Sumber foto: http://www.harnas.co/2015/06/02/kekerasan-pada-perempuan-palembang-meningkat

Oleh: Humedah*

Kata violence dalam bahasa Inggris bermakna kekerasan, menjadi sebuah tanda adanya bahaya. Maraknya kasus violence di negeri ini semakin mewabah, buktinya pada catatan tahun 2017 yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di seluruh Indonesia.

Kekerasan (violence) yaitu tindakan kekerasan baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah kelompok, masyarakat, institusi terhadap jenis kelamin lainnya.

Menurut Johann Galtung, dalam bukunya tentang Bullying (2008) membagi kekerasan dalam dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non fisik. Kekerasan fisik yaitu jenis kekerasan yang dapat dilihat dan timbul benturan fisik, contoh memukul, menginjak, menendang, menampar. Sedangkan kekerasan non fisik yaitu kekerasan ini tidak bisa langsung diketahui siapa perilakunya karena tidak ada benturan fisik antara pelaku dan korbannya, contoh menghina, memfitnah, mempermalukan di ranah publik, mencibir.

Kasus violence/kekerasan fisik sering sekali kita temui di berita media cetak maupun elektronik, dan itu sudah jelas masuk dalam ranah hukum. Di Indonesia sudah ada aturan yang jelas melarang perilaku kekerasan dalam rumah tangga, yakni Pasal 1 ayat 1 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Penulis melihat pada problem lain yakni di mana kerap melihat dan menyadari bahwa perilaku masyarakat semakin melonjak dengan tindakan violence non fisik yang banyak masyarakat belum menyadarinya. Misalkan saat seseorang atau beberapa perempuan yang sedang berjalan bahkan berkendara motor baik wajah cantik atau sexy bahkan bohay menjadi bahan yang empuk untuk dibully oleh para lelaki. Biasanya mereka melakukan siulan, berucap dengan kata yang menggoda, bahkan ucapan yang menjurus pada seksual, sehingga perilaku-perilaku tersebut mengakibatkan ketersinggungan, ketidaknyamanan, dan merendahkan martabat kaum perempuan.

Seiring jaman semakin maju, kenyataan di dunia nyata telah dipindahkan ke dunia maya. Sudahkah kalian menyadarinya?

Violence Non Fisik di Dunia Maya

Violence non fisik terhadap perempuan tidak  hanya terjadi secara langsung di dunia nyata, namun juga melalui media sosial. Sebagai ruang publik, media sosial menjadi tempat empuk bagi violence terhadap perempuan. Bayangkan saja hampir semua orang memegang gadget sebagai dunianya bertemu, bermain, bercanda, belajar, dan aktivitas lain bersama netizen.

Penulis kerap geram dengan tindakan para netizen di media sosial seperti Whatsapp, Line, Instagram, baik personal atau bentuk grup/komunitas. Mereka dengan senangnya ketawa membully kaum perempuan dengan mengobral rupa, lekuk tubuh yang sexy atau bohay, mengedit dan mengupload foto/video perempuan bernuansa seksual, bahkan “obrolan” yang menjadi “obralan” bernuansa seksual yang menjurus pada perempuan. Hal ini mengakibatkan ketersinggungan, ketidaknyamanan, bahkan merendahkan martabat atau harga diri perempuan. Ini adalah suatu perpindahan violence non fisik dari dunia nyata ke dunia maya.

Di sisi lain, beberapa perempuan malah nyaman hidup sebagai bahan “obralan”. Misalkan dalam media Instagram, banyak admin-admin laki-laki yang mengunduh foto-foto perempuan untuk dijadikan bahan “jualan”. Entah itu berjualan akun ataupun berjualan followers. Ketika admin tersebut mempunyai banyak pengikut akun, mereka menawarkan kepada perempuan untuk dipublikasikan ulang fotonya (repost) di akun admin. Sebenarnya bila merasa dirugikan, perempuan bisa melakukan pengaduan dengan dasar UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Akibat dari Budaya Patriarki

Problem violence ini akibat dari budaya patriarki, di mana sebagai budaya yang berpusat pada nilai laki-laki sehingga muncul perilaku bias jender. Budaya patriarki yang masih menyelimuti dalam masyarakat, sehingga kaum perempuan merasa termarginalisasi.

Dalam problem violence atau membully perempuan, mereka banyak menyadarinya namun tidak bisa bertindak atas bentuk ketidakterimaannya. Lebih banyak lagi perempuan yang tidak sadar sehingga menganggap itu hal yang wajar atau lumrah. Dari kaum lelaki pun masih banyak menganggap tindakan mereka itu hanya bercanda pada kebahagiaan semata  tanpa memikirkan bahwa mereka sedang merendahkan martabat atau harga diri perempuan. Apakah bercanda harus dengan merendahkan martabat perempuan? Kesalahan yang diulang terus-menerus akan dianggap sebagai kelumrahan, bahkan bisa menjadi kebenaran.

Lalu bagaimana dengan masa depan anak cucu yang akan berteman dengan kecanggihan teknologi tinggi? Problem ini sebenarnya akan berdampak besar pada pola pikir masyarakat ke depannya tentang martabat perempuan yang terus direndahkan sesuai pada zamannya.

Tulisan ini menjadi refleksi bagi kesadaran bersama, dunia ini sudah bukan jamannya Kartini yang terbelenggu oleh adat, dunia ini sudah bukan jamannya Cut Nyak Meutia yang berperang dengan penjajah, namun dunia sekarang jamannya manusia yang sudah melek ilmu dan teknologi. Sehingga ini menjadi tugas bersama dalam perkembangan jaman agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau terpinggirkan.


*Penulis sedang nyantri di Pesantren Walisongo Cukir Jombang.