Oleh: A. Kanzul Fikri Junaidi*
Bismillah...
Banyak kisah unik dan berkesan yang Gus Mus bagikan kepada kami sekeluarga, ketika kami berkesempatan sowan silaturahim ke ndalem beliau beberapa hari kemarin di Rembang, untuk ngaturi beliau memberi mauidhoh pada akhir sanah di PP. Al Aqobah. Kami senang sekali Beliau banyak cerita, utamanya cerita beliau ketika kuliah di Al Azhar Mesir dan kisah persahabatannya dengan Gus Dur.
Kami serius menyimak kemudian sesekali tertawa bersama. Alhamdulillah Beliau tampak sehat dan sangat bersemangat membagikan pengalaman masa lalunya. Karena narasi kisahnya yang panjang, saya hanya mampu menuliskannya pada beberapa point berikut. Sesuai penuturan beliau :
Gus Mus mengawali ceritanya dengan menyampaikan, bahwa barusan ada tamu dari UGM ngundang ceramah di Fakultas Kedokteran UGM. La wong Saya itu tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Tidak punya ijazah baik SD (dulu disebut SR) hingga SMA. Saya bisa kuliah di Al Azhar itupun karena iseng-iseng mengisi formulir, kemudian diterima.
Masalahnya untuk daftar ulang saya tidak punya ijazah formal karena hanya ngaji diniyah di Krapyak. Tetapi atas selembar keterangan semacam rekomendasi yang di tulis tangan oleh KH. Ali Makshum Krapyak Yogyakarya dan beberapa lembar kertas kosong yang ditandatangani beliau, maka saya pun diterima oleh kampus Al Azhar tanpa melalui proses tes ujian seleksi masuk yang dikenal sangat ketat itu.
Di sinilah menurut Gus Mus salah satu “karomah” KH. Ali Ma’shum. Tanda tangan beliau sangat rekomendid dan dihargai para syeikh dan pembesar Al Azhar.
Disaat mau daftar ulang di Al Azhar itu saya bertemu Gus Dur. Setelah tanya-tanya, Gus Dur bermaksud ikut mendaftar juga. Ketepatan Fakultas yang saya ambil itu Fakultas Agama yang baru dibuka di Al Azhar yang diperuntukan khusus untuk mengkader Ulama’ masyayeikh Mesir.
Hanya ada tiga orang yang dari luar Mesir yang diterima di fakultas itu dan dari tiga orang itu hanya saya yang bertahan sampai lulus. Itupun saya mundur setahun. Ujar Gus Mus.
Uniknya Gus Dur hanya mendaftar saja, tidak jadi masuk kuliah karena semua mata kuliah di jurusan baru itu sudah pernah dipelajari di tingkat madrasah Pesantren Indonesia sebelumnya.
Sehingga tidak benar kata Gus Mus, anggapan banyak orang kalau Gus Dur droup out dari Al Azhar, wong Gus Dur gak jadi kuliah hanya daftar saja.
“Laopo kuliah, ngentek-ngentek’i umur,“, ujar Gus Dur waktu itu. (Gus Mus pun terkekeh).
Di Mesir, Gus Dur tidak belajar di lembaga formal, disamping rajin ke Perpustakaan Gus Dur justru malah aktif berorganisasi khususnya di Organisasi Pelajar Islam Indonesia, sekaligus membangun jaringan/network dengan berbagai aktivis mahasiswa dari berbagai belahan negara yang pada perjalanan berikutnya jaringan itu banyak dimanfaatkan Gus Dur ketika aktif berjuang dalam pergerakan di Indonesia mewujudkan reformasi termasuk ketika Gus Dur setelah terpilih jadi Presiden RI.
Uniknya, Gus Dur itu seolah-olah mengetahui (waskito) tentang potensi masing-masing mahasiswa yang berasal dari berbagai negara tersebut. Bahwa mereka kelak berpotensi menjadi tokoh penting di negaranya masing-masing.
Kisah ini mengingatkan saya ujar Gus Mus tentang ayahanda Gus Dur, KH. A. Wahid Hasyim, yang mempunyai kemampuan dalam membaca potensi seseorang melalui gaya bicara, gesture dan tampilan fisiknya: apakah orang tersebut bisa dikader atau tidak.
Gus Dur itu jika merasa jengkel karena di dzalimi oleh seseorang atau oknum pemerintah sering berujar “Titenono nek aku wis kuwoso” (Tunggu jika kelak aku berkuasa).
Keanehan Gus Dur yang lain, satu bulan sebelum peristiwa G30S PKI meletus, Gus Dur sudah cerita ke saya tentang firasatnya akan adanya tragedi berdarah itu. Gus Dur Suatu ketika mendatangi kamar kos saya sambil membawa peta Indonesia. Beliau menerangkan potensi terjadinya gerakan makar PKI. Diterangkan peta kantong-kantong perjuangan NU, kaum santri, ABRI di beberapa kota untuk menghadang PKI. Saya hanya geleng-geleng gak mudeng (tidak masuk akal) karena saya menduga Gus Dur ini mengada-ngada. Ujar Gus Mus saat itu.
Dan sejarah membenarkan adanya tragedi pembrontakan PKI itu. Setelah dari Mesir Gus Dur pindah ke Irak. Di sini kuliah beneran. Selesai kuliah Gus Dur ke Belanda tujuan kerja cari duit yang banyak. Saya disurati diajak bekerja di Belanda. Gus Dur dapat kerjaan sebagai cleaning service di Kapal Besar dengan gaji yang banyak. Saya sudah dicarikan pekerjaan yang cocok dengan hobi saya melukis, katanya dapat di perusahan periklanan.
Gus Dur berencana kalau sudah dapat duit banyak ngajak beli mobil scound untuk keliling dunia dan pulang melalui perjalanan darat. Bahkan sudah memplanning nanti kita mampir dirumahnya si A, si B yang jadi temen-teman Gus Dur saat aktif di organisasi pelajar di Mesir. Namun rencana ini gagal karena saya diperintah ayah saya harus mendampingi Ibu saya yang pergi Haji. Cerita Gus Mus begitu jelas.
Herannya ujar Gus Mus, di sini kemudian ramalan Gus Dur terbukti bahwa rekan-rekan mahasiswanya itu rata-rata memang sukses. Ada yang menjadi tokoh masyarakat, menteri, Presiden dll.
Pengapesan (kelemahan) Gus Dur itu cuma satu. Yakni dengan IBU. Gus Dur paling tidak bisa menolak perintah ibu. (Gus Mus kemudian bercerita beberapa kisah ketaatan Gus Dur dengan ibunya).
Tahun 1990 an, Gus Dur sering mengatakan kepada teman-temannya bahwa ia sudah menentukan kabinetnya ketika nanti jadi Presiden. Tapi Banyak yang menganggap omongan Gus Dur ngelantur dan hanya bercanda, karena pak Harto masih berkuasa waktu itu.
Ketika Gus Dur benar-benar menjadi presiden. Saya mulai mengambil jarak, karena godaan orang-orang yang berkepentingan dengan kekuasaan itu biasanya masuknya melalui sahabat-sahabat dekatnya. Meskipun begitu, kami tetap saling merindu.
Kami yang terkesima menyimak cerita Gus Mus itu mencoba bertanya, Menurut Gus Mus menopo langkah dan sikap Gus Dur itu semata-mata dari kekuatan karomah yang diluar nalar itu atau disertai dengan analisa ilmiah dan data-data empiris.
Gus Mus dengan tegas menjawab, berdasar kedua-duanya. Yang saya tahu semua langkah-langkah besar Gus Dur disamping berdasar analisa situasi dan data-data ilmiah, Gus Dur mesti mentashih (konsultasi) kepada para Kiai Sepuh termasuk kepada yang sudah sumari (wafat). Subhanallah.
Ketika dalam keadaan dirawat di RS dihari-hari akhir menjelang wafat, Gus Dur berkata kepada dr. Umar (adiknya yang merawat) “Saya kangen Gus Mus. Saya mau ke rumahnya.” Tentu dr. Umar spontan mencegah Gus Dur untuk bepergian karena memang kondisinya yang lemah.
“Jangan Mas. Biar Gus Mus saja yang saya aturi tindak ke sini,” ujar dr. Umar.
Gus Dur pun marah.
“Lho saya ini yang kangen Gus Mus. Yang kangen yang harusnya mendatangi yang dikangeni. Bukan sebaliknya.” seru Gus Dur.
dr. Umar, mbak Sinta (bu Shinta istri Gus Dur) beserta putri-putrinya mau tak mau menuruti kemauan Gus Dur untuk bertandang ke Rembang.
Di Rembang, kami mengobrol lama sampai larut malam. Jika tidak diingatkan mbak Shinta, mungkin ngobrolnya bisa lebih lama lagi. ujar Gus Mus.
Gus Dur pun pamit dan berujar bahwa beliau harus ke Tebuireng karena “dipanggil” oleh mbah Hasyim Asy’ari. ya Allah ya Allah, tidak berselang lama, Gus Dur wafat. Allahumma Yarham. Itulah pertemuan terakhir kami.
Sebelum mengkhiri ceritanya, kami nekat bertanya, kinten-kinten Gus, sinten putro wayah Gus Dur yang mewarisi secara lengkap kehebatan beliau? dengan ketawa Gus Mus menjawab, tanda-tanda itu ada di cucu laki-lakinya Gus Dur, yang mash kecil tapi omongani wis medeni. Itu mantu saya Ulil yang cerita. Subhanallah. Alhamdulillah ya Allah.
Cerita Gus Mus tentang Gus Dur adalah mutiara dan teladan yang luar biasa bagi kami. Apalagi ketika pamit pulang kami sekeluarga dikasih banyak kenang-kenangan. Ada sarung, baju koko, batik, sorban, dan tentu ada buku-buku beliau. Bahagia sekali rasanya dapat berkah sembarange. Alhamdulillah.
Semoga beliau selalu diberi kesehatan dan umur panjang untuk membimbing kita semua. Allah memberi ma’unahNya kepada kita untuk bisa meneladani dan menngikuti jejak perjuangannya.
Jombng 30 November 2018.
*Ketua Yayasan PP. Al Aqobah Jombang Jatim.