ilustrasi Najmuddin al-Thufi

Fikih sebagai cabang ilmu dalam agama Islam memiliki peran penting dalam memberikan panduan tentang tata cara ibadah, hukum-hukum sosial, dan norma-norma kehidupan berdasarkan ajaran agama. Namun, konsep fikih tidak statis; ia terus berkembang dan beradaptasi dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan. Salah satu pemikir yang memberikan sumbangan penting dalam bidang ini adalah Najmuddin al-Thufi, seorang ulama besar dari abad ke-13 yang memperkenalkan konsep fikih kemaslahatan (maslahah) sebagai dasar hukum.

Najmuddin al-Thufi (1228-1286) adalah seorang ulama dari Yaman yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan pemikiran Islam, terutama dalam bidang fikih dan ushul fiqh. Ia mengemukakan konsep fikih kemaslahatan (maslahah), yang mengakui kemanfaatan dan kepentingan umat sebagai faktor utama dalam penentuan hukum. Al-Thufi menganggap bahwa Islam hadir untuk mengedepankan kemaslahatan individu dan masyarakat, serta menjaga nilai-nilai etika dalam setiap tindakan dan keputusan.

5 Prinsip Fikih Kemaslahatan Najmuddin al-Thufi

Pendekatan fikih kemaslahatan al-Thufi memungkinkan adanya ruang untuk penyesuaian hukum Islam dengan kebutuhan dan realitas masyarakat. Ia percaya bahwa ketika hukum-hukum agama diaplikasikan dengan mempertimbangkan kemaslahatan, maka akar dari hukum-hukum tersebut dapat tetap relevan dalam konteks zaman yang berubah-ubah. Terdapat 5 prinsip fikih kemaslahatan yang diungkapkan oleh Najmuddin al-Thufi.

Pertama, pemahaman terhadap maqasid al-shariah (tujuan-tujuan syariah). Najmuddin al-Thufi memahami bahwa hukum-hukum Islam didasarkan pada tujuan-tujuan syariah yang lebih luas. Ini mencakup tujuan-tujuan dasar seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Pendekatan ini melihat hukum bukan hanya dari sudut pandang hukum formal, tetapi juga dari sudut pandang manfaat dan kemaslahatan yang diinginkan oleh hukum-hukum tersebut.

Kedua, prinsip kemaslahatan lebih utama (istihsan). Al-Thufi mengembangkan prinsip istihsan, yaitu prinsip yang memungkinkan hakim untuk memutuskan berdasarkan kemaslahatan yang lebih utama meskipun tidak ditemukan nash (teks hukum) yang jelas. Ini berarti dalam situasi di mana hukum yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan atau kemaslahatan umat, hakim dapat menggunakan prinsip-prinsip kemaslahatan untuk mengambil keputusan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketiga, penerimaan terhadap custom/kebiasaan (‘urf). Dalam pendekatannya, al-Thufi juga menerima urf (adat) sebagai sumber hukum yang dapat dipertimbangkan jika sesuai dengan tujuan-tujuan syariah. Ini mengakui bahwa adat dapat mengakomodasi maslahat masyarakat dan dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan hukum.

Keempat, prinsip kebebasan dalam kemaslahatan (hurriyah). Al-Thufi menekankan prinsip kebebasan dalam mencapai kemaslahatan. Ini berarti bahwa ketika tindakan tertentu memberikan manfaat yang nyata dan tidak merugikan prinsip-prinsip dasar agama, tindakan tersebut diperbolehkan dan dihormati dalam pandangan hukum.

Kelima, keanekaragaman konteks sosial. Pendekatan fikih kemaslahatan al-Thufi mengakui keragaman dalam masyarakat dan konteks sosial. Hukum-hukum yang berdasarkan tujuan-tujuan syariah dapat diaplikasikan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal.

Pendekatan fikih kemaslahatan ala Najmuddin al-Thufi memiliki dampak yang signifikan dalam mengembangkan pemikiran hukum Islam yang lebih luas dan adaptif terhadap perubahan zaman. Ia menggarisbawahi pentingnya memahami tujuan-tujuan syariah dan mengaplikasikannya dalam konteks yang lebih luas, sehingga hukum-hukum Islam dapat menjadi rujukan bagi seluruh umat manusia.

Penerapan dan Tantangan Fikih Kemaslahatan di Indonesia

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki budaya, etnis, dan kondisi sosial yang beragam. Konsep fikih kemaslahatan ala Najmuddin al-Thufi memiliki relevansi yang kuat dengan konteks Indonesia yang beragam ini. Terlepas dari keragaman tersebut, prinsip kemaslahatan umumnya diterima dalam masyarakat Indonesia, dan banyak aspek kehidupan sehari-hari diatur oleh norma-norma sosial dan agama.

Di Indonesia, prinsip fikih kemaslahatan dapat dijumpai dalam berbagai aspek, termasuk dalam peraturan hukum, politik, dan juga dalam budaya masyarakat. Prinsip kemaslahatan mungkin menjadi dasar dalam pengambilan keputusan pemerintah yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara luas, seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan lingkungan.

Beberapa contoh penerapan prinsip fikih kemaslahatan dapat dijumpai dalam realitas Indonesia. Misalnya, dalam bidang ekonomi, konsep ekonomi syariah yang mencakup zakat, infaq, dan shadaqah adalah upaya untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat yang lebih luas. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membantu individu, tetapi juga berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi inklusif.

Dalam konteks politik, prinsip fikih kemaslahatan juga dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan. Indonesia memiliki prinsip musyawarah dan mufakat sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, yang sejalan dengan semangat fikih kemaslahatan yang menekankan pentingnya konsensus dan pertimbangan bersama demi kemaslahatan umum.

Meskipun prinsip fikih kemaslahatan memiliki potensi untuk membawa manfaat besar bagi masyarakat Indonesia, ada juga tantangan dalam penerapannya. Salah satu tantangan utama adalah interpretasi yang beragam terhadap prinsip ini. Apa yang dianggap sebagai kemaslahatan oleh satu kelompok masyarakat mungkin tidak selalu sesuai dengan pandangan kelompok lain. Ini dapat memicu perdebatan dan konflik dalam pengambilan keputusan yang berbasis pada prinsip fikih kemaslahatan.


Ditulis oleh Muhammad Nur Faizi, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta