Ilustrasi oleh: M. Najib.

Oleh: Hilmi Abedillah*

Di hari Jumat itu, Pak Sobri pulang dari shalat jamaah. Sebelum meninggalkan masjid, Pak Sobri mampir ke toilet buang air besar. Lalu ia mengambil sandal yang ia simpan di balik pot bunga. Di tengah perjalanan pulang, ia berkali-kali keluar angin yang tak terdengar. Sesampainya di rumah, ia salaman dengan istrinya. Lalu ia tidur sebentar. Pada saat waktu ashar tiba, Pak Sobri bangun dan berangkat lagi ke masjid untuk shalat berjamaah. Namun Pak Sobri hanya wudhu satu kali saja, padahal sudah hadats berkali-kali.

Untuk mengetahui kenapa saat kita banyak berhadats kita hanya cukup bersuci sekali saja, kita harus memahami dulu sebuah kaidah fikih:

إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما في الآخر غالباً

 “Ketika dua perkara sejenis berkumpul dan tidak beda tujuannya, maka lazimnya salah satunya masuk ke yang lain.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Yang dimaksud perkara dalam hal ini ialah tanggungan mukallaf, baik itu dua kewajiban atau lebih, dua had atau lebih, atau kumpul di waktu yang sama antara kewajiban dan sunnah. Yang perlu menjadi catatan, keduanya sama jenisnya dan sama tujuannya. Jika tingkatannya berbeda, maka yang tingkatannya rendah masuk ke yang tinggi. Jadi, cukup melakukan yang lebih tinggi. Jika tingkatannya sama, maka salah satunya masuk ke yang lain.

Ibnu Rajab menegaskan bahwa yang dimaksud perkara di sini ialah perkara ibadah. Beberapa ulama, ada yang mengecualikan kasus-kasus dari kaidah ini. Lumrahnya karena kasus itu tidak sesuai dengan kaidah dan tidak memenuhi syarat.

Kumpulnya dua kewajiban misalnya bagi seorang wanita yang berkewajiban mandi janabat dan mandi dari haid, maka cukup dilakukan sekali saja. Atau orang yang berkewajiban mandi (sebab hadats besar) dan wudhu (sebab hadats kecil), maka cukup mandi saja. Namun selama mandi tidak boleh hadats kecil seperti memegang kemaluan. Jika berkumpul antara hadats dan najis hukmiyah (tidak terlihat), maka cukup dengan satu basuhan, menurut Imam Nawawi.

Sedangkan kumpulnya dua had dalam bab jinayat, seperti orang yang zina berkali-kali, minum bir berkali-kali, atau mencuri berkali-kali, maka ia dikenakan hukuman sekali saja, selama had belum dijatuhkan. Kumpulnya kewajiban dan sunnah contohnya jika ada orang masuk masjid sementara jamaah sudah dimulai, maka ia langsung mengikuti shalat wajib karena shalat tahiyat masjid sudah include ke dalamnya.

Orang yang bersenggama di siang Ramadan dua kali, maka ia dikenai kafarat hanya sekali, karena yang ia lakukan kedua kalinya dalam keadaan sudah batal puasanya. Berbeda dengan orang yang ihram, lalu bersenggama dua kali. Maka yang kedua tetap wajib bayar satu ekor kambing, karena senggama tidak membatalkan ihramnya.

Bagi orang yang ihram tidak boleh memakai baju dan wewangian. Bagaimana jika ada muhrim (orang yang ihram) memakai baju dan wewangian? Menurut Imam Rafi’i, ia wajib membayar dua fidyah karena dua pelanggaran. Sedangkan menurut Imam Nawawi satu fidyah karena satu pekerjaan dan wewangian masuk ke dalamnya.

Nabi SAW pernah berpesan pada Aisyah ra:

يَسَعُك طوافك لحجك وعمرتك

Thawafmu cukup bagimu untuk haji dan umrahmu.”

Hadits inilah yang menjadi landasan hukum atas kaidah fikih tersebut. Dalam haji qiran, haji dan umrah dilaksanakan bersamaan, termasuk thawaf dan sa’i.

Fuqaha (ahli fikih) membatasi hal tersebut pada perkara-perkara yang sejenis dan setujuan. Mereka telah membangun asas maslahat di mana orang tidak perlu melakukan hal yang sama dua kali. Perkara yang kecil melebur ke dalam perkara besar. Mereka telah mendekatkan pada tujuan syariat, yakni memudahkan.

Kemudahan selalu diberikan oleh Syari’ (Allah). Aktivitas yang harusnya dilaksanakan bisa gugur kewajibannya. Namun, tetap mendapatkan pahalanya. Karena tujuannya sama, dua perkara tersebut cukup dilakukan salah satunya saja. Seperti cerita Pak Sobri yang berkali-kali hadats, namun wudhunya cuma sekali. Yah, kalau disuruh wudhu sebanyak jumlah hadatsnya, Pak Sobri pasti capek.


Sumber:

Al Qowaid wa adh-Dhowabith al-Fqhiyyah, I, 81

Al Asybah wa an-Nadhoir, 224


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari