
Oleh: Hidayatus Sho`imah*
Di pesantren Al-Ikhlas, suasana pagi terasa begitu damai. Udara segar merangkul gedung-gedung tua yang memiliki sejarah panjang. Di sanalah, puluhan santri-satri bersemangat menjalani kehidupan pesantren. Salman, seorang santri baru, tiba dengan ransel yang terasa berat di pundaknya. Hatinya campur aduk antara penasaran dan kekhawatiran di hari pertama bertemu dengan pak Kiai, pemimpin pesantren yang bijaksana.
“Pesan saya untukmu, Salman adalah membuka hati dan pikiranmu. Pendidikan di sini bukan hanya tentang kitab-kitab, tetapi juga tentang kehidupan bermasyarakat,” ujar Pak Kiai dengan senyum hangat.
Salman kemudian ditempatkan di asrama bersama santri-satri lainnya. Asrama yang sederhana namun penuh kehangatan. Malam itu, mereka berkumpul untuk belajar bersama dan saling mengenal. Seiring berjalannya waktu, Salman semakin terintegrasikan dalam kehidupan pesantren. Dia belajar tidak hanya dari buku-buku agama, tetapi juga dari tukang masak yang mengajarkannya menghidangkan hidangan yang lezat.
Setiap pagi, santri-satri berkumpul di masjid untuk shalat subuh bersama. Suara adzan yang merdu membangunkan semangat mereka. Pelajaran agama pun tidak hanya dilakukan di kelas, tapi juga melibatkan kegiatan sehari-hari.Salman belajar tentang kebersamaan dan keadilan melalui kegiatan gotong-royong.
Mereka membersihkan area pesantren, menanam pohon, dan membantu sesama tanpa pamrih. Inilah nilai-nilai luhur yang diwariskan pesantren kepada setiap santri. Namun, perjalanan Salman tidak selalu mulus. Ada ujian dan cobaan yang membuatnya merasa putus asa. Namun, sahabat-sahabatnya dan dukungan Pak Kiai selalu memberinya kekuatan untuk bangkit.
***
Suatu hari, Salman bertemu dengan Ali, seorang santri yang memiliki latar belakang berbeda. Ali datang dari daerah terpencil, dan kehadirannya di pesantren adalah anugerah bagi semua. Ali mengajarkan keberanian dan keikhlasan. Dia menceritakan perjalanan panjangnya untuk mencari ilmu. Ceritanya memotivasi semua santri untuk menghargai kesempatan belajar yang mereka miliki di pesantren. Waktu berlalu begitu cepat, dan tiba saatnya bagi Salman untuk menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Kini, dia bukan hanya memiliki pengetahuan agama yang mendalam, tetapi juga jiwa kepemimpinan dan kepekaan sosial.
Pada hari perpisahan, suasana pesantren terasa haru. Pak Kiai memberikan nasihat terakhirnya kepada para santri, “Kalian bukan hanya lulusan pesantren ini, tetapi juga lulusan kehidupan yang penuh makna. Jadilah pembawa cahaya di tengah gelapnya dunia.” Salman dan teman-temannya meninggalkan pesantren dengan hati yang penuh rasa syukur. Mereka membawa serta nilai-nilai kepesantrenan yang akan menjadi pilar kehidupan mereka di masa depan.
Setelah meninggalkan pesantren, Salman dan teman-temannya memulai perjalanan kehidupan baru. Masing-masing mengambil arah yang berbeda, tetapi semangat kebersamaan dan nilai-nilai pesantren tetap membimbing langkah mereka. Salman kembali ke kampung halamannya dengan tekad baru. Dia ingin menggunakan ilmunya untuk membantu masyarakat di sekitarnya. Dengan semangat kepedulian yang dia pelajari di pesantren, Salman mulai mengorganisir program-program sosial, seperti pengajian dan bantuan kesehatan gratis.
Sementara itu, Ali memilih untuk kembali ke daerah terpencil tempat ia berasal. Dengan bekal ilmu yang didapat dari pesantren, dia membuka sekolah kecil untuk anak-anak desa. Ali menjadi panutan bagi mereka, menunjukkan bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah nasib. Tidak hanya itu, Ali juga melibatkan masyarakat dalam kegiatan pertanian yang berkelanjutan. Dia ingin menciptakan lingkungan yang seimbang antara manusia dan alam, mengajarkan prinsip-prinsip keberlanjutan yang diterapkannya di pesantren dulu.
Beberapa teman Salman memilih melanjutkan pendidikan formal, yang lain memilih jalur bisnis dan kewirausahaan. Namun, tak satu pun dari mereka melupakan nilai-nilai luhur yang ditanamkan di pesantren. Mereka terus menjalin silaturahmi, berkumpul secara rutin untuk berbagi pengalaman dan memberikan dukungan satu sama lain.
***
Beberapa tahun kemudian, Pesantren Al-Ikhlas merayakan ulang tahunnya yang ke-50. Sebuah acara besar diadakan, dan alumni dari berbagai generasi berkumpul untuk merayakan prestasi pesantren dan mengenang perjalanan mereka. Pak Kiai, meski telah memasuki usia senja, tetap menjadi pusat perhatian. Dia dengan bangga menyaksikan bagaimana anak-anak didiknya telah tumbuh menjadi manusia-manusia berkualitas, siap menghadapi dunia dengan kearifan dan keberanian.
Salman memberikan pidato dalam acara tersebut, menceritakan bagaimana pesantren telah memberikan fondasi yang kokoh untuk kehidupan mereka. “Pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga sekolah kehidupan. Kami belajar untuk hidup berdampingan dengan toleransi dan keberagaman,” ucapnya penuh semangat.
Acara tersebut bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga momentum untuk menggalang dana bagi pesantren agar bisa terus berkontribusi pada masyarakat. Para alumni berkomitmen untuk memberikan dukungan finansial dan moral, sehingga pesantren dapat terus berkembang dan memberikan pendidikan berkualitas.
Seiring matahari terbenam, mereka mengakhiri acara dengan doa bersama. Pesan damai dan toleransi yang mereka bawa dari pesantren terus mengalir seperti aliran sungai yang tak pernah kering. Dengan penuh harap, mereka meninggalkan pesantren, membawa cerita dan nilai-nilai yang telah mereka tanamkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pesantren Al-Ikhlas tetap menjadi tempat yang sarat makna, bukan hanya untuk mereka yang pernah belajar di sana, tetapi juga untuk generasi-generasi yang akan datang. Semoga pesantren ini terus menjadi sumber cahaya bagi kehidupan mereka dan membantu membentuk karakter yang tangguh dalam menghadapi kompleksitas dunia.
* UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.