tebuireng.online—Para Peserta Diklat Kader Pesantren Tebuireng angkatan kedua benar-benar mendapatkan keistimewaan dengan penyampaian materi-materi menarik oleh para pemateri yang unggul di bidangnya. Kamis (06/10/2016), giliran Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. H. Suwiss menjadi pemateri. Alumnus Pesantren Tebuireng tersebut menjelaskan tentang nilai moral dengan judul “al Akhlak al Karimah Sebagai Kebutuhan”, di Aula Gedung Diklat Kader Tebuireng, Jombok Ngoro Jombang.
Akhlak menurut beliau adalah keadaan jiwa manusia yang terdorong untuk melakukan sesuatu tanpa direkayasa dan tanpa dipikir. Dasar pemikiran akhlak bersumber pada tiga hal, al Qur’an, al Hadis, dan al Ijtihad. Seseorang dapat memiliki al akhlak al marquzah, watak atau sifat yang sudah dibawa sejak lahir, atau al akhlak al muktasabah, sikap, perilaku, dan watak yang bisa dicapai denga usaha.
Beliau menjelaskan bahwa pondasi akhlak adalah hukum-hukum yang kemudian menjadi adat. Dari adat tersebut akan menjadi akhlak yang dapat membentuk budaya dan peradaban. Hukum disini diartikan beliau sebagai aturan-aturan yang menjadi cara manusia bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagi beliau, apabila adatnya (kebiasaannya) baik, maka akhlak yang terbentuk juga akan menjadi baik, apabila akhlak baik maka akan membentuk budaya dan peradaban yang baik pula. Untuk itu, tambah beliau, akhlak mulia adalah kebutuhan.
Akhlak, lanjut pria yang merupakan walisantri Tebuireng itu, dibentuk melalui tiga komponen utama, yaitu al ahkam (hukum-hukum), tasawuf, dan filsafat. Hukum bisa berbentuk hubungan Allah dengan Rasul-Nya, sesama manusia, pemerintah dengan rakyat atau sebaliknya, hubungan keluarga, dan hubungan antar negara. Di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dikenal empat imam mujtahid muthlak yang akhirnya membentuk empat madzhab besar, Imam asy Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik bin Anas.
Beliau menyayangkan kaum pesantren yang terlalu fanatis dengan Syafi’i. Padahal di era yang serba cepat berkembang sekarang ini, perlu ada kajian perbandingan madzhab untuk menjadi hukum yang matang dan digunakan secara umum. Pesantren, menurut beliau, terlalu banyak menutup diri dalam mengkaji hukum. Argumentasi hukum yang dikeluarkan tertinggal dari perkembangan zaman yang masif. Untuk, beliau berharap agar pesantren segera membuka diri dengan kajian-kajian hukum yang lebih luas, tidak hanya yang bersumber pada kitab-kitab bermadzhab Syafi’i, tetapi juga madzhab-madzhab yang lain.
Dalam filsafat Islam (aqidah) atau ilmu kalam, beliau menitikberatkan pada dua jenis ilmu, yaitu ilmu akabir dan ilmu ashaghir. Ilmu akabir adalah Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, sedangkan Ilmul Yaqin masuk pada ilmu ashaghir yang merupakan tahapan awal berfilsafat (Islam). Ilmul yaqin adalah i’tiqadi (keyakinan) yang bersifat teoritis atau disebut dengan syariat, haqqul yaqin adalah at tashdiq (praktis/aksiologis) atau disebut dengan hakekat, sedangkan ainul yaqin adalah mengetahui sesuatu dengan rasa, atau disebut dengan ma’rifah.
Dua ulama yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu kalam (filsafat Islam) adalah Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi. Sedangkan dalam tasawuf terdapat dua orang ulama yang sangat berpengaruh, yaitu al Ghazali dan Abu Junaid al Baghdadi. Setalah mempelajari secara betul tiga komponen dasar pembentuk akhlak tersebut, lanjut alumnus Ibnu Saud University dan Ummul Qura University Arab Saudi itu, maka akan dapat merasakan empat keniscayaan, yaitu al Hikmah (wisdom), al Adalah (keadilan), asy Syaja’ah (keberanian), dan al Iffah (ketahanan diri). (Abror)