Seorang muslim saat berada di tempat ibadah.

Butir-butir Kuliah Bersama Prof. Imam Suprayogo

Sebuah penjelasan menarik dalam perkuliahan mahasiswa S3 Pendidikan Agama Islam Multikultural di Universitas Islam Malang (UNISMA) bersama Prof. Dr. KH. Imam Suprayogo. Kebanyakan orang membahas genealogi di dalam studi Islam, pastilah menelisik asal-asul agama ini dari sang penerima wahyu ditarik ke belakang saat nabi-nabi sebelumnya mendakwah, dan ke depan saat Islam sampai di negeri ini.

Namun, uniknya genealogi di tangan seorang profesor senior ini, menjadi pembahasan autokritik terhadap masing-masing individu untuk diajak menyelami jati diri manusia (insan) sebagai makhluk Allah yang dikatakan di dalam Surat at-Tiin ayat 4 sebagai Ahsanu Taqwim (sebaik-baiknya penciptaan), tetapi langsung ditegaskan dalam ayat berikutnya, radadnahu asfala safilin (bisa anjlok sampai dasarnya dasar). Apa maksudnya?

Hubungan Insan Kamil dan Kontradiksi dengan Keinsanan dalam Al-Quran

Selalu dikatakan oleh beberapa orang, bahkan banyak dijadikan sebagai jargon, visi, maupun tagline, baik di lembaga pendidikan atau instansi-instansi sosial keagamaan, kata “Insan Kamil”. Istilah “Insan Kamil” (manusia sempurna) pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi besar, Ibn Arabi (1165–1240). Konsep ini kemudian dikembangkan oleh pengikutnya, Abdul Karim al-Jili (1365–1428), dalam karyanya yang berjudul Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awa’il.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Konsep “Insan Kamil” (Manusia Sempurna) dalam pemikiran Ibn Arabi (1165–1240 M), seorang filsuf dan sufi besar Islam, merupakan salah satu gagasan sentral dalam tasawuf filosofis. Ibn Arabi, yang sering disebut sebagai “Syaikh al-Akbar” (Guru Terbesar), mengembangkan pemikiran yang mendalam tentang hakikat manusia, Tuhan, dan alam semesta. Konsep Insan Kamil mencerminkan pandangannya tentang kesempurnaan manusia dan hubungannya dengan Tuhan serta alam semesta.

Insan Kamil secara harfiah berarti “manusia sempurna” atau “manusia universal”. Dalam pandangan Ibn Arabi, Insan Kamil adalah manusia yang telah mencapai tingkat spiritual tertinggi, di mana ia menyadari dan merefleksikan seluruh sifat dan nama-nama Tuhan (Asmaul Husna). Manusia sempurna ini bukan hanya mencerminkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi perwujudan mikrokosmos (alam kecil) yang mencerminkan makrokosmos (alam besar).

Menurut Ibn Arabi, manusia diciptakan sebagai “cermin” Tuhan. Dalam konsep Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud), Ibn Arabi menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah manifestasi dari Wujud Tuhan. Namun, manusia memiliki posisi istimewa karena ia adalah makhluk yang paling sempurna dan mampu merefleksikan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Insan Kamil adalah manusia yang telah mencapai kesadaran penuh tentang kesatuan ini.

Baca Juga: Menolong Orang Lain Hakikatnya Menolong Diri Sendiri

Insan Kamil dianggap sebagai penghubung antara Tuhan dan alam semesta. Ia adalah “khalifah” (wakil) Tuhan di bumi, yang bertugas menjaga keseimbangan dan harmoni alam semesta. Dalam pandangan Ibn Arabi, alam semesta tidak akan memiliki makna tanpa kehadiran manusia, karena manusia adalah makhluk yang mampu memahami dan mengungkapkan rahasia-rahasia Tuhan melalui dirinya.

Ciri-ciri Insan Kamil menurut Ibn Arabi adalah kesadaran spiritual tinggi Insan Kamil memiliki kesadaran penuh tentang keberadaan Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta. Lalu adanya keseimbangan antara Lahir dan Batin. Ia mampu mengintegrasikan aspek lahiriah (fisik) dan batiniah (spiritual) dalam kehidupannya. Kemudian ada refleksi sifat tuhan. Insan Kamil merefleksikan sifat-sifat Tuhan seperti kasih sayang, keadilan, kebijaksanaan, dan keindahan. Dan terakhir kedamaian dan kebahagiaan. Ia hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan karena telah mencapai penyatuan dengan Tuhan (Wahdat al-Wujud).

Menurut Ibn Arabi, perjalanan menuju Insan Kamil adalah perjalanan spiritual yang disebut suluk. Proses ini melibatkan Takhalli yaitu membersihkan diri dari sifat-sifat buruk dan egois, Tahalli, yaitu enghiasi diri dengan sifat-sifat mulia dan Ilahi, dan Tajalli  atau mencapai pencerahan spiritual di mana Tuhan menampakkan diri-Nya dalam hati manusia.

Tetapi kritik terhadap Konsep Insan Kamil juga sangat banyak. Beberapa kritikus menganggap konsep Insan Kamil dan Wahdatul Wujud Ibn Arabi terlalu abstrak dan sulit dipahami. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa pemahaman yang salah tentang konsep ini dapat mengarah pada panteisme (penyamaan Tuhan dengan alam), yang bertentangan dengan ajaran Islam yang menegaskan transendensi Tuhan.

Kita memamg tidak sedang membahas pemikiran Ibn Arabi tentang insan kamil, tapi Profesor Imam, menyinggungnya di dalam penjelasannya, penulis menjadi tertarik membahasnya sedikit sebagai pemantik tulisan. Karena Prof Imam memposisikan diri sebagai pihak kontra, yaitu di mana lafadz insan yang merujuk pada arti manusia di dalam al-Quran banyak yang disebutkan dalam penjelasan dan konotasi yang negatif.

Secara teoritis potensi yang ada pada manusia itu adalah (a) jasad ( alAnbiya’ : 8, Shad : 34 ); (b) ruh (al-Hijr 29, As-Sajadah 9, Al-anbiya’ :91 dan lain-lain); (c) nafsu (al-Baqarah 48, Ali Imran 185 dan lain-lain) ; (d) Aqal (alBaqarah 76, al-Anfal 22, al Mulk 10 dan lain-lain); dan (e) Qolbu ( Ali Imran 159, Al-Ara’f 179, Shaffat 84 dan lain-lain).

Di dalam Al-Quran, manusia disebut dengan berbagai istilah yang mencerminkan aspek-aspek berbeda dari keberadaan, sifat, dan peran mereka. Setiap istilah memiliki makna dan konteks tertentu yang digunakan untuk menggambarkan manusia dari sudut pandang fisik, spiritual, sosial, dan moral. Berikut adalah beberapa istilah yang digunakan dalam Al-Quran untuk menyebut manusia:

Pertama, manusia disebutkan dengan kata Insan (إنسان). Kata “insan” berasal dari akar kata nasiya (lupa) atau uns (kelembutan atau kebersamaan). Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan manusia secara umum, baik dari segi fisik, psikologis, maupun spiritual. Namun kata ini seringnya di dalam al-Quran dipakai untuk menunjukkan sisi kelemahan manusia, seperti sifat pelupa, tetapi juga potensi untuk mencapai kesempurnaan, tetapi hanya satu ayat di surat at-Tiin.

Baca Juga: Menjadi Manusia Itu Takdir, Menjaga Kemanusiaan Itu Pilihan

Contoh misalkan QS. Al-Insan (76) disebutkan, “Bukankah telah datang atas manusia (insan) satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” Artinya manusia berangkat dari ketidaktahuan lalu di ayat lain disebutkan misalnya di al-Baqarah barulah manusia pertama Adam a.s, diajari Allah seluruh-seluruh pengetahuan, sehingga manusia disebutkan punya potensi akal untuk belajar.

Tetapi kebanyakan disebutkan dalam penjelasan tentang kelemahan, misalkan manusia disebutkan “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (Al-Ahzab: 72)”, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah (al-Balad: 4), “……dan manusia dijadikan bersifat lemah (an-Nisa: 28), “Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian (al-Ashr: 2), dll

Selain insan, manusia juga disebut al-Basyar (بشر). Kata “basyar” merujuk pada manusia sebagai makhluk fisik, biologis, dan material. Istilah ini menekankan aspek kemanusiaan yang nyata, seperti kelahiran, pertumbuhan, dan kematian. Basyar menggambarkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kebutuhan fisik, emosi, dan keterbatasan. Sebagaimana dalam QS. Al-Kahf (18): 110, “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (basyar) seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa.'” Dan juga QS. Al-Hijr (15): 28 “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku akan menciptakan seorang manusia (basyar) dari tanah liat yang kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.

Kemudian ada juga istilah lain untuk menggambarkan manusia, yaitu an-Nas. Di dalam QS. An-Nas (الناس), kata “an-nas” merujuk pada manusia sebagai makhluk sosial atau kolektif. Istilah ini sering digunakan dalam konteks hubungan antar manusia, masyarakat, dan tanggung jawab sosial. an-Nas menunjukkan manusia sebagai bagian dari komunitas atau umat. Sebagaimana dalam QS. An-Nas (114): 1-3, “Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia (an-nas), Penguasa manusia, Sembahan manusia.'” Juga QS. Al-Baqarah (2): 21, “Wahai manusia (an-nas), sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”_

Lalu, istilah manusia juga biasa disebut dengan Banu Adam (بني آدم). Istilah “banu Adam” berarti “anak-anak Adam” dan merujuk pada seluruh umat manusia sebagai keturunan Nabi Adam. Istilah ini menekankan kesatuan asal-usul manusia dan persaudaraan universal. Mengingatkan manusia akan kesamaan derajat dan tanggung jawab bersama. Sebagaimana dalam QS. Al-A’raf (7): 26 “Wahai anak-anak Adam (banu Adam), sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan. Tetapi pakaian takwa, itulah yang terbaik.”

Selain, manusia disebut dalam berbagai nama, manusia juga disebutkan berdasarkan pada funsinya diciptakan. Contoh saja, manusia sebagai Abd (عبد). Kata “abd” berarti “hamba” atau “budak”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan manusia sebagai hamba Allah yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Menekankan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, serta kewajiban manusia untuk beribadah dan taat. Contoh Ayat, dalam QS. Az-Zumar (39): 53 “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku (ibadi) yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.'”

Manusia juga disebut sebagai Zurriyah (ذرية). Kata “zurriyah” berarti “keturunan” atau “generasi”. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada manusia sebagai generasi yang berkelanjutan. Istilah ini menunjukkan keberlanjutan kehidupan manusia dari generasi ke generasi. Contoh saja di dalam QS. Al-An’am (6): 133 “Dan Tuhanmu Maha Kaya, memiliki rahmat. Jika Dia menghendaki, Dia akan memusnahkan kamu dan menggantikanmu dengan yang Dia kehendaki setelah kamu (berupa) keturunan (zurriyah) dari kaum yang lain.”

Baca Juga: Bagaimana Kondisi Arwah Manusia setelah Kematian?

Manusia juga diutus Tuhan untuk menjadi Khalifah (خليفة). Kata “khalifah” berarti “wakil” atau “pengganti”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan manusia sebagai wakil Allah di bumi yang bertugas mengelola dan memakmurkan bumi. Menunjukkan tanggung jawab manusia sebagai pemimpin dan pengelola alam. Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah (2): 30 “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.'”. Istilah khalifah ini menimbulkan dua kemungkinan di dalam prosesnya, antara manusia menjadikan bumi lestari, atau menjadikannya rusak.

Manusia dengan penamaan insan di atas, telah dijelaskan gamblang bahwa ia berada pada potensi negatif di samping anugerah yang diberikan. Saking ingin memberi wanti-wanti itu, Allah harus menyebutkan kelemahan jauh lebih banyak dari pada kelebihannya.

Manusia setidaknya memiliki empat unsur utama, yaitu pantang kalah (api), pantang kelintasan (udara), pantang kerendahan (air), dan pantang kekurangan (tanah). Keempat pantang itu, lalu melahirkan sifat-sifat penyakit turunannya yang berjumlah  10, yaitu ajib (ujub/menunjukkan kehebatan), riyak (pamer),  takabur (membesarkan diri), iri, hasud, drengki, kikir, marah (ghadab), rakus (serakah), loba dan tamak. Dari 10 ini timbul lagi dua sifat yang memiliki destruktif, yaitu perusak dan dendam. Maka jika ditotal terdapat 17 unsur sifat buruk manusia yang sama jumlahnya dengan rakaat shalat lima waktu.



Penulis: Muhammad Abror Rosyidin
Editor: Rara Zarary