Oleh: Quratul Adawiyah*
Seperti yang telah kita ketahui, shalat tahajud adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu malam hari, bisa didahului dengan tidur terlebih dulu atau tidak. Waktu utama untuk mengerjakannya adalah di sepertiga malam. Selain sebagai ibadah tambahan, mengerjakan shalat tahajud juga sebagai sarana agar doa kita lebih cepat dikabulkan oleh Allah. Shalat tahajud mempunyai keutamaan tersendiri yang sangat besar bagi siapa yang mau menjalankan, di antaranya adalah rezeki yang berlimpah, keharmonisan rumah tangga, ketentraman dalam hidup, mampu menjaga kesehatan tubuh, dan lain sebagainya.
Akan tetapi ada beberapa hal yang perlu dihindari ketika kita mengerjakan shalat tahajud yakni merasa bangga dengan diri sendiri atau dikatakan riya’ dengan apa yang didapat dari Allah tanpa memperdulikan sekitar. Ada satu kisah menarik yang mungkin bisa menjadi pelajaran untuk kita saat mengerjakan shalat tahajud.
Pada saat masa Rasulullah, ada seorang ahli ibadah tahajud yang bernama Abu bin Hasyim. Bertahun-tahun Abu bin Hasyim tak pernah absen melakukan shalat tahajud. Pada suatu ketika saat hendak mengambil air wudhu’ untuk mengerjakan shalat tahajud, Abu bin Hasyim dikagetkan oleh keberadaan sosok makhluk yang sedang duduk dibibir sumurnya.
Abu bin Hasyim bertanya: “Wahai hamba Allah, siapakah engkau?”
Sambil tersenyum, sosok itu menjawab: “Aku adalah malaikat utusan Allah.”
Mendengar jawaban tersebut, Abu bin Hasyim kaget sekaligus bangga karena kedatangan tamu malaikat Allah.
Abu bin hasyim lantas bertanya: “Apa yang sedang kamu lakukan disini?”
Malaikat itupun menjawab: “Aku disuruh mencari hamba pencinta Allah.”
Melihat malaikat itu memegang kitab tebal, Abu bin Hasyim lalu bertanya: “Wahai malaikat, buku apakah yang kau bawa itu?”
Malaikat itupun menjawab: “Ini adalah kumpulan nama hamba-hamba pencinta Allah,”
Mendengar jawaban malaikat, Abu bin Hasyim berharap dalam hati namanya ada disitu, maka ditanyalah malaikat itu: “Wahai malaikat, adakah namaku disitu?”
Abu bin Hasyim beranggapan bahwa namanya ada di buku itu, mengingat amat ibadahnya yang hampir tak putus, selalu mengerjakan shalat tahajud, berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT di sepertiga malam, dan masih banyak yang lain.
“Baiklah, aku buka,” kata malaikat sambil membuka kitab besarnya.
Setelah dibuka dan dicari, ternyata malaikat tersebut tidak menemukan nama Abu bin Hasyim di dalamnya, karena tidak percaya dengan apa yang disampaikan. Abu bin Hasyim meminta malaikat mencarinya sekali lagi. Lalu dicarilah sekali lagi, dan berkata : “Betul, namamu tidak ada di dalam buku ini.”
Mendengar namanya tidak ada dalam buku catatan yang dibawa malaikat tersebut, Abu bin Hasyim pun gemetar dan jatuh tersungkur di depan malaikat. Beliau menangis sejadi-jadinya sambil berkata: “Rugi sekali diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud , tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pencinta Allah.”
Melihat hal tersebut, malaikat itu pun berkata: “Wahai Abu bin Hasyim, bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam ketika yang lain sedang tidur, bukan aku tidak tahu engkau mengambil air wudhu dan kedinginan pada saat orang lain terlelap dalam buaian malam. Tapi ketahuilah, tanganku dilarang Allah untuk menulis namamu.”
Karena kaget dengan jawaban malaikat, Abu bin Hasyim pun berkata: “Apakah gerangan yang menjadi penyebabnya?”
Malaikat itupun menjawab: “Engkau memang bermunajat kepada Allah, tapi engkau pamerkan dengan rasa bangga kemana-mana dan asyik beribadah memikirkan dirimu sendiri. Sedang di kanan kirimu ada orang sakit dan kelaparan tapi engkau tidak menengok dan memberinya makan. Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pencinta Allah kalau engkau sediri tidak pernah mencintai hamba-hamba-Nya yang diciptakan Allah?”
Mendengar jawaban tersebut, hati Abu bin Hasyim seperti disambar petir. Dia tersadar bahwa ibadah yang dilakukannya selama ini hanyalah untuk memperbanyak harta kekayaan tanpa memperdulikan orang-orang yang membutuhkan uluran tangannya.
Semenjak kejadian itu, dalam shalatnya Abu bin Hasyim selalu meminta ampun kepada Allah, dan mulai menyadari bahwa manusia diciptakan Allah memang untuk beribadah kepada-Nya, akan tetapi, selain daripada itu juga untuk membantu sesama yang sedang membutuhkan bantuan.
Dari kisah tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa Allah menciptakan manusia supaya bisa saling menjaga silaturahmi dan saling berbagi di saat orang lain sedang membutuhkan. Boleh-boleh saja kita berdoa meminta dilancarkan rezeki. Akan tetapi ingatlah, apabila Allah sudah mengabulkan doa kita, sebaiknya kita juga tak lupa untuk menyisihkan sedikit harta yang kita dapat untuk membantu mereka yang sedang kesusahan.
Karena dengan menyadari hal tersebut, rasa syukur kita kepada Allah akan semakin bertambah. Janji Allah bagi orang yang selalu bersyukur adalah akan ditambah nikmat kita dan dicukupkan segala kebutuhan kita. Semoga dari kisah ini kita bisa menjadi manusia yang selalu menjaga silaturahmi dan selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada kita.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari