Oleh: Minahul Asna*

“I know not with what weapons World War III will be fought, but World War IV will be fought with sticks and stones.” – Albert Einstein 1939

“Saya tidak tahu senjata apa yang digunakan di Perang Dunia 3, tapi Perang Dunia 4 akan menggunakan tongkat dan batu”, begitulah yang disampaikan oleh ilmuan paling berpengaruh hingga sekarang. Perkembangan ilmu dan teknologi yang melampaui moral manusia pada saat itu sehingga hancurlah Hirosima dan Nagasaki di Jepang pada 1945. Ribuan nyawa tak berdosa melayang oleh kepentingan para petinggi negara.

Menyadari kenyataan tersebut, Einstein sangat menyesal. Dalam wawancaranya dengan Newsweek pada tahun 1947, Einstein mengatakan, “Kalau saya tahu Jerman akan gagal mengembangkan bom atom, saya tak akan melakukan apa-apa.” Surat Einstein memberi gambaran akan dua sisi teknologi, memicu perkembangan sekaligus menghancurkan. Kini, manusia mengembangkan sejumlah teknologi mulai internet, penyuntingan gen, kecerdasan artifisial, dan lainnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dengan berbagai perkembangan itu, apakah manusia bisa mengembangkan nilai moral mereka selaras dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Saat ini, pergolakan dunia semakin memanas dengan perang yang ada di Ukraina dengan Rusia; Sengketa ‘Tanah yang dijanjikan’ oleh Israel di Palestina. Apakah bumi tercinta kita akan dihuni oleh besi yang terbakar?

Lalu bagaimana kita sebagai umat muslim menghadapi pergolakan tersebut? Dalam hal ini, Al-Ghazali memiliki satu teori yang cemerlang untuk mengatasi hal tersebut. Beliau dalam sejarah Islam dikenal sebagai seorang pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, sufi, dan sebagainya. Ia menulis begitu banyak buku yang mencakup berbagai bidang seperti aqidah, fiqih, ushul fiqih, filsafat, kalam, dan sufisme. Satu hal yang menarik, dalam hidupnya, al-Ghazali sempat mengalami satu peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yaitu Perang Salib (Crusade). Namun, di dalam karya besarnya, Ihya‘ Ulumiddin, ia justru tidak menulis satu bab tentang jihad. Malah, dalam kitab yang ditulis sekitar masa Perang Salib itu, al-Ghazali menekankan pentingnya apa yang disebut jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu).

Perang Salib dimulai pada 1095. Pada 50 tahun pertama, Pasukan Salib  berhasil mendominasi peperangan. Kekuatan kaum muslim porak-poranda. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan Palestina ditaklukkan. Ratusan ribu kaum muslim dibantai. Pasukan Salib yang memasuki Jerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu. Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum muslimin yang dibantai.

Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum muslim ketika itu. Karena itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan sikap dan posisi al-Ghazali dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri Muslim.

Tidak diragukan lagi, sebagai seorang tokoh dalam mazhab Syafii, al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah. Dalam pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka status jihad menjadi fard al-‘ain. Pakar Fiqih Islam, Wahbah al-Zuhaili  mencatat: “Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad diwajibkan kepada semua orang yang mampu dalam jihad. Tetapi, jika sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban itu gugur buat yang lain. Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka jihad menjadi fardu ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” – Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu.

Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib menjadi jelas jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Syafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut  dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.

Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah muslim, adalah menyeru kaum muslim kepada jihad.  Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual”  kaum muslim ketika itu.  Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum muslim bersatu. Kekalahan muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.

Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib.

Al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib. Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah menyebabkan, seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Karena itulah, para ulama seperti al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar. Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud,  dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang  cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).

“Jihad Paling Besar adalah Jihadnya seorang hamba melawan hawa nafsunya”


*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari