ilustrasi guru mengajar kaidah fikih dan ushul fikih
ilustrasi guru mengajar kaidah fikih dan ushul fikih

Allah Swt. telah memberikan sejumlah batasan-batasan dalam kelangsungan hidup manusia. Dalam konteks hukum fikih, perkara yang mendapat status haram, maka dilarang untuk dilakukan. Sebaliknya, hal-hal yang mendapat status halal, maka manusia diperkenankan untuk memanfaatkannya. Hukum ini tidaklah paten, karena ada kondisi yang sulit atau bahkan tidak mungkin untuk mengikuti aturan di atas. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah dharurat. Kondisi tidak ideal yang menuntut kita untuk tidak mengikuti aturan yang sudah ditetapkan dalam hukum fikih.

Mengenai kondisi tidak ideal ini, kita bisa menengok salah satu penjelasan firman Allah Swt. berikut:

فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ 

Artinya: “Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Maidah: 4)

Potongan ayat di atas adalah keterangan lanjutan dari beberapa hal yang diharamkan oleh Allah Swt.  Mulai dari bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah Swt. dan beberapa hal lain, kesemuanya diharamkan oleh Allah Swt. Hanya saja, ketika menengok potongan ayat di atas, maka bisa dipahami bahwa dalam kondisi tidak ideal, maka seseorang diperkenankan untuk memanfaatkan hal-hal yang diharamkan sebagaimana disinggung di atas.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mengenai penjelasan di atas, Imam Ibn Qudamah di dalam kitab al-Mughni berkata: “Ulama telah bersepakat bahwa bangkai itu haram dalam situasi yang ideal. Sebaliknya, dalam kondisi yang tidak ideal, maka diperbolehkan.”

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan dan perlu menjadi pokok pikiran selanjutnya ialah bagaimana merumuskan kondisi tidak ideal. Sehingga seseorang diperkenankan untuk memanfaatkan hal-hal yang diharamkan pada kondisi yang ideal. Pada tulisan setelahnya, penulis akan fokus pada batasan-batasan suatu kondisi layak menyandang status tidak ideal atau dalam konteks kajian fikih biasa dikenal dengan istilah dharurat.

Merumuskan Batasan Dhahurat

Secara etimologi, kata dharurat berarti suatu kesempitan. Sedang secara terminologi, kata dharurat memiliki beberapa pengertian sebagaimana yang akan penulis jelaskan berikut:

Pertama, menurut Imam Wahbah Zuhaili, dharurat adalah suatu kondisi bahaya atau kesulitan yang menimpa masyarakat, di mana dengan kondisi tersebut ditakutkan atau dikhawatirkan masyarakat akan merasakan kesulitan yang menimpa anggota tubuh, akal, harta benda dan hal-hal urgen lain yang melekat pada diri mereka.

Kedua, Imam Syirbini menjelaskan bahwa suatu kondisi bisa mendapat status dharurat jika memenuhi beberapa kriteria berikut: Pertama, ditakutkan mati jika tidak mengonsumsi sesuatu yang diharamkan. Kedua, dikhawatirkan muncul rasa sakit atau malah bertambah parah jika tidak mengonsumsi sesuatu yang diharamkan. Ketiga, ketika sedang melakukan suatu perjalanan, maka ditakutkan untuk terpisah dari rombongan. Juga dikhawatirkan muncul kondisi lemah sehingga seseorang sulit untuk melanjutkan perjalanan. Keempat, munculnya suatu penyakit yang benar-benar tampak pada salah satu anggota badan.

Dari beberapa penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa suatu kondisi bisa menyandang status dharurat ketika terdapat kesulitan yang sifatnya di luar kebiasaan, sehingga seseorang tidak menemukan cara lain (solusi) untuk menghindarinya. 

Dharurat dalam Potret Kajian Islam

Sebagaimana penjelasan yang sudah penulis tawarkan di atas, bisa kita pahami beberapa poin sebagaimana berikut:

Pertama, meskipun Islam memberikan aturan yang tegas, juga memberikan ruang untuk fleksibilitas dalam kondisi darurat. Konsep dharurat ini menjadi pengecualian terhadap hukum umum, di mana hal-hal yang biasanya haram dapat dihalalkan dalam situasi tertentu demi menjaga keselamatan jiwa atau menghindari bahaya yang lebih besar.

Kedua, meskipun kondisi dharurat memberikan kelonggaran, namun tidak semua kondisi bisa disebut sebagai dharurah. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kondisi dapat dikategorikan sebagai dharurat, seperti ancaman terhadap jiwa, kesehatan, atau keselamatan lainnya. Kriteria ini menunjukkan bahwa penerapan konsep dharurat harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan pertimbangan yang matang.

Ketiga, memahami batasan-batasan dharurat sangat penting untuk menghindari penyalahgunaan konsep ini. Jika konsep dharurat tidak dipahami dengan baik, maka dapat membuka peluang untuk melanggar hukum agama dengan alasan yang tidak sah. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang mendalam terhadap konsep dharurat agar penerapannya dapat sesuai dengan tujuan syariat Islam.

Baca Juga: Memahami Pengecualian dalam Kaidah Fikih


Penulis: Moh. Vicky Shahrul Hermawan. Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang.