Opini oleh: Ahmad Fadzlur Rahman
Bagi para pengkaji Islam kontemporer, sudah sangat familiar di telinga, ada tiga peradaban besar yang berbeda dan berjaya di zamannya masing-masing. Era peradaban rasio mengalami kejayaaan di Yunani. Era peradaban teks yang mencapai puncak keemasan di Arab. Lalu peradaban sains-teknologi yang sedang mengalami masa puber di Eropa sekarang ini.
Pertanyaanya, peradaban apakah yang ada di Indonesia? Kata-katanya Indonesia mulai dilirik sebagai pusat peradaban Islam selanjutnya setelah Arab yang beberapa abad sebelumnya mengalami kemunduran peradaban. Apakah akan ada pembentukan peradaban baru di luar tiga peradaban yang sering dibicarakan. Atau akan ada sintesa dari dua dari tiga peradaban yang sudah ada. Atau sintesa dari tidak peradaban sekaligus.
Dari situasi yang ada, timbul pesimistis menatap masa depan bangsa kita ini. Peradaban teks ulama Indonesia pernah jaya pada zamannya dengan adanya jaringan ulama nusantara yang belajar di Hijaz. Ada Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Kalimantan dengan karya Sabilal Muhatadin-nya.
Selain itu juga ada Syekh Nawawi al-Bantani Jawa dengan at-Tafsir al-Munir-nya. Ada Syekh Muhammad Yasin al-Fadani Sumatera dengan Fawaid al-Janiyyah-nya serta karya-karya lainnya yang muncul dari kekreatifan tangan mereka bertiga, Lalu juga Ulama-ulama nusantara yang lain, yang karya tulisnya tidak kalah banyak dan berkualitas.
Hanya saja adakah prestasi-prestasi seperti itu masih bisa dipertahankan atau bahkan dibawa ke level peradaban yang lebih tinggi bahkan pada level keemasan. atau bahkan sebaliknya. Dalam bidang Tafsir, puluhan tahun yang lalu masih ada Prof. Hadji Abdul Malik Bin Karim Amrullah (Buya Hamka) yang meninggalkan karya Tafsir Al-Azhar.
Di zaman sekarangpun ada Prof. Dr. Qurais Shihab dengan Tafsir Al-Misbah-nya meskipun dua karya ini belum bisa dikatakan menjangkau pembaca internasional karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang tergolong lokal.
Setelah Pak Qurais yang sudah lanjut usia, adakah kira-kira ilmuan Tafsir yang bisa setara dengan beliau dalam bidang ini. Saya berpendapat, terlampau sulit untuk mencari padanan beliau, meskipun benih-benih itu ada. Kecerdasan beliau diimbangi dengan keistikamahan dalam menggeluti tafsir Al Quran.
Sudah maklum kita temui banyak orang yang sudah mencapai puncak kedewasaan dalam keilmuan, lalu ada jalan lain yang lebih menggiurkan nalurinya, yaitu politik praktis sehingga mulailah waktu untuk menggeluti keilmuan sedikit demi sedikit terkurangi.
Tidak cukup dengan kondisi ini, yang terlampau parah, Tergesernya kebudayaan teks yang pernah jaya di Indonesia dengan peradaban media sosial (medsos).
Membaca dan memahami Kitab suci Al Quran sebagai induk teks, ditambah hadis, dan produk-produk ijtihad ulama klasik yang lain atau bahkan kitab-kitab putih karya para ilmuan sekuler sudah terlupakan dengan kebiasaan membaca sosmed dengan gadget.
Andai saja gadget bisa dimanfaatkan untuk pelestarian peradaban teks masa lalu dan sekarang, bisa jadi akan lebih canggih peradaban Islam Indonesia. Ribuan, jutaan, bahkan milyaran kitab (baik kitab kuning atau putih) dalam bentuk soft file bisa tersimpan dalam satu gadget. Tapi itu hanya harapan kosong belaka. Bagi anak muda zaman “Now” seperti saya ini, faktanya lebih tergiur dan tertarik pada sosmed yang ada di gadget ketimbang kitab-kitab.
Bagi generasi muda Indonesia, medsos bisa menjadi semacam puncak dari pencapaian sain teknologi, yaitu teknologi medsos, yang bisa membalik kadaan pada level nol dari alur peradaban. Yunani memulai peradaban dengan peran rasionya disambung oleh Arab dengan teks lalu oleh Eropa dengan sain-teknologi.
Pada titik tertentu, bentuk sain-teknologi termutakhir dari peradaban Eropa malah menjadi momok menakutkan yang menumpulkan bahkan mematikan peran rasio sekaligus teks sehingga kembali ke titik nol semacam siklus sejarah yang bermula dari generasi pembangun, lalu generasi penikmat, dan yang terakhir generasi acuh tak acuh atau tidak peduli. Bisa jadi generasi terakhir inilah yang diperankan oleh generasi Indonesia zaman “Now” seperti saya.
Generasi yang menjadi lakon utama dalam peradaban mutakhir; Peradaban medsos. Generasi yang lebih doyan dengan foto-foto narsis IG ketimbang foto-foto tokoh sejarah, yang lebih suka mengkhatamkan postingan-postingan FB dan Twitter daripada mengkatamkan Al Quran dan tumpukan buku, generasi yang lebih nyaman dengan interaksi via whatsApp dibanding interaksi tatap muka langsung meskipun duduk di kursi bersebelahan.
Semoga apa yang saya sangkakan terhadap generasi zaman “Now”: Generasi saya ini hanya sekadar “Hoax”. Dan semoga generasi “Now” ini, seperti yang dikoar-koarnya Soekarno dalam pidato-pidatonya, dan seperti yang terus diulang-ulang D Zawawi Imron dalam orasi-orasi kebudayaannya, menjadi apinya sejarah, bukan menjadi abunya sejarah! Generasi yang berperan membangun agama dan bangsa.
Penulis adalah Alumni Unhasy yang saat ini sedang berproses di UIN Malang.