Oleh: Nur Indah*       

Pamer (riya’) secara bahasa adalah menampakkan, sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan disertai niat bertujuan agar mendapatkan pujian dari orang lain. Dikutip dari salah satu kisah yang diceritakan di dalam hadis, bahwa kelak di hari kiamat ada seorang syahid fi sabilillah diperintahkan oleh Allah untuk segera masuk ke dalam neraka.

Lalu seorang syahid tersebut tidak terima atas keputusan Allah, “ Wahai Allah SWT., aku adalah seorang syahid yang meninggal karena memperjuangkan agama-Mu, mengapa Engkau memasukkanku ke dalam neraka?”

Lalu Allah menjawab, “Kamu berdusta dalam berjuang, sesungguhnya kamu hanya menginginkan pujian dari orang-orang, kamu hanya ingin dianggap menjadi sosok pemberani, dan apabila telah datang pujian tersebut kepadamu, maka itulah sebagai balasan pada apa yang telah kau perjuangkan.”

Dari kisah di atas dapat diartikan pamer merupakan penyakit hati yang jarang kita sadari, sering kita anggap sepele tapi berakibat fatal dan sangat berpengaruh amal ibadah, yang mulanya berniat baik akan tetapi berubah menjadi buruk.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tidak dapat dipungkiri pada era globalisasi ini, penyakit pamer semakin merebak dan merajalela. Dengan adanya akses internet dan media sosial menjadi ajang bagi sebagian orang untuk memamerkan segala hal. Contohnya, ketika sedang berada di sebuah restoran dan kemudian mengabadikan momen pada saat itu dengan sederet menu yang istimewa dan mengunggahnya di media sosial yang dilihat oleh banyak orang, tanpa kita sadari hal tersebut merupakan bentuk pamer sughro dengan menampakkan apa yang kita punya dan membagikanya kepada orang-orang melalui media sosial.

Dahulu sebelum era globalisasi, pamer hanya timbul dari cara berpakaian, kendaraan, mempunyai anak pintar, istri yang menawan, keluarga yang harmonis. Dan hal tersebut merupakan akar dari sebuah pamer.

Seiring berjalannya waktu esensi pamer sedikit bergeser, jauh lebih mudharat dari era-era sebelumnya. Dari akses internet, banyak dari kalangan penggunaannya sudah tidak tahu malu jika wajahnya dilihat banyak orang yang bukan mahromnya, memposting aurat, memajang foto dengan kekayaanya, menjelajahi dunia yang mengahabiskan banyak uang.

Tidak cukup di situ dalam prihal menghambur-hamburkan uang, banyak kita temukan konten-konten yang mengaku kaya raya dengan istilah “sultan” dengan membuat konten semacam membakar uang, menghancurkan barang paling mahal miliknya, demi sebuah pengakuan dan sebuah pujian. Dan parahnya lagi, hal tersebut dianggap biasa dan menuai banyak pujian dan dukungan dari para netizen. Bukankah menjadi wabah jelek yang harus dibasmi? Karena perbuatan tersebut lebih jelek daripada pamer (riya’) dalam ibadah.

Dan pada akhirnya segala perbuatan tersebut merambat ke arah “sombong”. Dua perbuatan jelek tersebut didapatkan dalam 1 waktu karena hanya ingin menuruti hawa nafsu yalni pujian dari banyak orang, akan tetapi juga mendapatkan dosa yang lebih besar pula.

Berbicara masalah kesombongan dijelaskan dari salah satu hadist berikut yang berbunyi :

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Artinya:“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Alloh itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim)

Untuk itu marilah kita saling introspeksi diri, karena pada dasarnya sifat tersebut adalah sifat yang teramat nista yang timbul tidak kita sadari, berkorban dengan apa yang kita punya hanya demi sebuah konten dan diperlihatkan kepada orang banyak sehingga menuai banyak pujian.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari