sumber: infokeluargamuslimah.blogspot.com
sumber: infokeluargamuslimah.blogspot.com

Oleh : Machtumah Malayati*

“Banyak orang menduga bahwa sampeyan akan menikah dengan seorang gadis paling cantik, nasabnya baik, berasal dari keluarga yang berada dan religius, sejak kecil nyantri di pesantren. Rupanya tidak demikian,” Nurtiyanti akhirnya mengatakan pendapatnya lantas ia nyruput es teh manis itu. Gelas es teh itu mengembun saking lamanya didiamkan, akhirnya meleleh juga.

Muhammad duduk di depan Nurtriya, tidak menjawab. Ia duduk menyandar, menikmati suasana terbuka pujasera dan es teh manis yang juga meleleh setelah lama beku. Pujasera itu adalah yang pertama di kawasan Tebuireng. Dusun kecil itu, sebelumnya mana ada pujasera, tempat nongkrong ala Amerika. Tapi, sejak wafatnya Gus Dur, ketika banyak orang datang berziarah dan banyak kios-kios jualan dibuka, maka pujasera itu juga dibuka. Sayangnya, tidak banyak peziarah mampir, pun para santri lebih suka nyangkruk di warung kopi plus jajanan ketan. Alhasil, pujasera sepi.

Sepi pujasera, sepi obrolan sore itu. Tanpa komentar dari Muhammad, Nurtriya bicara lagi, “Aku banyak mendengar orang-orang bicara bahwa keputusan sampeyan menikahi Adawiyah karena frustasi. Bahkan, banyak yang curiga keluarga gadis itu bermain dukun, sehingga akhirnya sampeyan memilih dan menikahi anak gadisnya.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Muhammad hanya tersenyum dan kedua pangkal alisnya mengerut. Heran. Kemudian Ia kembali menyeruput  es tehnya. Seorang pelayan segera bangkit dan menghampiri meja yang baru saja terisi. Mereka adalah santri-santri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Seblak yang berkerudung rubu’ khas pesantren itu. Tidak lama, pelayan dan santri-satri itu sibuk sendiri.

Tapi, Muhammad tidak sedikitpun sibuk. Ia masih tenang.

Muhammad adalah bujang panjang. Banyak orang tahu bahwa ia tidak kunjung menikah dalam tempo lama selama ini. Memang, ia bujang, tapi bujang tidak sembarang bujang. Ia bujang banyak uang, terlebih lagi setelah wafatnya Gus Dur, toko baju dan toko bukunya di Tebuireng semakin laku. Ia juga bujang tampan berkulit putih bersih, bujang bertitle S2 setelah menempuh pendidikan di UIN Sunan Ampel Surabaya, ia juga bujang yang tidak meninggalkan Shalat Dhuha. Terlebih lagi sekarang naik jabatan di usia karir dan usia diri yang cukup muda. Dan, kini dia memutuskan menikah tiba-tiba.

Muhammad melihat ke sekeliling. Kawasan Tebuireng itu cukup padat, di sisi-sisi jalan banyak toko, loundry, penginapan, lebih banyak lagi warung-warung penjual jajanan dan makanan. Mereka mendirikan rombong-rombong dengan kios kecil, bangku panjang mengkotak mengelilingi. Seorang pembeli datang ke warung mie ayam yang laris-manis. Penjual mie ayam segera merebus segulung mie. Asistennya menyiapkan mangkuk yang sudah terpakai, saking larisnya. Mangkuk itu dicuci di tong hitam kecil yang tidak cukup besar, lantas dibilas ke dalam tong lain yang airnya agak bersih. Setelah itu langsung dipakai untuk wadah makanan pembeli yang baru datang. Melihat itu, Muhammad mengernyitkan dahi, ada yang tidak pas mengusik pikirannya. Sebelum sebuah cara terpikir oleh Muhammad, Nurtriya menyabotase kesadarannya.

“Kenapa kau memilih gadis itu?”

Muhammad tersadar dengan pertanyaan itu, ia hanya tersenyum, “Apa yang salah?”

Memang tidak ada yang salah, tapi Nurtriya sedikit tidak terima. Nurtriya membenarkan posisi duduknya. “Baiklah, memang tidak ada yang salah.” Nurtriya menarik napas, lebih tepatnya mengendalikan dirinya. “Aku bingung. Sebenarnya, tidak sedikit gadis cantik menyukaimu, lebih dari satu gadis baik siap menerima pinanganmu, dan ada gadis pintar juga siap mendampingi hidupmu.”

“Misalnya saja, Ovanda Ayu. Namanya seperti orangnya. Ayu. Kulitnya begitu langsat, dengan pipi gembul mengapit bibirnya yang mungil, tebal di bawah. Ia memiliki hampir syarat wanita cantik. Postur tubuh tinggi dan bagus, kulit kuning, mata arabian. Beberapa orang yang menjumpainya terkecoh dan bertanya, ‘Mbak turunan arab?’ Kecantikannya diakui banyak orang. Tidak sekali dia menjadi model brosur atau kalender. Bahkan, baliho pinggir jalan juga memajang fotonya sebagai ikon.”

“Kenapa juga tidak Fitria Ningrum. Dia lahir dari bapak yang baik perangainya. Nasabnya juga baik. Kakek buyutnya adalah kiai kampung. Kiai kampung tidak kalah penting dengan kiai pesantren. Karena itu, kakek buyutnya dulu sempat belajar ngaji di Pesantren Tebuireng, lalu mendirikan musholla panggung dan mengajari warga ngaji Al Quran. Nasab itu menurun pada Bapaknya, kiai yang sering diundang ceramah di jam’iyah muslimatan.”

“Atau Ikha Sholikha. Ia gadis Jakarta. Bapaknya memiliki usaha, dan sebagian hartanya disalurkan untuk pendanaan salah satu panti Asuhan di Mojosongo Jombang. Dia kuat ekonomi, terlebih lagi bagi keluarganya mengeluarkan dana untuk dakwah bukan perkara susah.”

“Bisa juga Bararatul Bariroh. Arti namanya, terbaik dari yang terbaik. Shakespear mengatakan apalah arti sebuah nama. Tapi, nama Bariroh benar-benar maujud pada dirinya. Dia terbaik dalam agamanya. Alumni Pesantren Denanyar, lanjut ke Pesantren Seblak, pesantren Kiai Makshum Ali ahli, Ilmu Falak, juga tempat lahir tokoh wanita Nyai Khoiriyah Hasyim. Ia mondok bertahun-tahun. Dan sudah diutarakan banyak orang di sekitar, bahwa pemahamannya soal agama sempurna.”

Nurtriya tidak sadar sudah menghabiskan es tehnya, namun penjelasannya belum habis. Ia  masih menjelaskan menggebu-gebu. Nurtriya masih memiliki banyak argumen penolakan, “Kurasa kau juga mengenal baik mereka. Kenapa bukan satu diantara mereka? Kenapa justru gadis itu.” Nurtriya setengah tidak terima, “Kabarnya, gadis itu mondoknya saja tidak genap satu tahun. Kabarnya juga hanya menghatamkan kitab Ghoyah Wa Taqrib karya Imam Abu Syuja’ saja, setelah itu boyong ke rumah.”

Muhammad memandang lembut tapi belum berkata apa-apa.

“Ini tidak rasional, tidak beralasan. Kenapa kau tidak memilih Ovanda Ayu? Fitri Ningrum? Ikha Sholikha? atau Bararatul bariroh?”

Sampai Nurtriya capai dengan berbagai pertanyaan tersebut, dan menelan pertanyaan terakhirnya, Kenapa kau tidak memilihku. Kalimat itu ditelan mentah-mentah dan kembali membeku. Perasaan itu membeku sejak ia mengenal Muhammad, hingga kini. Dan ia kembali membeku. Lelah.

Muhammad akhirnya buka suara, “Aku sreg saja dengan gadis itu.”

Muhammad berkata hati-hati. Muhammad tahu ada genangan air di pelupuk mata Nurtriya, meskipun gadis itu sekuat tenaga bersikap wajar.

“Aku mengenal Adawiyah selama ia mondok di Seblak. Tapi biasa saja, tidak ada perasaan khusus,” Muhammad tersipu. Ekspresi itu seolah menampik pernyataannya. Menyadari itu, hati Nurtriya kembali tertusuk.

Dan, Muhammad menyadari itu. Ia mewajarkan ekspresinya segera, menjaga perasaan Nurtriya. Kebekuan sejenak terjadi, hingga Muhammad perlahan mengaku, “Suatu hari, aku melihat ia mencuci baju. Aku tidak tahu kenapa mencuci tiba-tiba bisa begitu indah di mataku.”

Bagi Muhammad, cara Adawiyah mencuci baju memiliki keindahan tersendiri. Bukan karena tubuh molek yang terbasahi air. Atau, kibasan rambut basah yang membangunkan imaji-imaji keintiman. Bukan itu yang membuat Muhammad tertarik.

Tapi, gadis itu mencuci dan membilas dengan sabar. Satu per satu dikucek. Setelah dikucek dimasukkan ke bak satunya yang berisi penuh air. Lantas airnya meluap. Entahlah, kala itu, bagi Muhammad, tidak ada yang lebih indah dari luapan air dari bak cucian itu. Meluber penuh keikhlasan, bersuka ria penuh syukur, diiringi lagu gemericik air dari pancuran. Cipratan-cipratan air terpantul cahaya matahari seperti penari yang melonjak-lonjak kegirangan. Terlebih lagi cucian itu adalah baju berwarna-warni yang terlihat semakin cerah ketika Adawiyah kembali mengucek satu per satu dan memindahkan ke bak satunya yang juga berisi penuh air.

“Dan, kuncinya pada bilasan yang terakhir,” Muhammad menceritakan. Dan sentuhan terakhir adalah kran yang memancar air mengucuri baju. “Inilah kunci mencuci,” ungkapnya. Satu persatu, Adawiyah mengucurinya dengan sabar. Tidak digiling di mesin cuci, tidak dikucek bersama dalam bak, tidak juga dicelupkan ala teh cangkir, tapi dikucuri air. “Ia begitu hati-hati. Aku tahu itu, ketika selanjutnya ia meletakkan cucian itu di sebuah kranjang yang ditempatkan lebih tinggi dari kran agar tidak kecipratan air, lantas dijemur.”

Nurtriya memandang Muhammad naif. Terasa tidak logis argumen itu.

“Ini memang masalah mencuci saja. Sepele. Tapi, mencuci begitu penting. Karena mencuci, tidak sekedar membersihkan, tapi mensucikan. Itulah yang Adawiyah lakukan ketika mencuci. Kebersihan badan, ragawi, materi hingga kebersihan hati bermula dari cara dia mencuci.”

“Dan, apalagi yang kurang jika hati sudah bersih dan suci. Kurasa dia bisa diajak membangun pondasi keluarga yang baik. Iya, bersama Adawiyah.”

Nurtriya tidak membalas penjelasan Muhammad itu, bahkan hingga kalimat terakhir Muhammad yang tersenyum sambil berkata, “Kurasa yang Adawiyah lakukan adalah hasil ngaji Ghoyah Wa Taqrib di pondok, yang tidak kurang dari setahun. Atau memang inilah jodoh.”

Tebuireng, 08 Februari 2016

 


*Pegiat Griya Baca Abukus Gondek Mojowarno Jombang