Ilustrasi: M. Najib

Oleh: Khoshshol Fairuz*

Sebenarnya aku tidak suka menulis tentang wanita, apalagi ibu, tapi bagaimanalah … ini soal martabat sebagai guru di sekolah pedesaan. Jadi akan kuberitahu kalian bagaimana kisah kasih seorang ibu itu berawal dan tak memiliki ukuran akhir atau muara sekalipun.

***

Jombang masih terlalu pagi untuk menulis puisi, gigil sisa semalam belum pulih betul. Aku memutuskan untuk tidak mengerjakan apapun yang berbau keringat setelah shubuh, duduk di kursi panjang, membaca buku paket soal setebal sepuluh senti yang berisi materi-materi kelas satu sampai enam SD;  Bahasa Indonesia. Di sampingku berdiri segelas besar teh panas, diapit sepasang toples berisi kue-kue. Lengkap untuk memulai ritual literasi.

Setengah jam terlewat, gawai pintarku berdering. Dari ujung speaker-nya terdengar suara yang karib.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Umi Calling

“Assalamualaikum, Nang?”

“Nggih, Mi. Waalaikumsalam.” Jawabku pelan, ala nada Jawa tulen.

“Mbahmu masuk rumah sakit. Doanya ya. Oh ya, kau di sana jangan lupa sarapan sebelum pergi ke sekolah.”

Kalimat Umi ini mengingatkanku kepada status-status para remaja di Facebook yang menulis tentang ungkapan mesra kepada kekasihnya supaya jangan lupa makan. Sedikit lebay. Kemudian dibuatlah kata-kata tandingan dari aktivis dakwah (saya baru tahu ketika mereka hanya menulis ajakan baik di akunnya) yang berisi kurang lebih seperti ini, “Ya kali sekarang yang pacaran masih hidup, nanti kalo udah putus mereka juga bakal mati satu-satu. Alasannya udah nggak ada yang ngingetin buat makan. Duh kasian.”

Aku terkikik dalam hati jika mengingat itu, tapi sudahlah. Mbah sakit, penyakitnya semakin renta, dulu kambuh setahun sekali, menyempit menjadi setiap satu semester sekali, sekarang per-minggu harus berkunjung ke dokter spesialis. Ibu juga yang merawat beliau. Di sela kesibukannya sebagai seorang anak, ibu rumah tangga, guru, beliau masih sempat menelponku dan mengingatkan makan. Lihat? Alasan mengapa Nabi Muhammad menjawab tiga kali berturut-turut tentang siapa di antara kedua orang tua yang harus lebih dihormati.

Tak kulanjutkan membaca kalimat di buku yang semakin mirip semut berjalan itu. Hari sudah siang, akan lebih baik jika setiap hari yang ku lewati diawali dengan hal yang wajar; mandi, sarapan pagi, berpakaian rapi, menyisir rambut ke samping, dan tersenyum kepada setiap orang yang kutemui. Mana tahu jika setelah itu aku akan menemukan intan di antara batu peristiwa?

“Selamat pagi, Pak Imron?,” sapa Basir santun. Membukakan gerbang sekolah untukku.

“Pagi Pak,” jawabku diikuti senyum yang ku lipat sedemikian rupa.

Para siswa yang menunggu bel dibunyikan, saat melihatku melewati lapangan berumput yang disulap menyerupai arena futsal, segera berhambur menuju padaku, saling berebut tangan yang beraroma pagi. Tampak sempurna. Kegiatan belajar dimulai, seluruh kelas telah menyediakan kesempatan bagi guru untuk menjadi murid. Sementara jam pertama aku harus membimbing kelas dua, kelas dengan sepuluh anak yang Alhamdulillah spesial. Penanganannya.

“Selamat pagi anak-anak. Sudah sarapan?” ucapku mengawali pembelajaran setelah sebelumnya ku ulukkan salam.

“Sudaaaah … beluuum!” jawab mereka tidak kompak.

“Loh, ada yang belum, ta? Yasudah meskipun belum sarapan pagi, tapi kita harus sema …” sengaja ku potong bagian itu, supaya pendapat mereka bisa ku kail pagi ini.

Dua-tiga anak bersitatap, kemudian satu di antaranya menjawab pelan, “Semaan Al Quran, Pak.”

“Haha, bukan. Ada yang tau?”

“Ehm, semangka. Enak,” celetuk yang lain memberanikan diri tertawa tipis.

“Semangat.” Akhirnya aku menyerah. Namanya saja bocah.

Selanjutnya kujelaskan berbagai macam bentuk kalimat dengan imbuhan me dan di. Semua berjalan dengan lancar, saat tugas ku berikan, hampir seluruh siswa mengerjakannya dengan benar. Pagi mulai terik, ada saja yang membuat indera mataku merasa tidak nyaman, pantulan mentari yang berbaring di depan kelas membuat papan tulis tampak buram, akibatnya  sisa kapur yang ada di sana bias tak terbaca. Aku berinisiatif untuk menutup pintu kelas. Bukan lebih baik, tindakanku justru membuat seorang siswa laki-laki di kelas itu menangis.

Aku mendekatinya, mengelus tengkuk yang ditekuk itu berkali-kali.

“Pintunya ditutup saja ya nak. Nanti sebentar lagi istirahat, baru boleh jajan. Biar tulisannya pak guru bisa kamu lihat.”

Suara tangisnya makin menyayat. Ditambah dengan hirupan napas yang dibuat berspasi, memilin kalbu siapa saja yang mendengarnya.

“Buka paaa,” pintanya. Masih berbantal tangan, wajahnya mendongak sekali, pipinya basah seolah ia bisa dengan mudah memeras seluruh isi kantung mata.

Meski pertimbanganku adalah untuk kepentingan sembilan siswa lainnya, tapi akhirnya keputusan membuka kembali pintu yang sudah tertutup itu. Meski tanpa alasan yang jelas. Sebentar kemudian tangisnya berhenti, aku melanjutkan materi dan perhatianku pada Hendra mulai teralihkan.

Bel istirahat berbunyi dua kali

Para guru telah berkumpul di kantor. Guru perempuan berdiskusi arisan dan agenda makan soto babat bersama akhir pekan ini, guru laki-laki sama sibuknya, ada yang telaten melinting kertas-kertas untuk dijadikan media pembelajaran, yang lainnya mesra dengan gawai masing-masing. Aku duduk sedikit memisah, menyeruput air mineral dari gelas kemasan. Aku masih belum mampu mencerna sikap aneh Hendra, kejadian yang terus mengatung dalam benakku. Dari seberang meja aku melihat Pak Asno sedang membaca buku tebal, sesekali ia membetulkan kacamata yang kadang miring ke kanan, melihatku, lalu tersenyum. Senyum yang membawa kerutan di pipi itu mengundangku untuk bercengkerama.

“Sedang baca apa, Pak?,“ tanyaku membuka percakapan.

Tanpa melihatku, ia terkekeh, “Ini novelnya Pram. Mau baca?”

“Silakan bapak saja dulu, nanti kalau sudah selesai saya pinjam,” jawabku pelan.

“Bapak sudah berkali-kali menamatkan novel ini, Nak Imron. Ini seperti nostalgia masa pemberontakan jaman bapak dulu dimana kekuasaan merupakan hal yang tirani.”

Aku terkesiap. Dari wajahnya, Pak Asno menyimpan kedalaman ilmu dan berlembar-lembar kebijaksanaan.

“Bapak kenal dekat dengan keluarga Hendra?,” aku membetulkan nada untuk bertanya. “Ya, setiap semester sekali pasti saya ajak wali murid kelas dua untuk datang guna mengetahui perkembangan putra-putri mereka.”

“Apa setiap hari anak itu selalu melakukan hal aneh ketika di kelas?”

“Maksud Nak Imron?,” beliau menoleh, melepaskan kacamata dan menutup novel tebal itu.

“Begini Pak Asno, tadi pagi saya mengajar seperti biasa. Setiap hari pun begitu  tanpa terjadi hal aneh selain keributan kecil. Pagi ini saya merasa heran dengan tingkah Hendra. Saat saya menutup pintu karena silau, dia malah menangis dan minta untuk dibuka,” jelasku kemudian.

Pak Asno menghela napas sepanjang tiga detik hingga tamam dilepaskan kembali.

“Sekarang hari apa kalau boleh tahu?,” bukan menjawab pertanyaanku, beliau malah menanyakan hal di luar topik. Tapi terpaksa juga ku jawab juga.

“Sabtu, Pak.”

“Ah benar. Sabtu.”

Beliau kembali menahan napas barang seperempat menit. Aku mulai curiga ini kebiasaan Pak Asno untuk menutupi rahasia besar atau hal penting menyangkut harga diri, atau …

“Keluarga Hendra punya latar belakang ekonomi rendah. Ayahnya kena stroke, katanya disantet rekan kerjanya sesama kuli batu. Keluarga itu dibangun dari keringat Bu Mamik, ibu Hendra. Mulai dari kebutuhan pokok, biaya sekolah hingga pengobatan suaminya.”

Sampai kalimat itu Pak Asno berhenti, menatap ke arah jarum jam yang tidak berdetak lagi detiknya. Aku juga ikut berhenti, merasa terhipnotis dan seolah mengikuti apapun yang beliau katakan.

“Ibu Hendra adalah seorang pemulung, makanya Hendra selalu ingin pintu kelasnya terbuka setiap hari Sabtu pagi.”

“Bukankah itu tidak ada hubungannya, Pak?,” tanyaku dengan ekstra heran.

“Untuk mereka yang tidak terlibat langsung dalam ikatan emosional memang merasa begitu, Nak Imron. Bagi Hendra, ibunya adalah pahlawan sekaligus satu-satunya orang yang ia cintai. Ibunya mencari botol bekas atau kardus yang masih laku dijual ke pengepul, berangkat saat matahari belum tinggi, pulang saat senja mulai merangkak ke barat. Begitu setiap hari, sampai hari Sabtu, beliau tidak lagi mencari barang bekas, tapi menjualnya. Hendra hanya ingin pintunya terbuka, agar ia bisa tetap melihat ibunya membawa berkarung-karung barang bekas menggunakan becak, lewat depan sekolah kita ini.”

Mata Pak Asno mengandung aroma haru. Sambil terus melanjutkan, “Jika Nak Imron ingin cerita yang lebih menguras perasaan, sekarang pergilah ke belakang kelas dua.”

Aku bergegas menuju arah yang ditunjukkan Pak Asno. Aku mendapati potret raut gembira bocah kecil tengah menelan nasi, di hadapanya duduk perempuan setengah baya dengan senyum dan pandangan sayang, menyuapi bocah itu dengan tangan yang ia gunakan untuk mengais sisa sampah daur ulang. Mereka adalah sepasang ibu dan anak, Hendra dan Bu Mamik. Dari tatapan keduanya mengalir ribuan diksi yang bisa ku susun menjadi berlembar-lembar puisi, sajak yang sejak dibaca atau tidak, akan tetap sejuk. Tiba-tiba air mata yang semenjak tadi bersembunyi di antara kata-kata ini terlepas begitu saja. Jika saja ada kesempatan untuk menunduk, akan kupakai untuk menyelinapkan rindu dan rasa bersalah yang banyak kepada Umi.


*Cerpenis Muda asal Cipacap, tinggal di Jombang