
Beberapa tulisan penulis sebelumnya, mengkritisi soal perubahan kurikulum yang selalu dilakukan sebagai siklus limatahunan di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional di negara ini. Padahal masalah utama bangsa ini sekarang, bukanlah kurikulum, tetapi justru ada pada faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum, seperti guru, lingkungan, peserta didik, fasilitas, dan lain-lain.
Perubahan-perubahan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya sah-sah saja, karena tidak ada konstitusi yang dilanggar. Kurikulum yang diusungpun sebenarnya dapat dikembangkan dengan baik, jika, sekali lagi, jika dibarengi dengan keberlanjutan yang pasti dan jelas. Bukan diubah-ubah tanpa mempertimbangkan asas keberlanjutan dan evaluasi, lebih didasari atas alasan politis dan hegemoni kabinet. Walaupun Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah belum menamai konsepnya sebagai kurikulum baru, tetapi arah dan tujuannya tetap menurut penulis, sama, yaitu merombak kurikulum lama.
Imbas dari problem itu, juga meracau pada pendidikan Islam, di mana lembaga-lembaga pendidikan agama yang berada dalam naungan Kementerian Agama, tidak bisa membentuk kurikulum secara nasional sendiri, tetapi mengacu pada konsep yang dibuat Kementerian Pendidikan dan didok oleh Presiden. Mau tidak mau, pendidikan Islam harus mengekor dan tentu saja akibatnya harus bermain dalam dua kaki, sebagai bentuk kepatuhan. Internalisasi sebagai tingkatan paling tinggi di dalam implementasi pendidikan, akhirnya menjadi sama rata antara pendidikan Islam dan umum, padahal unsur dan tujuannya tentu saja harusnya berbeda.
Baca Juga: Masalah Utama Pendidikan Nasional Bukanlah Kurikulum
Lima tahun berlalu, kurikulum diubah, padahal kurikulum sebelumnya belum terlaksana maksimal, bahkan gurunya baru saja memahami dan mendapatkan sosialiasi, atau di beberapa daerah mungkin baru saja menerapkan, tapi tak lama mereka mendengar menteri baru membuat kurikulum baru. Naasnya, selalu yang digaungkan, kurikulum baru yang diusung dianggap lebih baik dari kurikulum sebelumnya. Benarkah?
Dilihat dari sisi implementasi kurikulum, ada bererapa faktor yang mempengaruhinya, yang jika faktor-faktor itu tidak dapat dipenuhi dengan baik, pelaksanaan kurikulum menjadi hanya konsep belaka, atau mentok, menjadi media percobaan saja, tanpa ada uji validitas, reabilitas dan evaluasi. Karena langsung dicut dengan konsep baru. Baru saja sebagian guru paham K13, sudah harus dicekoki dengan Kurikulum Merdeka, belum juga terlaksana sempurna, Kurmer mungkin saja dirombak. Pertanyaan mendasarnya? Apakah betul permasalahan pendidikan kita itu kurikulum? Problematika pendidikan kita ini apakah ada pada aspek konsepsi, atau ada pada aspek penunjang?
Faktor yang Mepengaruhi Implementasi Kurikulum
Faktor pertama dan utama yang mempengaruhi implementasi kurikulum, yaitu guru. Whitaker (1979) dalam modul Universitas Zimbabwe (1995: 26), para guru memandang peran mereka dalam implementasi kurikulum sebagai peran yang otonom. Mereka memilih dan memutuskan apa yang akan diajarkan dari silabus atau kurikulum yang telah ditentukan. Karena pembelajaran dalam pendidikan merupakan hasil interaksi antara pendidik dan peserta didik, maka peran guru tidak dapat dielakkan, apalagi dinafikan.
Baca Juga: Pendidikan Janin dalam Kandungan, Fondasi Awal Kecerdasan dan Karakter Anak
Kadang para desainer kurikulum dan perumusnya, itu menganggap bahwa “Tahu apa sih guru itu soal kurikulum itu?” Padahal pelaksana utama di dalam implementasi kurikulum adalah guru. Guru harus memahami administrasi, dokumen, konsep, hingga tujuan kurikulum agar pelaksanaan pembelajaran yang akan mereka terapkan tidak melenceng dari kurikulum yang diterapkan. Wolfson (1997) dalam curriculum Implementations, maka guru harus memainkan peran yang lebih signifikan dalam mendesain kurikulum. Guru harus dilibatkan dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum agar mereka dapat mengimplementasikan dan memodifikasi kurikulum untuk kepentingan siswa mereka.
Nyatanya, selama ini, guru di tingkat dasar, tidak mendapatkan ruang serap aspirasi untuk menceritakan kondisi belajar mengajar di daerah-daerah mereka. Bagaimana mereka dapat menunjukkan problematika mendasar di tempat mereka bisa berbeda dengan daerah lain. Tantangan dan fokusnya juga mungkin saja bisa berbeda. Selama ini mereka dicekoki kurikulum yang silih berganti tetapi tidak sesuai dengan kondisi mereka, akhirnya gurulah yang menyesuaikan dengan kurikulum yang disamaratakan, bukan kurikulum mengacu pada problematika kedaerahan yang dialami oleh guru.
Terlebih lagi, gaji guru non-PNS di sekolah-sekolah swasta jauh dari kata layak. Tanpa guru sekolah swasta, pendidikan kita ini tidak dapat menjangkau luas. Guru dengan gaji kisaran Rp.250.000-1.000.000 tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan gajinya itu, sehingga mereka harus bekerja di luar sektor pendidikan. Lalu beban adminstratif terus ditingkatkan sehingga waktu dan tenaga mereka betul-betul terbagi-bagi dan tidak fokus terhadap pembelajaran. Akhirnya yang terjadi, banyak guru “yang penting ngajar” hanya fokus pada transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowladge). Akhirnya pendidikan hanya menjadi ritual yang kering dan disorientatif.
Selain soal guru, lebih mengenaskan lagi adalah peserta didiknya sebagai subjek pendidikan yang sering dianggap sebagai objek belaka. Sebagaimana kritik tajam yang dilakukan John Holt dan Ivan Illich terhadap sistem pendidikan tradisional. Keduanya menekankan pentingnya kebebasan belajar dan mempertanyakan efektivitas sekolah sebagai institusi utama pendidikan. John Holt berpendapat bahwa sekolah tradisional sering kali menghambat kreativitas dan eksplorasi anak. Ia melihat sistem pendidikan formal sebagai mekanisme kontrol yang memaksa siswa mengikuti kurikulum yang tidak sesuai dengan ritme alami belajar mereka. Holt mengusulkan bahwa anak-anak belajar lebih baik ketika diberikan kebebasan penuh untuk mengeksplorasi dunia di sekitar mereka.
Akibat dari ketidakakomodatifan kurikulum pendidikan terhadap eksistensi peserta didik, Holt sampai harus mendukung homeschooling sebagai alternatif pendidikan yang lebih fleksibel. Walau konsep ini juga dipatahkan oleh aliran pendidikan sosialisme yang merasa sekolah rumah bisa mengakibatkan kecenderungan individualisme dan apatisme terhadap kehidupan sosial.
Ivan Illich lebih radikal dengan gagasan deschooling, yaitu penghapusan sekolah sebagai institusi pendidikan karena ia melihat sekolah sebagai alat reproduksi sosial yang lebih menguntungkan elit daripada mendidik individu secara sejati. Illich mengusulkan sistem pendidikan berbasis komunitas, di mana individu belajar melalui interaksi sosial langsung tanpa terikat oleh kurikulum sekolah.
Pada pendahuluan bukunya Deschooling Society, ia membuat bab khusus tentang “Why We Must Disestablish School” artinya “mengapa kita harus menghapus secara resmi sekolah?”. Ini diakibatkan karena keresahan soal kurikulum yang tidak melihat pada kondisi peserta didik tapi memukul rata, dan melihatnya sebagai kebijakan politis yang mengorbankan pendidikan. Kasarannya, guru bingung, murid ikut bingung, guru nyaman murid juga nyaman, karena mereka adalah dua komponen penting dalam pendidikan.
Baca Juga: Pentingnya Kesadaran bahwa Pendidikan adalah Investasi Masa Depan
Ketiga, fasilitas dan sumber daya yang mendukung. Di dalam tulisan penulis sebelumnya “Kurikulum Bukan Masalah Utama Pendidikan di Indonesia” disebutkan bahwa justru soal fasilitas dan sumber daya ini seharusnya dikuatkan terlebih dahulu. Karena mustahil jika serapan kurikulum tersebut dapat merata, jika kondisi fasilitas pendidikan dan sumber dayanya tidak memadahi. Penerapan kurikulum pendidikan kita ini masih menyamaratakan semua daerah menjadi satu kesatuan penerapan, di mana kurikulum penerapan di Jawa sama dengan di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, bahkan Papua. Padahal kondisi fasilitas mereka berbeda-beda, baik kaitannya dengan internet, buku, laboratorium, komputer, dan lain sebagainya.
Terkadang di sejumlah daerah terpencil dan tertinggal, sekolah negeri saja beratapkan jerami, dan berdinding kayu atau bambu. Kalau begini masih terus berlanjut, maka otonomi daerah tidak berimbas pada kemajuan pendidikan terutama untuk daerah terpencil dan tertinggal. Mau bagaimanapun kerikulumnya, mereka hanya melihat pendidikan sebagai second line dalam kehidupan, karena berimbas pada mindset. Dari pada sekolah mending bekerja dapat uang. Fasilitas dan keterjangkauan sumber daya ini menentukan persepsi terhadap pendidikan di masing-masing daerah. Yakin masih menekankan kurikulum sebagai masalah utama pendidikan?
Belum lagi, kita berbicara soal pengaruh persepsi dan kemampuan orang tua. Di mana kondisi ekonomi menentukan sekali tingkat ketercapaian pendidikan. Walau tidak selalu begitu. Begitu juga soal keragaman budaya dan ideologi yang menyebar di negara ini dari Sabang sampai Marauke yang berbeda-beda. Kurikulum sebagaimana yang dijelaskan oleh Michael Apple bahwa ia merupakan alat ideologis yang mencerminkan kepentingan politik dan budaya suatu masyarakat. Paulo Freire malah mengaitkan pendidikan dengan kesadaran kritis, di mana kurikulum harus mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan ideologi untuk membebaskan peserta didik dari sistem yang menindas. Begitu juga Henry Giroux yang mengembangkan konsep pedagogi kritis, yang menunjukkan bahwa kurikulum tidak netral, tetapi dipengaruhi oleh struktur sosial dan ideologi dominan.
Maka di sini, faktor-faktor yang mempengaruhi kurikulum yang berjumlah banyak ini haruslah didudukkan dulu ketersediaan dan kualitasnya. Barulah bicara soal kurikulum apa yang pas dan cocok untuk daerah A, B, dan C. Jika fasilitas di daerah A tidak sememedahi daerah B, atau daerah A budaya dan ideologinya tidak sama dengan B, maka tidak mungkin kurikulum yang cocok diterapkan di daerah B bisa diterapkan di daerah A. Sama saja jika, daerah C ternyata guru dan muridnya peminatannya ada pada model kurikulum A, setelah diserap aspirasi maka tidak mungkin sama dengan daerah B yang peminatannya kebanyakan ke model Z. inilah perlunya riset mendalam dan pelibatan banyak elemen mengakar di dalam dunia pendidikan, mulai dari unsur orang tua, peserta didik, guru, hingga pejabat terkait.
Untuk mengetahui itu semua, perlu riset yang mendalam. Namun anggaran BRIN justru terkena imbas efisiensi. Riset juga bagian penting dalam pembentukan kurikulum dan penerapannya. Semakin riset yang dilakukan mendalam dan komprehensif, maka semakin tepat guna kurikulum yang didesain. Agar tidak cenderung asumtif dan nirdata, maka risetlah yang harus dicanangkan.
Anggaran Pendidikan Indonesia
Anggaran merupakan bagian dari ketersediaan sumber daya di dalam faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum pendidikan. Anggaran pendidikan di Indonesia dialokasikan sebesar 20% dari APBN, menjadikannya salah satu yang tertinggi di kawasan ASEAN. Pada tahun 2024, total anggaran pendidikan mencapai Rp.660,8 triliun, meningkat dari Rp.612,2 triliun pada tahun sebelumnya.
Namun, mari kita analisis, dari pembagian anggaran pendidikan, (1) transfer ke daerah provinsi, kabupaten kota, dan dana desa sebesar Rp.346,56 triliun (52%), pengelolaan oleh Kemendikbudristek Rp.98,99 triliun (15%) (sekarang dibagi dua, antara Kemendikdasmen dan Kemendiktisaintek), Kemenag dan kementerian/lembaga lain Rp.95,16 triliun (14%), belanja non-kementerian/lembaga Rp.47,31 triliun (7%) dan pembiayaan pendidikan, Rp.77 triliun (12%).
Perlu diketahui bahwa gaji guru termasuk dalam anggaran pendidikan 20% dari APBN itu. Awalnya, gaji tenaga pendidik tidak dihitung dalam alokasi anggaran pendidikan, tetapi setelah putusan Mahkamah Konstitusi, gaji guru diakui sebagai bagian dari anggaran pendidikan. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang APBN, anggaran pendidikan mencakup alokasi melalui kementerian/lembaga, transfer ke daerah, serta pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik.
Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa masuknya gaji guru dalam anggaran pendidikan dapat mengurangi alokasi untuk infrastruktur dan program pendidikan lainnya. Betul saja semakin menjadi-jadi, pada tahun 2025, anggaran pendidikan Indonesia mencapai Rp.724,3 triliun, dengan Rp.81,6 triliun dialokasikan untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN. Ini berarti sekitar 11,3% dari total anggaran pendidikan digunakan untuk gaji dan tunjangan guru. Kebutuhan-kebutuhan lain, baik insfrastruktur, fasilitas penunjang, pembangunan, dll, hanya kebagian 8,7% saja.
Baca Juga: KH. A. Wahid Hasyim, Pelopor Pendidikan Kurikulum Modern di Pesantren
Kalau dilihat dari jumlah memang terlihat besar sekali anggaran pendidikan kita. Sebagai perbandingan beberapa negara dengan persentase anggaran pendidikan terbesar berdasarkan total belanja pemerintah misalkan Kosta Rika, lebih dari 30% dari total anggaran negara dialokasikan untuk pendidikan, Selandia Baru, sekitar 19% dari total anggaran, Chili sekitar 16% dari total anggaran, Brasil dan Meksiko lebih dari 15% dari total anggaran.
Semua negara di atas, memasukkan anggaran gaji guru ke dalam prosentase anggaran pendidikan nasional. Di antara beberapa negara di atas, yang masuk dalam kategori mengalami kemajuan pendidikan hanya Selandia Baru, karena jumlah penduduknya yang sedikit. Melihat anggaran pendidikan kita di atas, apakah sudah mengakomodir dengan porsi lebih besar terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kurikulum, atau sebaliknya? Silakan dicerna sendiri.
Kita bandingkan lagi dengan negara-negara maju. Beberapa negara maju tidak memasukkan gaji guru dalam anggaran pendidikan. Mereka memiliki sistem alokasi yang berbeda, di mana anggaran pendidikan hanya mencakup pengembangan kurikulum, infrastruktur, dan program pendidikan, sementara gaji guru dialokasikan dari anggaran lain, seperti anggaran pegawai negeri atau dana khusus.
Amerika Serikat misalnya, gaji guru dikelola melalui anggaran negara bagian, bukan dari anggaran pendidikan federal. Kanada, gaji guru dialokasikan dari anggaran provinsi, sementara anggaran pendidikan digunakan untuk pengembangan sekolah dan kurikulum. Jerman, gaji guru juga berasal dari anggaran pemerintahan daerah, sedangkan anggaran pendidikan difokuskan pada penelitian dan pengembangan akademik. Dan Belanda, gaji guru dikelola secara terpisah melalui anggaran tenaga kerja, bukan dari anggaran pendidikan nasional.
Jadi, jangan kita melihat anggaran pendidikan itu dari segi jumlah besaran prosentase dari APBN-nya, tetapi pembagiannya yang harus kita lihat. Negara-negara maju cenderung mengalokasikan anggaran pendidikan untuk riset, pengembangan, pembangunan fasilitas, kurikulum, dan lain-lain. Mereka memanfaatkan desentralisasi wilayah untuk mengatur anggaran gaji guru. Kira-kira bisa atau tidak Indonesia menggaji guru dari APBD? Ini kita belum bicara soal keterserapan dan ketepatan dalam distribusi anggaran. Bisa makin panjang lagi tulisan ini.
Akademisi Bertugas Mengoreksi
Pendeknya, penulis hanya memberikan perspektif yang lebih menyeluruh sesuai dengan teori kurikulum yang jelas para profesor yang mendesain kurikulum itu paham. Tapi tentu saja politisi jauh lebih paham soal politik kebijakan pendidikan dari pada profesor pendidikan. Itulah kenapa jika kebijakan pendidikan kita, termasuk kurikulum, lebih condong pada arah politik dari pada arah “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai cita-cita luhur pendiri bangsa. Sebagai akademisi, tidaklah patut kita selesai hanya dalam tataran pelaksana, harus terus memberikan masukan dan kritik konstruktif, terhadap kebijakan pemerintah, dan mengawasi pelaksanaannya. Jika akademisi hanya menjadi pelaksana, maka satu dari sekian alat kontrol sosial politik kita, telah runtuh.
Peran akademisi yang berkurang dan sengaja dikurangi adalah kecelakaan besar bagi bangsa. Apalagi jika terus dininabobokkan dengan sistem dan birokrasi. Apalagi efisiensi ini terus terjadi dan ikut menyasar anggaran riset. Jika dikhawatirkan ada pendanaan riset yang diselewengkan, tentu bukan risetnya yang dimatikan, tapi pengawasan dan auditifikasinya yang ditingkatkan. Salam Pendidikan.
Penulis: Muhammad Abror Rosyidin, Dosen Unhasy Tebuireng Jombang, saat ini menempuh pendidikan S3 PAI Multikultural Unisma.
Editor: Rara Zarary