Dr. (HC). Ir. KH. Salahuddin Wahid menjadi salah satu nara sumber pada acara diskusi bulanan yang bertema ‘Resolusi Jihad dan Spirit Kepahlawanan’ yang diselenggarakan oleh Radio Suara Muslim yang didukung oleh HARIAN BANGSA, Rabu (15/11/2017), di Kampus B Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa). (Foto: Aminuddin Aziz)

Tebuireng.online- Minimnya jejak sejarah yang mengungkap peran Islam dalam merebut kemerdekaan, saat ini mulai menemukan titik terangnya setelah puluhan tahun dikerdilkan dalam buku-buku sejarah Bangsa Indonesia.

Hal itu penting dikuak menurut salah satu Tokoh NU, Dr. (HC). Ir. KH. Salahuddin Wahid ketika menjadi salah satu nara sumber pada acara diskusi bulanan yang bertema ‘Resolusi Jihad dan Spirit Kepahlawanan’ yang diselenggarakan oleh Radio Suara Muslim yang didukung oleh HARIAN BANGSA,  Rabu (15/11/2017), di Kampus B Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Jalan Raya Jemur Sari No. 57.

Seperti yang dilansir dalam portal berita bangsaonline.com, Gus Sholah mengaku tidak pernah mendapatkan pelajaran sejarah terkait Resolusi Jihad itu. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena pada waktu itu umat Islam sendiri tidak mau menonjolkan perannya. Kedua, Sejarawan dari kalangan Islam itu sedikit.

Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) pernah mengatakan, terang Gus Sholah lebih lanjut bahwa memang ada tokoh-tokoh dari luar Islam ingin memperkecil peranan umat Islam sehingga tidak muncul dalam buku sejarah.

“Tetapi, kebenaran sampai kapanpun akan tetap menjadi kebenaran. Setelah sekian puluh tahun muncullah Resolusi Jihad sebagai peristiwa yang diakui,” tutur Pengasuh Ponpes Tebuireng ini.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selaras dengan itu, Guru Besar Sejarah Universitas Pajajaran Bandung Prof Ahmad Mansyur juga menegaskan bahwa pasca perang kemerdekaan, para kiai dan santri kembali ke pesantren. Sehingga para pejabat bekas pegawai Belanda banyak menduduki posisi sebagai pejabat pemerintah.

“Segala yang dihasilkan santri dan ulama lalu disingkirkan. NU dan Muhammadiyah belum siap masuk dalam departemen tenaga kerja,” urainya.

Maka menurutnya, diperlukan buku-buku sejarah yang mengungkap ketidakbenaran itu. Ia lalu membandingkan buku-buku sejarah yang ada di sekolah yang tebalnya hanya beberapa halaman saja. Sedangkan buku-buku sejarah terkait negara lain bisa sampai ratusan halaman.

“Yang menggelar latihan-latihan militer itu awalnya adalah NU dan Muhammadiyah,” ungkap Penulis buku best seller Api Sejarah jilid I dan II itu.

Dalam kesempatan yang sama, Prof Kacung Marijan menandaskan bahwa masa lalu, masa kini dan masa depan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ia mengatakan, memaknai semangat Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 itu adalah dengan berjihad untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur.

“Caranya dengan anak-anak kita belajar yang rajin, bangun silaturahim diantara para pedagang atau pengusaha dan sebagainya,” tutur Wakil Rektor I Unusa tersebut.

Prof Kacung juga menegaskan bahwa dikotomi (pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan, red) atas Kebangsaan dan Keislaman sudah tidak jamannya lagi. Mencintai bangsa adalah sebagian dari iman, membutuhkan sinergi antara pemikiran dan perilaku.

“Maka dibutuhkan seorang ulama sekaligus sejarawan, ulama sekaligus dokter. Mudah-mudahan ini sintesis untuk Indonesia ke depan.” Pungkasnya.


Pewarta Ulang: Rif’atuz Zuhro

Editor/Publisher: Rara Zarary