dsc_0172
Bedah buku Arkeologi Tasawuf pada Jum’at (25/11/16).

tebuireng.online-“Poin yang saya incar disini, kok bisa tawasuf itu jadi thariqoh wiridan. Dalam hal ini saya tidak kecewa tapi nelongso, tasawuf itu power yang bisa menggerakkan aktivitas religius kita. Itu menjadi berarti dan sangat dinamis. Jika tidak mempunyai power tasawuf, siapapun tidak akan bisa untuk menjadi pembela Allah, juru bicara Tuhan.”, Ucap  Dr. KH. Mustain syafi’i  M,Ag dalam acara  Bedah buku Arkeologi Tasawuf, yang diselenggarakan Ma’had Aly Tebuireng Jum’at (26/11/16).

 Untuk itu kurang apasih nilai sufistik dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Beliau ekspresikan power sufistiknya untuk kemashlahatan tanpa sekalipun memimpin thariqoh. Jadi mbah Hasyim disini (Tebuireng) tidak berthariqoh, siapa sih mursyid thoriqoh di negeri ini yang tidak berguru kepada beliau. Tapi beliau sendiri tidak mau memimpin thariqoh grup. Ingat, itu masih (tanda) koma. Tapi beliau membiarkan dan merestui murid-muridnya menjadi mursyid thariqoh.

Kalau kita benar-benar bertasawuf, tidak mungkin orang bertawasuf itu tidak berkarakter. Pasti berkarakter dan sensitif seperti kejernihan hatinya. Orang sufi, seluruhnya itu orang dinamis. Dua khutbah yang lalu sudah saya sampaikan bahwa Pangeran Diponegoro seorang sufi tapi juga dia faqih. Ada beda antara power yang dibangun dari tasawuf dan power dari wiridan. Kalau yang lahir dari prinsip tasawuf, orang itu sensitif dan serius membela agama. Tapi kalau dari wiridan tergantung dari pengurusnya”, tambah beliau.

 “Thoriqoh disini sajian untuk orang awan, disana dijelaskan bagaimana thoriqoh jalan menuju surga ter-efektif. Saya lebih suka membuat thariqoh daripada grup tasawuf, saya namai thariqoh Musta’iniyah dan disana dijamin masuk surga. Karena dalam agama itu hal paling gampang adalah menjamin masuk surga. Cukup syahadat lahir batin, masuk thariqoh Musta’iniyah saya jamin masuk surga. Setelahnya terserah kalian, solat tidak solat, maksiat dan sebagainya. Tapi anda harus cerdas, saya hanya menjamin masuk surga saja tapi tidak ada jaminan selamat dari neraka”, kata terakhir disambut tawa dari audience.

“Seluruh orang sufistik itu orang mujahidin pada zamannya. Seperti Abu Dzar, semangat dia yang miskin dalam membela agama saat perang Tabuk. Jarak Madinah dan Tabuk itu lebih dari 400 km. Abu Dzar ditinggal, dan menyusul perjalanan kesana. Keledai yang ditumpangi ternyata tidak mampu berjalan menempuh ke Tabuk, akhirnya disembelih juga. Hadraturrasul bersama sahabat sudah siap di camp. Ada bayangan kecil, Hadraturrasul sudah tahu kun aba dzar, mungkin itu Abu Dzar. Dia berangkat sendirian dan mati sendirian. Tawasuf dia bukan untuk mengajak orang berwiridan tapi untuk berkarakter. Berjuang sendiri, menyusul ke Tabuk sendirian”, tutur beliau di akhir cerita.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pewarta  : Moh Sutan

Editor      : Aldo

Publisher  : M.Ali Ridho