Ilustrasi: tebuirengonline/Ifa

Oleh: Rasyida Rifa’ati Husna*

Ketika menyebut nama Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terekam di ingatan kita pasti beliau adalah bapak toleransi sebab gagasan, pemikiran, dan perjuangan, serta pembelaan beliau terhadap persoalan kemanusiaan dan keberagaman. Namun, lebih dari itu yang harus juga kita tahu tentang sosok Presiden Ke-4 Indonesia ini ternyata memiliki kepedulian yang tinggi pada isu lingkungan.

Karena itu, tidak mengherankan jika pada tahun 2010 lalu, organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memberi gelar kehormatan kepada Gus Dur sebagai tokoh pejuang lingkungan hidup dan menegakkan keadilan ekologis. Sebab kebijakannya berupa moratoriom (penangguhan) tebang hutan demi kelestarian ekosistem.

Menurut Gus Dur moratorium penebangan hutan perlu diupayakan karena sebagaimana manusia, hutan yang merupakan paru-paru dunia juga membutuhkan waktu untuk melakukan restorasi, jeda untuk bernapas sebagaimana manusia yang membutuhkan istirahat setelah beraktivitas.

Restorasi hutan membutuhkan waktu yang tidak hanya sebentar untuk dapat memulihkan hutan alam, ekosistem rawa gambut dan kawasan ekosistem esensial lainnya. Agar hutan di Indonesia bisa tetap lestari dan tidak berkurang kebermanfaatannya, karenanya Gus Dur menyampaikan bahwa waktu yang ditetapkan untuk kebijakan moratoriumnya  antara 10 hingga 20 tahun sampai siap untuk dilakukan penebangan kembali.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain menyuarakan kebijakannya tentang pelestarian hutan tersebut, Gus Dur juga menegakkan regulasi dan menindak tegas kebijakan-kebijakan lain yang merusak ekologi. Sebagaimana disampaikan oleh Asman Azis di acara Refleksi Kemerdekaan tahun lalu yang diadakan oleh Jaringan Gusdurian, bahwa dari zaman Orba, Gus Dur sangat lantang mengkritik soal perampasan tanah rakyat oleh negara.

Perjuangan reforma agraria itu  juga diteruskan oleh Gus Dur ketika beliau menjabat sebagai presiden meskipun tidak lama. Karena itu, Gus Dur sangat getol membicarakan bagaimana reforma agraria dan keadilan pengelolaan sumber daya alam. Dimana hal itu, menjadi hal yang sangat dibenci oleh para oligarki atau orang-orang yang berkuasa atas sumber daya alam atau tanah di negara ini.

Baca Juga: Gus Dur: Figur Santri Politikus Hebat dalam Dinamika Politik Nasional

Selain itu, Guru Bangsa kelahiran Denanyar, Jombang ini juga begitu gigih mengupayakan pembangunan dan menggagas penyelenggaraan green movement di dalam lingkungan pemerintahan dan partai politik. Gus Dur dikenal sebagai pelopor  lahirnya green party. Gerakan ini bukan dalam pengertian partai berwarna hijau seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh Gus Dur. Tetapi green party itu bermakna bahwa partai politik harus punya komitmen yang kuat atas keberlanjutan lingkungan dan keadilan pengelolaan ekologi.

Tidak kalah penting, dalam rangka edukasi dan menyebarkan ajaran islam kaitannya dengan kepedulian lingkungan, cucu kinasih Kiai Hasyim Asy’ari ini juga mempunyai gagasan tentang membangun kurikulum pendidikan Islam berbasis lingkungan. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai penyampaian informasi, tetapi juga sebagai sarana transfer nilainilai etika. Penanaman nilai-nilai etika adalah warisan berharga yang mencakup nilainilai etis, religius, dan humanis dari generasi sebelumnya yang diturunkan kepada generasi penerus bangsa.

Pendidikan Islam merupakan salah satu bentuk pendidikan yang memiliki strategi yang efektif dalam menyebarkan kesadaran ekologis. Secara umum, pendidikan agama memiliki keberhasilan yang tinggi dan pendekatan yang khas dalam mengembangkan serta memperkuat kesadaran akan isu lingkungan.

Sebagaimana pernah diterangkan oleh Gus Dur, melalui Alquran Allah sejatinya telah memberikan pendidikan spiritual kepada manusia untuk menjaga keharmonisan lingkungan dan bersikap ramah kepadanya, seperti salah satunya dalam QS. Ar-Ruum ayat 9,

أَوَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ كَانُوٓا۟ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُوا۟ ٱلْأَرْضَ وَعَمَرُوهَآ أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَآءَتْهُمْ رُسُلُهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ ۖ فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Arab-Latin: A wa lam yasīrụ fil-arḍi fa yanẓurụ kaifa kāna ‘āqibatullażīna ming qablihim, kānū asyadda min-hum quwwataw wa aṡārul-arḍa wa ‘amarụhā akṡara mimmā ‘amarụhā wa jā`at-hum rusuluhum bil-bayyināt, fa mā kānallāhu liyaẓlimahum wa lāking kānū anfusahum yaẓlimụn

Artinya: Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (QS. Ar-Ruum [30]: 9).

Pesan yang terkandung dalam ayat tersebut adalah pentingnya bagi manusia untuk menjaga dan mempertahankan lingkungan agar tidak mengalami kerusakan, pencemaran, atau kepunahan. Manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga amanah yang diberikan oleh Allah terhadap lingkungan.

Karenanya, Gus Dur meyakini bahwa membangun kesadaran lingkungan harus harus dilakukan secara besar-besaran dan bersamaan. Upaya ini bisa diwujudkan melalui pendidikan, yakni pendidikan yang mampu menginspirasi kesadaran anak-anak muda mengenai pentingnya memelihara keberlanjutan lingkungan hidup.