
Salah satu barometer kesalehan hamba dapat dilihat dari shalatnya. Dikatakan oleh para ulama bahwa shalat itu undangan dari Allah untuk menghadapNya. Jadi mushalli itu bukan hanya karena dia mengerjakanmya, namun sebab hamba tersebut dianggap mulia di mata Allah, sehingga Allah izinkan menghadapNya.
Sebaliknya ketika hamba tidak shalat, bukan hanya sebab tidak ingin melaksanakan, tetapi karena ia sudah jatuh dan terhina dalam pandangan Allah, sehingga tidak diizinkan untuk menghadap kepadaNya.
Tingkatan Orang Mendirikan Shalat
Adapun tingkatan orang yang mendirikan shalat ada empat, yaitu:
Shalat Bagaikan Beban Berat
Tingkatan pertama ialah orang-orang yang menjadikan ibadah shalat sebagai beban berat untuk dijalani. Allah menceritakan dalam al-Quran orang-orang yang seperti ini adalah kelompoknya orang munafik.
“.وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ…”
Artinya, “Dan apabila mereka (munafik) berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas.” (Q.S. An-Nisa [4]: 142)
Golongan ini, mereka malas untuk mengerjakan shalat, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang sangat berat dilaksanakan, ibarat mereka sedang berdiri di atas bara api. Oleh karena itu, mereka sangat ingin segera menyelesaikan shalatnya dikarenakan tidak adanya kesenangan di hatinya. Menurut Imam Ibnu Katsir sebabnya, tiada niat dan iman dalam hati mereka, tidak memiliki rasa takut, dan tidak memahami makna salat yang sesungguhnya.
Terlebih lagi untuk menunaikan shalat isya’ dan subuh, karena sebagaimana Ibnu Hajar mengatakan bahwa godaan untuk meninggalkan dua ibadah itu memang sangat kuat. Ditambah waktu isya’ adalah momentum untuk menenangkan diri dan istirahat. Adapun subuh merupakan waktu nikmat-nikmatnya untuk seorang tidur. Padahal bagi orang yang mendirikan dua shalat tersebut akan mendapatkan fadhilah yang luar biasa. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits.
Artinya: “Dari Abu Hurairah berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, “Sholat yang dirasakan berat bagi orang-orang munafik adalah sholat Isya dan sholat subuh, sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga sholat didirikan, kemudian kusuruh seseorang dan dia mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar untuk menjumpai suatu kaum yang tidak menghadiri sholat, lantas aku bakar rumah mereka.” (H.R. Muslim).
Oleh karena itu, perasaan berat dan malas harus dilawan. Ibnu Abbas mengatakan, bahwa makruh bagi seseorang berdiri untuk shalat dengan sikap malas, melainkan ia harus bangkit untuk menunaikan shalat dengan wajah berseri, hasrat yang besar, dan perasaan gembira. Karena sesungguhnya dia akan bermunajat kepada Allah dan sesungguhnya Allah berada di hadapannya.
Shalat itu kepentingan seseorang kepada Allah, tidak ada urusan yang lebih penting daripada itu. Siapa yang mementingkan Allah, maka Allah akan memperhatikannya. Sebaliknya siapa yang meremehkan shalatnya berarti dia telah meremehkan Allah, dan yang meremehkan Allah maka ia akan diremehkan olehNya.
Shalat Sebagai Kewajiban
Kemudian golongan yang kedua, adalah mereka yang menganggap shalat adalah hanya sebuah kewajiban. Orang itu mengetahui bahwa shalat adalah perintah dari Allah yang wajib. Mereka juga mengetahui bahwa shalat merupakan tiang agama dan ibadah yang pertama sekali dihitung di yaumil mahsyar kelak. Jadi mereka mengerjakanmya meskipun masih ada perasaan untuk berat mendirikannya.
Orang yang shalatnya dianggap sebagai kewajiban belaka, mereka hanya mengerjakan yang lima waktu. Di tingkatan ini untuk mendirikan shalat-shalat sunnah masih merasa berat atau bahkan memang enggan. Jangankan untuk melakanakan yang sunnah, shalat wajib saja kalau dapat dikerjakan sesingkat mungkin akan dilakukannya. Karena dalam shalatnya masih belum menghadirkan rasa dalam hatinya.
Shalat Karena Butuh
Dan yang ketiga adalah, shalatnya dijadikan tidak hanya sebagai kewajiban tetapi juga menjadi suatu kebutuhan. Mereka memahami bahwa shalat merupakan bentuk konkrit dari keyakinan hati terhadap Allah yang maha menguasai hidup dan kehidupan manusia serta memiliki seluruh sifat keutamaan.
Manusia adalah makhluk yang memiliki naluri cemas dan mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran. Kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar pada makhluk, betapapun tinggi kekuatan dan kekuasaannya, seringkali tidak membuahkan hasil. Hanya Allah yang mampu menjadi tempat bersandar seseorang. Sebagaimana dalam firmanNya:
إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا يَسۡمَعُواْ دُعَآءَكُمۡ وَلَوۡ سَمِعُواْ مَا ٱسۡتَجَابُواْ لَكُمۡ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكۡفُرُونَ بِشِرۡكِكُمۡ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثۡلُ خَبِيرٍ
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Q.S. Fathir: 4).
Makna dari shalat sendiri adalah “doa”, yaitu keinginan yang dimohonkan kepada Allah. Artinya dengan shalat seseorang dapat meminta segala hajat dan kebutuhannya. Apalagi saat posisi sujud, di mana saat seseorang meletakkan dahinya dan berbisik lirih kepada Allah dan pasti suara itu akan didengar oleh yang Maha Rahman juga segenap malaikat-malaikat yang ada di langit kemudian mereka juga mendoakan kebaikan untuk orang tersebut.
Berkata Nabi Muhammad Saw, bahwa tempat terdekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat dia sedang sujud, maka perbanyaklah doa dalam sujud. Sebab doa-doa yang dipanjatkan saat itu sangat mungkin untuk diijabah oleh Allah, apalagi jika doanya dihaturkan di sepertiga malam yang terakhir, waktu dimana manusia sekelilingmu lalai berada dalam mimpi tidurnya.
Shalat Sebagai Penghibur Diri
Tingkatan terakhir, yaitu hamba-hamba tercinta di sisi Allah yang menjadikan shalat mereka sebagai sebuah hiburan dalam hidup. Sebagaimana Rasulullah Saw.
حُبّبَ إِلَيَّ مِنْ دنياكُمُ النّساءُ والطيبُ وجُعِلَتْ قرةُ عينِي في الصّلاةِ
Artinya: “Di antara dunia kalian yang aku jadikan senang kepadanya adalah perempuan dan wewangian, sedangkan kebahagiaan dan kegembiraan hatiku dijadikan dalam shalat.”
Dikisahkan oleh Ustadzah Halimah bahwa Nabi Muhammad ketika mendapat kabar para pasukan muslim terkalahkan di medan peperangan, Nabi kemudian melihat Bilal dan bertanya kepadanya, “Apakah sudah masuk waktu shalat? Arihni biha ya Bilal! Ayo Bilal hibur diriku, segeralah adzan! Dan kita akan salat bersama-sama wahai Bilal.”
Bukan hanya Nabi Muhammad tapi para sahabat-sahabat Nabi, para tabi’ tabi’in, dan orang-orang shaleh juga demikian, menjadikan shalatnya sebagai sebuah kesenangan dunia. Seperti sahabat Umar Bin Khattab, diriwayatkan bahwa ketika beliau dalam keadaan hatinya lagi khusyuk dan bersambung kepada Allah saat mengerjakan salat sunnah ia akan lupa untuk ruku’ karena tenggelam pada bacaan al-Quran, begitu ketika ruku’ ia akan lupa untuk sujud karena nikmatnya memuja-muji Allah dalam ruku’nya, dan begitupula pada rukun-rukun seterusnya. Sehingga beliau harus meminta tolong orang lain untuk mengingatkannya.
Mereka yang berada di barisan ini, menaruh dan memposisikan hatinya di hadapan Allah, seolah-olah ia bisa melihat dan menyaksikan Allah di hadapannya dan hatinya dipenuhi cinta dan pengagungan kepadaNya. Seluruh godaan dan lintasan pikiran menghilang. Semua hijab yang menghalangi dirinya dari Rabbnya benar-benar tersingkap. Perbedaan orang shalat semacam ini dengan yang lainnya seperti selisih jarak langit dan bumi. Orang ini sesungguhnya sibuk berinteraksi dengan Tuhannya dan merasakan kebahagiaan dalam shalatnya. Inilah para muqarrabiin si sisi Allah.
Baca Juga: Shalat Perspektif Tasawuf
Ditulis oleh. Rasyida Rifa’ati Husna, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo.