
Tebuireng.online— Tidak semua Politisasi Agama bersifat negatif. Banyak juga Politisasi Agama yang bersifat positif, seperti yang terjadi pada 22 Oktober 1945 di mana Hadrarussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad. Pada saat itu, fatwa tersebut memang dibutuhkan untuk mendorong pemuda muslim Indonesia untuk bejihad membela Tanah Air berperang melawan sekutu.
Demikan disampaikan oleh Penasihat Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari (PKPH) Tebuireng, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dalam acara seminar “Perspektif Hadrastussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan terhadap Politisasi Agama” di aula Gedung Siti Walidah lantai 7 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Sabtu (31/03/2018).
“Saat itu Politisasi agama adalah sebuah keharusan tanpa adanya resolusi jihad sebagi pemaknaan dari Politisasi agama maka tidak mungkin kita mendorong pemuda indonesia melawan sekutu,” tegas Pengasuh Pesantren Tebuireng itu.
Gus Sholah menyampaikan, pada Januari 1946 terjadi lagi Politisasi Agama dalam sejarah Indonesia, yaitu didirikannya Departemen Agama. Menurut Gus Sholah, peristiwa ini merupakan bagian dari proses perpaduan antara Indonesia dengan Islam.
“Mengagamakan politik sekaligus mempolitikkan agama terjadi Januari 1946 ketika departemen agama didirikan, saya menyebut peristiwa itu sebagai perpaduan Indonesia dan Islam,” tambah tokoh 76 tahun itu.
Adapun pada tahun 1951, lanjut Gus Sholah memaparkan data demi data, terjadi politisasi pendidikan agama Islam sekaligus islamisasi pendidikan Indonesia, yaitu dengan menjadikan pendidikan Islam menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Proses politisasi agama berlanjut pada tahun 1974, yaitu dimulainya proses masuknya syariat Islam ke dalam konstitusi negara dengan diundangkannya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan sejumlah UU lainnya yang serupa dan banyak jumlahnya.
Gus Sholah melanjutkan, tahun 1984-1985 Ormas Islam termasuk NU dan Muhammdiyah menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar Negara. “Konon semua pihak sudah menerima pancasila sebagai dasar negara tetapi terdapat perbedaan dalam menafsirkan pancasila khususnya sila Ketuhanan yang Maha Esa,” tambah Gus Sholah.
Oleh karena itu, kata Gus Sholah, politisasi agama sudah berlangsung lama dan merupakan suatu yang normal. Namun, Gus Sholah menyebut, beberapa tahun terakhir politisasi agama mendapatkan citra buruk dan bersifat negatif, karena ditunggangi oleh kepentingan kelompok, bukan kepentingan negara.
“Kita harus betul-betul memahami bahwa tidak selamanya politisasi agama negatif. Memang terakhir ini kita menangkap bahwa Politisasi Agama hanya untuk kepentingan kelompok bukan kepentingan negara. Kita rinci mana yang positif dan mana yang negatif, kita tidak bisa gebyah uyah,” pesan Gus Sholah.
Pewarta: Faisal
Editor/Publisher: M. Abror Rosyidin