengan mimik serius. Menyadari semua teman-temannya juga menoleh kanan-kiri, dia melanjutkan, “Sapardi bisa baca puisi? Bukannya dia hanya naik pohon sawit sepanjang siang?”

Sontak jawaban tersebut mendapat respon tawa terpingkal-pingkal dari yang lain termasuk Nauval. Oh polosnya kau dik, seperti….

“Tsabita, kakak ada hadiah buat kamu. Tolong bacakan dengan lantang di depan teman-teman ya?” pinta Nauval, memberikan kertas hijau kepada gadis polos itu. Tsabita mengangguk dan mulai membaca huruf demi huruf dengan hati-hati.

Sutrany mendendangkan lagu dengan suara empuknya, Vani Laila mengiringi dengan biola kecil, Galuh dan Nauval masing-masing memukul ember kecil dan bambu berukuran sedepa. Anak-anak tertawa, gigi-gigi mereka berbaris rapi seperti menunggu momen ini sudah sangat lama. Momen untuk bahagia. Begitu sederhana rupanya.

14 Desember dengan tahun dan tempat yang sama

Langit diselimuti gelap. Hujan di bulan Desember? Tidak masuk akal. Semua warga keluar rumah, ibu-ibu tampak gugup dari biasanya, mereka buru-buru melipat pakaian. Takut basah karena hujan.

“Tidak biasanya Desember hujan besar, biasanya ada gerimis dahulu pada permulaan,” gumam Wirano, tetua adat.

Para mahasiswa KKN merasa baik-baik saja, mereka sesekali melihat ke luar jendela. Hitam. Lampu dinyalakan, Nyai Kamtis membawa ketela rebus dan ubi goreng yang masih panas. Dilihatnya suami dan mahasiswa tengah asyik bercengkerama tentang program KKN dan rencana penutupan. Hingga larut malam semuanya berkumpul, begitulah rutinitas sekaligus hiburan di desa yang tidak terjangkau sinyal televisi apalagi telepon genggam. Praktis kehidupan dua bulan itu Nauval dan mahasiswa lain harus melakukan ekstra interaksi secara langsung dengan bumi dan masyarakat Desa Gung Pinto. Bukankah interaksi langsung merupakan hal langka bagi mahasiswa di Kota Depok? Interaksi yang mungkin merupakan istilah perpisahan.

Sebab malam adalah tempat menyusun keheningan, maka alam juga menciptakan kabar untuk memecah ketenteramannya. BMKG Sumatera Utara merilis status Sinabung: gunung yang tidur sejak 400 tahun lalu akhirnya dinyatakan aktif. Malam itu juga petugas TNI beserta seluruh relawan mengevakuasi warga menggunakan mobil dan truk-truk besar. Pos-pos segera didirikan, makanan, minuman, selimut dan tenda berdatangan, semuanya aman. Kecuali mahasiswa KKN dan Wirano, mereka tidak terlihat di sana. Pihak kampus dihubungi secepat kilat, kabar ini kemudian terbang ke seluruh keluarga mahasiswa terkait, lalu seperti laron pada saat hujan turun dan obor padam, para keluarga sudah berdatangan di pos pengungsian membawa separuh air mata.

***

“Hari ini bulan November tanggal dua, dua ribu tujuh belas. Hujan Bulan Juni resmi merilis versi filmnya, Bu.” Adel mendekati ibunya, tersenyum dengan uraian air mata yang turun sampai dagu. Hatinya mengembun.

“Iya, Nak. Kemarilah.” Bu Rahmi membenarkan posisi duduk, mempersilakan Adel berbaring di pangkuannya, “sudah dua tahun semenjak Kak Nauval KKN, kamu tidak mau ibu belikan novel atau buku puisi. Kita harus rela, sayang.”

“Apa ibu pernah ke Sumatera Utara dan menanyakan langsung kepada mereka? Atau jangan-jangan ibu takut menemukan kenyataan bahwa Kak Nauval memang sudah meninggal. ”

Pertanyaan Adel demikian basah, hingga meski ada dinding kokoh sejenis prinsip menyembunyikan rahasia, kalimat itu tetap saja merembes. Bu Rahmi tergugu, bibirnya tak sanggup menyampaikan apa-apa kepada Adel, satu-satunya cinta yang saat ini ia miliki.

Hari itu Adel meminta ijin kepada ibunya, “Kalau Kak Nauval tidak bisa kembali menemui kita di sini, biarkan Adel ke Sumatera, Bu.”

“Kalau Adel pergi ke Sumatera dan tidak bertemu dengan orang-orang yang bisa kau tanyai, bagaimana bisa bertemu dengan kakakmu?”

“Tidak masalah. Adel ke sana tidak untuk menemui Kak Nauval.”

Di hari yang sama, bulan yang sama dengan hari ini, Adel tidak menuju Desa Gung Pinto. Sesampainya di bandara gadis berparas lembut itu segera menghentikan taksi, menyebutkan nama-nama, menanyakan tempat, dan turun di depan bioskop saat malam menjelang. Antrean panjang rupanya. Di tengah barisan orang-orang itu, Adel mengeluarkan sebuah buku hijau, diamatinya beberapa lembar sampai pada halaman kesekian: bagaimana jika, hujan datang hanya untuk menguras kenangan pemiliknya, lalu saat semua mata telah basah, ia tak sanggup mengembalikan apa-apa termasuk seseorang dalam hatimu. Mata Adel kembali basah. Bibirnya menggumam lirih, “Kak Nauval Azizi, di mana kakak sekarang?”

“Nauval Azizi.” Suara perempuan terdengar mengulang nama yang disebut Adel. Gadis itu mengelap mata, menatap lamat-lamat perempuan anggun berkulit cokelat muda yang berdiri tepat di belakangnya. Keduanya bersitatap, rasa canggung muncul, mereka tidak saling kenal sebelum kejadian itu. Adel memeriksa bukunya yang ikut basah, perempuan manis mengacak-acak ranselnya, tangan cokelatnya masuk dan meraih sesuatu untuk ditunjukkan kepada Adel: selembar kertas hijau. Perempuan berkulit cokelat terlihat tegar, mencoba membacakan susunan kalimat yang ada dalam kertas hijau:

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan,

“Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”

“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah;

asalmu dari laut, langit, dan bumi;

kembalilah, jangan menggodaku tidur….

Perempuan berkulit cokelat itu Tsabita, ia sanggup membaca puisi tanpa mengeja.


*untuk Sapardi Djoko Damono, aku adalah anak kesekian dari puisimu

Penulis adalah Khoshshol Fairuz, Mahasiswa UW.