Oleh: Ananda Prayogi*
Pemuda dan Masa Depan
“Syubbaanul yaum, rijaalul ghad!”
“Pemuda hari ini adalah harapan generasi besok.” Pepatah tersebut pada dasarnya adalah apa yang ingin dicapai di tahun 2045 mendatang. Pemuda pada hari ini merupakan penggerak dan pengelola masa depan bangsa. Wacana dan angan-angan perubahan menjadi bangsa dan negara maju tidak bisa dicapai hanya dengan ongkang-ongkang kaki tanpa bukti. Kemajuan peradaban dan kesejahteraan sosial seperti yang diharapkan merupakan realitas yang harus diwujudkan dengan kerja nyata, bukan sekedar mimpi.
Prediksi bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia merupakan peluang dan kesempatan untuk membenahi berbagai macam ketimpangan dan ketidakteraturan dalam kehidupan di Indonesia. Namun tentu saja hal itu membutuhkan persiapan yang matang, agar sampai pada tahapan tersebut. Kita harus melalui berbagai tahapan perubahan dan merekonstruksi berbagai kebijakan dan kebiasaan dalam semua aspek kehidupan, baik dalam aspek sosial, pendidikan, budaya, maupun aspek politik.
Pada tahun 1995, penduduk Indonesia meningkat lebih dari 3 kali lipat dengan jumlah pemduduk 194.754.808 jiwa (BPS, 2012) dan diproyeksikan menjadi 305.652.253 jiwa di tahun 2035 (Bappenas, 2013). Menjadi 340 juta jiwa pada tahun 2045 (Karyana dan Wahidah, 2011) yah intinya sebanyak itulah kira-kira.
Pada saat itu, populasi jiwa produktif (15-64 Tahun) lebih besar dibandingkan angka ketergantungan (Dependen Ratio). Artinya, meningkatnya tenaga kerja potensial merupakan sebuah kesempatan untuk membuka peluang keberuntungan Indonesia, yaang kemudian oleh istilah disebut sebagai Jendela Demografi (Windows Demography).
Bonus Demografi yang diprediksi akan terjadi di tahun 2045 ini harus segera dieksekusi sejak dini, agar bonus itu tidak melahirkan efek samping Demography Diases (Kutukan Demografi). Jika pada tahun 2045 Indonesia belum mampu melakukan penempaan dan investasi pemuda yang berekualitas, maka hanya akan melahirkan pengangguran massal dan menambah beban negara yang bahkan saat inipun masih didera oleh berbagai kemelut.
Hal terpenting yang harus dilakukan adalah membekali pemuda dengan pendidikan, tidak hanya menyentuh kulit luarnya saja sehingga kosong esensi. Pendidikan karakter yang diusung sejak dulu adalah salah satu solusi nyata yang hanya akan terwujud bila tidak hanya menyentuh sisi materi saja akan tetapi juga sisi ruh.
Di sini nanti akan terlihat jelas, perbedaan guru dan pendidik. Sebab guru hanya akan melakukan transfer knowledge, sedangkan pendidik secara otomatis tidak hanya akan melakukan transfer of knowledge, akan tetapi juga akan mengikutsertakan value (nilai) yang akan membentuk karakter suatu bangsa.
Nyata atau tidaknya wacana “Generasi Emas di Tahun 2045” tergantung pengelola. Populasi usia penduduk yang berusia produktif hanya akan berhasil dioptimalkan jika generasi sebelumnya berhasil memberikan bimbingan, pendidikan dan bekal terbaik bagi generasi muda mendatang.
Jika hal demikian terjadi, maka kemungkinannya tak jauh beda dengan apa yang meneimpa generasi Afrika, kita juga akan ditimpa “lost generation”. Generasi yang hilang bisa saja dimaknai dengan hilangnya kesempatan untuk menggali potensi dan kemampuan para pemuda di usia produktif mereka. Saat hal ini terjadi, maka hanya akan banyak kekacauan bukannya pembenahan. “Generasi Emas” yang diangan-angankan akan terjadi di tahun 2045 hanya tinggal omong kosong tanpa makna.
Optimisme Pendidikan
Jika bicara perkembangan Indonesia, terkait beberapa perspektif tentang kemajuan pemuda, tentu kita optimis. Sebab kita menggunakan analisis pendidikan maupun perkembangan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Karena traffic dari kegiatan kepemudaan, baik dalam pendidikan maupun prestasi, seperti cabang olahraga Sea Games yang diselenggerakan di Indonesia beberapa waktu lalu. Secara otomatis, memberikan nilai optimisme kepada seluruh warga negara Indonesia dalam mengembangkan atau menangkap cerahnya masa depan pemuda pada saat ini.
Jika berbicara politik, lain lagi. Memang secara kondisional kita selalu bergantung pada iklim perpolitikan di Indonesia. Namun melihat sistem politik yang berjalan saat ini, kita yakin asalkan demokrasinya aman, siapapun presidennya, konteks kepemudaan menjadi prioritas program. Hal tersebut sudah menjadi sesuatu yang harus kita amati.
Baik pada masa kampanye, maupun dari wacana-wacana program yang saat ini secara ekslusif disampaikan. Tidak menutup diri dari keberadaan pemuda, justru mereka (politikus) memburu generasi milenial yang diartikan sebagai pemuda.
Kemudian harapan di tahun 2045, kita harus memiliki target di tahun 45 kira-kira memiliki momen apa saja. Revolusi kepemudaan dalam hal teknologi dan sebagainya. Harus memiliki patokan. Mengapa yang menjadi ukuran adalah pada tahun 2045. Karena keterukuran itu terkadang terkait dengan tahapan-tahapan yang dipenuhi atau terpenuhi pada tahun-tahun sebelumnya.
Pendidikan korupsi seringkali belum masuk dalam ranah pendidikan secara resmi. Jika dalam fakta hukum, dengan adanya penanganan korupsi tentu memiliki perkembangan, kita melihat produknya, penangkapan KPK yang meningkat. Kemudian beberapa pejabat yang belum tersentuh korupsi malah ikut terlibat. Artinya, meskipun belum optimal, penegakan hukum juga sudah mulai diprioritaskan. Hanya saja yang belum ada adalah konteks pendidikan.
Kenapa pendidikan korupsi yang selama ini telah dirumuskan, belum masuk ke wilayah fundamental dari pendidikan sendiri? Misalnya di jenjang dasar maupun pada jenjang menengah. Pendidikan korupsi baru bersifat anjuran belum menjadi kurikulum pokok ataupun nilai yang dimasukkan di mata pelajaran. Jadi, “korupsi” istilahnya masih belum sampai pada tahapan serius.
Nah, kita menargetkan pada tahun 2045 Indonesia sudah sembuh dari korupsi. Sebab dari aspek yang lain sudah dilakukan pembenahan dan perubahan meski belum secara optimal, namun disisi lain pendidikan justru belum tersentuh. Maka, jika korupsi dikatakan sebagai suatu penyakit, kita harus menyembuhkan dari segala macam aspek, tidak cukup hanya dari aspek hukum saja. Akan tetapi juga dari aspek sosial dan juga aspek pendidikan.
Dari aspek sosial, di media sosial minimalnya, sudah berlaku bullying terhadap para koruptor. Disini tampak peran masyarakat untuk menolak aksi korupsi ditengah masyarakat. Namun justru secara pendidikan belum.
Dalam menyongsong generasi EMAS (Energik, Multitalen, Aktif dan Spiritual), kita membutuhkan satu kunci krusial yang bernama, Pendidikan. Oleh M. Nuh, generasi emas yang seharusnya bukan generasi karbitan yang dinilai dari segi nilai dan peringkat di atas kertas. Emas yang dinilai berharga tentu saja manakala ia mampu memberikan kontribusi nyata di tengah masyarakat dan menebar manfaat yang sebanyak-banyaknya.
Oleh karenanya, semua lini harus berperan dalam membangun kehidupan berpendidikan dan berperadaban yang tidak hanya terlaksana di sekolah dan gedung-gedung kampus. Akan tetapi juga di kantor, di rumah, di tempat ibadah, di pasar dan dimanapun manusia berada. Pemerintah, ormas, tokoh agama dan masyarakat harus saling genggam menggenggam bekerja sama demi membentuk pemuda yang dapat diandalkan hingga melahirkan generasi Indonesia yang diidam-idamkan.
*mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
**disarikan dari berbagai sumber