Sholat Tarawih adalah salah satu ibadah yang disunnahkan pada bulan Ramadan. Dilaksanakan setelah shalat Isya’ sebanyak 20 rakaat dengan sepuluh salam (melakukan salam setiap dua rakaat), yang kemudian diiringi shalat witir tiga rakaat.

Ibnu Taimiyah dan Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab menjelaskan: Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Fatwanya, “Telah terbukti bahwa sahabat Ubay bin Ka’ab mengerjakan shalat Ramadan bersama orang-orang waktu itu sebanyak dua puluh rakaat. Lalu mengerjakan witir tiga rakaat. Kemudian mayoritas ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah. Karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu.”

Dalam kitab Majmu’ Fatawi al-Najdiyah diterangkan tentang jawaban Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab mengenai bilangan rakaat shalat tarawih. Ia mengatakan bahwa setelah sahabat Umar mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah kepada Ubay bin Ka’ab, maka shalat yang mereka kerjakan adalah dua puluh rakaat. (Tashhih Hadis Al Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, hal 13-14)

Dari sisi lain, KH. Bisri Mustofa menyatakan bahwa secara esensial melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat itu berarti mengamalkan hadis Nabi SAW yang menjelaskan keutamaan serta anjuran mengikuti jejak sahabat Umar r.a (Risalah Ijtihad dan Taqlid, hal 15)

Tata cara ini didasarkan pada hadis: “Dari Yazin bin Ruman, ia berkata,” Orang-orang (kaum muslimin) pada masa Umar melakukan shalat malam di bulan Ramadan 23 rakaat (dua puluh tarawih dan tiga witir).” (HR. Malik dalam al-Mutawaththa’, 233)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lalu, bagaimana kaitannya dengan shalat tarawih yang dilakukan secara berjamaah? Hal ini juga dibenarkan dan dihukumi sunnah. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan: “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abd al-Qari, beliau berkata,”Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab r.a ke masjid pada bulan Ramadan. (didapati dalam masjid tersebut) orang-orang shalat tarawih sendiri-sendiri. Ada yang shalat sendiri-sendiri, dan ada yang shalat dengan berjamaah”.

Lalu sayyidina Umar berkata,”Saya punya pendapat andaikata mereka aku kumpulkan dalam jamaah dengan satu imam, niscaya itu lebih bagus,” lalu beliau mengumpulkan mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata,”Sebaik-baik bid’ah adalah ini. (Shalat tarawih dengan berjamaah).” (HR. al-Bukhari [1871])


Referensi (Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU Akidah Amaliah Tradisi, Surabaya: Khalista dan LTN NU Jawa Timur, 2008, 59-62)