Belakangan ini, masyarakat kita disuguhi “kontestasi” Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung atau lewat DPRD. Hasilnya, kubu Pilkada tidak langsung menang voting, kubu Pilkada langsung menggugat ke MK.

Sebenarnya, perdebatan seputar Pilkada sudah muncul sejak Januari 2012. Jauh sebelum adanya copras-capres Jokowi-Prabowo. Tapi, parpol anggota Koalisi Merah Putih (KMP) waktu itu, masih banyak yang menolak pilkada lewat DPRD. Sebaliknya, PKB (anggota Koalisi Indonesia Hebat), dulu setuju tapi sekarang menolak. Itulah politik.

Saya tidak ingin membahas perdebatan mereka. Saya justru tertarik dengan sikap NU, yang getol menyuarakan Pilkada tidak langsung sejak dua tahun lalu. NU ternyata lebih “trengginas” menolak Pilkada langsung, dibandingkan Muhammadiyah atau ormas-ormas lain. Ada apa?

 

Pertimbangan NU

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sikap NU tercetus melalui Munas Alim Ulama di Cirebon pada 15-17 September 2012. Dalam forum musyawarah tertinggi setelah muktamar itu, ulama NU menilai Pilkada langsung memang bermanfaat, tapi manfaatnya lebih sedikit daripada mudharatnya. Mudharatnya sudah jelas, manfaatnya masih remang-remang. Itu pertimbangan pertama.

Pertimbangan kedua, ulama NU menilai, efek negatif Pilkada secara langsung jauh lebih besar daripada lewat DPRD. Efek negatif tersebut, misalnya maraknya konflik horisontal, politik berbiaya tinggi yang menghalalkan segala cara, dan perang opini yang tidak mendidik.

Pilkada tak langsung memang bukan jaminan bisa bersih dari politik transaksional. Tapi, setidaknya dapat dilokalisir sehingga tidak menjalar ke masyarakat luas, juga pengawasannya lebih mudah. Artinya, menurut NU, biarlah anggota dewan saja yang rusak, asalkan masyarakatnya selamat. Kalau tetap memakai sistem pemilihan langsung, maka DPRDnya rusak, mayarakat juga rusak.

Ulama NU mendasarkan pandangan mereka pada kaidah-kaidah fiqh, seperti: الضرار الأشد يزال بالضرر الأخف (Bahaya yang lebih besar, harus dihilangkan dengan mengerjakan bahaya yang lebih ringan); atauيختار أهون شرين أو أخف الضررين (Yang harus dipilih adalah resiko yang lebih kecil atau bahaya yang lebih ringan).

Juga kaidah: اذا تعارض المفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما (Bila dua mafsadah berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan); dan يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام (Bahaya individual harus dipilih untuk menolak bahaya sosial).

Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi pandangan NU ini. Karena, menurut saya, ulama NU memang memahami (bahkan mengalami) secara langsung kondisi di lapangan. Sebagai bagian dari masyarakat, ulama NU merasa bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya kerusakan moral yang lebih besar. Dan itu adalah tugas utama pewaris para Nabi.

 

Daftar Buron

Meski setuju, saya juga ingin memberi catatan. Pertama, Pilkada langsung maupun tidak langsung, sebenarnya sama-sama memiliki kelemahan. Misalnya soal politik berbiaya tinggi. Baik Pilkada langsung maupun lewat DPRD, sebenarnya sama-sama berbiaya tinggi. Jika nyogok rakyat cukup Rp.20-50 ribu per-orang, maka nyogok anggota DPRD perlu ratusan juta bahkan miliaran.

Kemudian soal konflik horizontal. Pemilihan langsung dalam skup yang lebih kecil, seperti Pilkades, sebenarnya juga sumber konflik lho. Tapi kenapa tidak digugat? Bukankah Pilkades lebih merata di setiap desa di seluruh Nusantara?

Dan terakhir, masalah dinasti politik. Pilkada langsung saja melahirkan banyak dinasti politik (kasus Banten, Riau, dsb). Oligarki politik juga marak. Apalagi kalau pemilihannya lewat DPRD; bisa lebih parah.

Jadi, yang terpenting—menurut saya—adalah  perbaikan pada kedua sistem tersebut. Dan, yang namanya perbaikan tidak mungkin dilakukan secara cepat dan smpurna. Tapi bukan berarti perbaikan harus ditinggalkan, karena: Maa laa yuf’alu kulluhu, laa yutroku kulluhu (jika tidak bisa dijalankan secara sempurna, jangan ditinggalkan seluruhnya).

 So, jika kelak keputusan MK adalah Pilkada via DPRD, maka harus ada perbaikan sistem dan pengawasan. Bila perlu harus ada pemilu sela, untuk mengganti anggota DPRD yang “tidak beres”.

Sebaliknya, bila keputusan MK adalah tetap Pilkada langsung, juga harus disertai perbaikan dan Pilkada langsung diterapkan secara bertahap. Artinya, mulailah Pilkada dari tingkat Kecamatan dulu, lalu Kabupaten/Kota, baru kemudian Propinsi, agar bisa dilakukan evaluasi terus-menerus.

Tahun 2004, kita ujug-ujug menerapkan Pilkada langsung dikala masyarakat belum siap. Hasilnya seperti sekarang. Kita jarang menemukan demokratisasi. Yang marak justru demo sesasi, demo raisin, dan demo korupsi.

Kesimpulannya, Pilkada langsung boleh asalkan ada perbaikan (tidak harus 10 butir lho…). Pilkada tidak langsung juga oke, asalkan ada pengawasan lebih ketat, agar Pilkada via DPRD tidak menambah daftar buron KPK. WaLlahu a’lam. (Sipe)

 

A. Mubarok Yasin(Staff Ahli Majalah Tebuireng)

*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 35/Novemeber-Desember 2014 dimuat kembali untuk kepentingan pendidikan