Haul  Gus Dur untuk yang kelima di Pesantren Tebuireng akan dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 2015. Pada momentum kali ini, pelajaran apa yang bisa kita petik?

Sejak kepergian sang guru bangsa  hingga sekarang ini, masalah perdamaian dikalangan warga bangsa ini masih mudah terusik. Kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang konon agamis, masih mudah bergesekan, baik itu karena persoalan perbedaan pemahaman maupun keyakinan. Perjuangan Gus Dur dalam membangun masyarakat yang toleran dan kokoh belumlah sepenuhnya berhasil sempurna hingga sekarang ini. Masih begitu banyak persoalan-persoalan yang hingga kini membutuhkan perjuangan lanjutan.

Menurut laporan The Wahid Institue, pada tahun 2013  pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan atau intoleransi masih tinggi. Setidaknya adaa 245 kasus. Terdiri dari 106 peristiwa(43 persen) melibatkan aktor negara dan 139 peristiwa(57 persen) dilakukan oleh aktor non negara. Sementara, total jumlah tindakan sebanyak 280 dimana 121 tindakan (43 persen) dilakukan oleh aktor negara dan 159 tindakan(57 persen) dilakukan oleh aktor negara. Sedangkan pada tahun 2014 mengalami penurunan. Kendati demikian, keberhasilan menurunkan angka kasus intoleransi harus terus dilakukan. Beragam tindakan pencegahan penting dilakukan. Kedepan, biar persoalan kehidupan beragama yang harmoni dapat terus terjaga diperlakukan strategi jitu. Misalnya, memaksimalkan kembali peranan guru agama baik di sekolah formal maupun non formal.

Peran Guru Agama, Minim?

Guru agama tidak sekedar bertugas mentransfer ilmu pengetahuan belaka, namun juga membina dan membentuk karakter murid dalam kehidupannya. Kegagalan si murid dalam mengimplementasikan pengetahuannya khususnya dalam bidang agama di masyarakat menjadi cermin negatif seorang gurunya di sekolah maupun madrasah. Sebagaimana adagium populer di telinga kita, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Bahkan, orang yang paham dan mengetahui masalah seputar keagamaan dalam masyarakat kita status sosialnya tinggi, melebihi mereka para sarjanawan lulusan non pendidikan agama. Dengan demikian, artinya menjadi penting, bagaimana menjadikan para guru agama kita untuk tampil di masyarakat dan sekolahnya sebagai agen perdamaian.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Melalui pemahaman agama yang benar dan sikap bijak dapat membantu peran negara dalam menjaga keharmonisan masyarakat. Guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Atas peran merekalah bangsa ini dapat sukses menyiapkan generasi-generasi bangsa yang pintar dan berkarakter di masa depan. Guru agama merupakan agen perdamaian di kehidupan masyarakat. Institusi pendidikan sebagai tempat berproses mengkader para generasi bangsa bisa sudah selayaknya dijadikan sarana untuk mentransformasikan pemahaman agama yang sejuk dan penuh kedamaian. Misalnya, menanamkan sikap bijak dan kedewasan dalam memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama. Krisis spiritual yang melanda umat manusia modern menjadi salah satu bukti nyata. Agama semakin ditinggalkan. Dan peranan guru amat dibutuhkan dalam hal ini.

Sependapat maupun tidak, kekerasan yang berbau agama di negeri bernama Indonesia mudah sekali membara. Salah satu faktornya, yakni dangkalnya pengetahuan agama. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dipahami secara radikal. Sehingga mendorong gerakan profokatif dan berlanjut ke tindakan anarkisme. Misalnya, memahami kata jihad. Kemudian, mengucapkan kebolehan Selamat Natal kepada umat Kristiani. Yang hingga kini terus menjadi polemik akhir tahunan. Padahal sejumlah tokoh agamawan sepertihalnya Gus Dur tidak mempermasalahkannya.

Sekiranya, dalam hal ini, transformasi pengetahuan yang luas oleh kalangan guru agama kepada para anak didiknya menjadi penting. Sehingga, kelak dapat menjadi bekal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, seorang guru agama seperti ustad TPA/TPQ dikampung memberikan pengetahuan tambahan. Mereka  yang selama ini hanya mengajarkan menulis dan membaca Al Qur’an mau menambahkan pengetahuan dasar seperti, saling bertoleransi antar teman saat berbeda pemahaman dan keyakinan.

Jika sikap seperti toleransi tidak diperkenankan sejak dini, bisa menimbulkan pemahaman yang fatal dikemudian hari.  Minimnya  pernanan guru agama dalam ikut andil menciptakan kehidupan yang toleran di permukaan perlu diubah. Seolah hanya melibatkan segelintir tokoh di masyarakat. Padahal kasus intoleransi mudah terjadi. Terbukti, kasus-kasus intolreansi seperti Syi’ah Sampang sampai kini belum menemukan kejelasan. Akibatnya, kita tak pernah mampu merawat kelangsungan kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian. Perbedaan pemahaman dan keyakinan masih belum bisa di sikapi dengan dewasa.

Sesungguhnya, guru agama memiliki peranan penting dalam merawat kehidupan berbangsa dan bernegara baik saat ini maupun kedepan. Pasalnya, guru agama yang bertugas sebagai orang yang memberikan pemahaman ajaran-ajaran agama dibangku sekolahan maupun pesantren memiliki posisi strategis. Guru agama sebagai ujung tombak dalam memberikan pemahaman dan pencerahan dikalangan generasi bangsa yang duduk dibangku sekolah. Kedangkalan dalam memahami agama dikalangan generasi muda di kemudian hari jelas  dapat membawa dampak besar bagi keberlangsungan kehidupan beragama di masyarakat. Semoga dengan Haul Gus Dur di tahun ini, menginspirasi kita semua khususnya para guru agama untuk ikut memperjuangkan kehidupan berbangsa dan bergama yang toleran. Bukankah, ini ide dan pemikiran beliau yang perlu terus dikembangkan dan dilanjutkan?

Ahmad Faozan, Pengelola Sanggar Kepoedang Tebuireng.