Oleh: Silmi Adawiya*

Gambaran tentang zaman sekarang yang telah terjadi ledakan ilmu pengetahuan telah ditulis oleh Charles Van Doren  dengan judul “A History of Knowledge: Past, Present, and Future”. Cendekiawan asal Amerika tersebut menyebutnya dengan “knowledge explosion”. Kondisi di mana ratusan buku dan jurnal diterbitkan, ilmu pengetahuan baru dan laman web selalu bermunculan.

Dengan munculnya ledakan ilmu pengetahuan, secara positif kita dengan mudah bisa mengakses dan mendapatkan berbagai informasi. Namun, di sisi lain fenomena tersebut melahirkan banyak pilihan, sehingga menimbulkan kebingungan dalam memilih dan memilah informasi yang benar, khususnya kepada para pencari ilmu yang menekuni ilmu di bidangnya.

Dalam mencari ilmu pun ada adabnya. Meskipun mencari ilmu adalah perbuatan yang mulia, tetapi ia juga perkara yang sulit (ṭalab al-‘ilm min aʿla al-umūr wa ashʿabihā), demikian kata imam az Zarnuji dalam kitabnya Ta`līm al Muta`allim Tharīq at Ta`alum.

Karena seseorang yang mencari ilmu melalui sumber yang tidak punya otoritas di bidangnya misalnya, bisa saja mengelirukan pikirannya, karena ilmu yang diperolehnya tidak benar. Apalagi, jika dia mengikuti perdebatan orang-orang mengenai ilmu, sedangkan dia belum cukup untuk mengikutinya, ini bisa lebih mengelirukan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Maka dari itu, kehadiran guru sebagai pembimbing dalam belajar menjadi sangat penting, agar pencari ilmu tidak jatuh ke dalam keraguan dan kebimbangan. Bak kata Imam al-Ghazālī: “mencegah orang yang baru belajar dari mencampuri persoalan-persoalan yang meragukan, sama halnya dengan mencegah orang yang baru saja masuk Islam dari pergaulan orang-orang non-muslim (kafir)” (al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, jil.1: 51).

Di sinilah, peran guru sebagai penunjuk jalan kepada pelajar tersebut. Oleh sebab itu, benarlah nasehat Sahabat Ali r.a. bahwa salah satu syarat untuk mendapatkan ilmu adalah melalui irsyādu ustādz, bimbingan guru (az Zarnuji, Ta’līm al-Muta‘allim: 23).

Lebih lanjut az Zarnuji menasehatkan bahwa untuk mendapatkan guru pun, ia harus memilih siapa guru yang mengajarkan ilmu kepadanya. Seyogyanya, tidak pula tergesa-gesa tatkala memilih guru, tetapi bermusyawarahlah kepada orang alim dan berfikir beberapa waktu sehingga benar-benar yakin siapa guru terbaik dalam bidang ilmu yang diminatinya.

Nasehat az Zarnuji ini patut direnungkan. Ini merupakan satu gambaran bahwa Islam sangat memandang tinggi kedudukan guru dan ilmu. Mencari guru berdasarkan kriteria yang terbaik akan membentuk kepribadian dan keilmuan pencari ilmu tersebut. Lalu, apa kriteria guru yang dimaksud? az Zarnuji berkata, “Carilah yang alim (a‘lām), wara (awrā‘), dan lebih tua usianya (pengalaman)”. Ini lah juga yang diamalkan langsung oleh Imam Abu Hanifah tatkala beliau ingin menuntut ilmu dengan terlebih dahulu mencari guru. Setelah Imam Abu Hanifah memikir dan mempertimbangkannya, maka didapatinya gurunya tersebut bernama Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman.

Keunikan ciri pendidikan Islam yaitu penganugerahan ijazah yang merupakan asli dan murni dari tradisi keilmuan Islam yang meskipun secara konsep. Menurut George Makdisi dalam bukunya The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West, berkembang pada abad ke-4 Hijriah atau 10 Masehi. Namun, secara amalannya sejatinya bermula dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sebagai insan agung yang paling berotoritas menyampaikan wahyu dan ilmu dari Allah SWT kepada para sahabatnya secara lisan, yang kemudian dari sahabat kepada Tabi‘in dan dari Tabi’in kepada Tabi‘ut Tabi‘in dan seterusnya dari generasi ke generasi (George Makdisi, 1981: 270-272).

Perkembangan dunia teknologi saat ini juga perlu diperhatikan. Jangan sampai kemudahan mendapatkan pengetahuan agama melalui media internet, bisa mempengaruhi dan memberi peluang orang melakukan langkah instan dalam belajar. Ilmu itu didatangi dan dihormati, dan dipelajari dengan sungguh-sungguh dan kesabaran. Keberkahan ilmu akan datang apabila kita bertatap muka dan berhadapan langsung dengan guru secara rendah hati dan hormat dan dia mengakui kita sebagai muridnya.

Inilah adab dalam belajar. Begitupun adab terhadap guru, al Ghazali menasehatkan agar bersikap rendah hati dan tawadhu, tidak sombong (takabbur) dan jangan melawan kepadanya. Dia harus mendengarkan nasihat gurunya seperti orang sakit yang percaya kepada dokter yang berpengalaman. Sikapnya kepada guru seumpama tanah kering yang disirami hujan lebat, kemudian meresaplah air itu dan meratalah ke seluruh tanah (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin: 50).


*Alumnus Unhasy Tebuireng dan Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir, kini menempuh pendidikan pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah Ciputat