Kiai Natsir Karim (Gus Cecep), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Karimiyah Jombang.

Mengenal Gus Cecep

Nama lengkapnya adalah Moch. Natsir Karim al-Hasyimi Cecep Surya Agama Abdul Karim Putra. Salah satu cucu Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari ini dilahirkan di Jombang pada tanggal 09 Oktober 1958. Beliau merupakan Anak bungsu dari empat bersaudara, putra dari pasangan KH. Abdul Karim Hasyim dan Nyai Hj. Masykuroh Karim Hasyim. Menginjak usia kedua belas, Gus Cecep ditinggal pergi oleh sang Ayah (Kiai Abdul Karim) kembali ke hadirat Allah SWT, semasa beliau mondok di Gontor.

Masa remajanya, Gus Cecep berada dalam bimbingan sang Ibu. Beliau merupakan pribadi yang sangat takzim pada ibunya. Setiap kali hendak mengagumi seseorang, beliau selalu meminta izin kepada sang ibu untuk merestui kekagumannya. Jika ibu mengizinkan, ia boleh mempertahankannya. Namun jika tidak, beliau harus mengikhlaskannya.

Gus Cecep menikah dengan Ning Arina Hidayati pada tahun 1989 dan dikaruniai tiga putra, yaitu Syamsun Ni’amil Karim, Achmad Ni’amil Chamim, dan An’imna Rizqi Daroini Al Karim.

Beliau adalah pribadi yang konsisten dan tidak pernah menyesali keputusannya. Ketika tindakan yang direncanakan tidak sesuai dengan keinginan, beliau tetap legowo menerima konsekuensinya dan lebih memilih mencari solusi daripada merenungi kegagalannya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Warisan dari Sang Ayah

Keahlian yang Gus Cecep warisi dari sang ayah (Kiai Karim) adalah ketakziman terhadap kiai. Terdapat cerita dari Kiai Mundzir, salah seorang guru Kiai Karim. Suatu hari, Kiai Karim sedang menunggu kehadiran Kiai Mundzir. Ketika beliau datang, Kiai Karim membawakan kitab sang guru hingga sampai di tempat duduknya. Setelah itu, Kiai Karim duduk di tangga (tempat yang lebih rendah dari tempat duduk sang guru). Beliau tidak berkenan duduk sejajar dengan gurunya. Meskipun beliau adalah putra dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.

Ketakziman Kiai Karim ini kemudian menurun kepada Gus Cecep, putra bungsunya. Ketika bertemu seorang alim, Gus Cecep sangat santun dan takzim. Diceritakan bahwa Gus Cecep pernah bersedia bersimpuh di lantai sebagai bentuk penghormatan kepada kiai atau orang alim.

Selain itu, Gus Cecep juga mewarisi keahlian menulis karya sastra dari sang ayah. Mulai dari menulis puisi, surat, dan jenis tulisan lainnya. Keahlian menulis ini kemudian diwarisi oleh putra-putra beliau, namun bukan dalam bidang sastra, melainkan dalam bidang lainnya.

Riwayat Pendidikan

Pendidikan pertama Gus Cecep ditempuh di SDN 1 Cukir selama 6 tahun, sebelum akhirnya berangkat mencari ilmu di Pesantren Darussalam Gontor. Usai menempuh proses belajar di Gontor, beliau kembali ke Tebuireng untuk melanjutkan sekolah di jenjang Madrasah Aliyah. Beliau juga sempat menempuh studi di Universitas Darul Ulum, namun tidak berlangsung hingga akhir. Setelah dua tahun, Beliau memilih untuk tidak melanjutkan studi tersebut.

Pendirian PP Al-Karimiyah

Bermula dari keinginan seorang santri berkhidmat kepada Kiai Natsir Karim (Gus Cecep), kemudian bertambah menjadi empat, tujuh, sebelas, hingga tujuh belas. Inilah yang melatar belakangi berdirinya Pondok Pesantren Al-Karimiyah. Sebelum resmi menjadi pesantren, Al-Karimiyah adalah Madrasah Diniyah yang berada dalam naungan Yayasan Karimiyah Hasyim. Madrasah Diniyah ini dimulai pada tahun 2011, kemudian berkembang menjadi Lembaga Pendidikan dan Pesantren, hingga akhirnya menjadi Pondok Pesantren Al-Karimiyah.

Al-Karimiyah merupakan pesantren semi salaf yang fokus pada kajian ilmu agama dengan menggunakan kitab turats dan pendidikan formal. Pengasuh (Gus Cecep) mempunyai harapan untuk mendidik para santri menjadi santri yang baik dan berakhlak karimah. Penanaman pendidikan etika lebih ditekankan dibanding bidang yang lain. Karena etika seorang santri dianggap lebih penting dari yang lain.

Sebagai Pengasuh

Gus Cecep dikenal sebagai sosok pengasuh yang sabar dalam membina santri-santrinya. Setiap kali istri beliau hendak memarahi santrinya, beliau menegur. Beliau menghimbau kepada istrinya untuk tidak mudah marah kepada santri. Pernah suatu ketika para santri hendak dihukum membersihkan sungai yang ada di depan pondok karena tidak melaksanakan salat Subuh berjamaah. Gus Cecep lalu menghimbau para santri untuk menggunakan alas kaki dan berhati-hati agar tidak terkena benda-benda tajam. Kekhawatiran beliau tersebut menggambarkan bahwa beliau peduli dan perhatian kepada santrinya, meskipun santri dalam keadaan bersalah.

Sebagai Ayah

Beda halnya dengan sikap beliau yang lembut dalam mendidik para santri. Gus Cecep relatif lebih keras ketika mendidik putra-putranya. Prinsip ini mirip dengan prinsip yang dimiliki oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Hadratussyaikh cenderung lebih lembut kepada orang lain dan sangat keras terhadap dirinya dan keluarganya sendiri. Pesan yang pernah disampaikan oleh Gus Cecep kepada putranya yang kemudian membawa dampak besar dalam perubahan sikap sang putra adalah, “Apapun kalau tidak diridai orang tua itu tidak enak”.

Semenjak saat itu, putra beliau yang mulanya bandel dan sering tidak mengindahkan nasihat orang tua menjadi pribadi yang patuh dan taat terhadap orang tua.

Silsilah dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

*Tulisan ini disusun oleh Tim Majalah Tebuireng Jombang.

(ket. Dua Tim Majalah Tebuireng Septian dan Afabih foto bersama keluarga Gus Cecep, usai mencari data tulisan.)