Sumber gambar: www.dw.com

Oleh: Luluatul Mabruroh*

Bagiku, tidak pernah ada keajaiban mengenai masalah finansial, Tuhan membiarkanku tetap pada lingkaran yang sama. Sudah berkali-kali kutagih janjiNya bahwa setelah adanya kesulitan pasti ada kemudahan. Namun semua itu tak kunjung aku terima dan dapatkan. Aku curiga Tuhan hanya memberikan keajaiban untuk orang-orang terpilih dan beriman. Sedangkan aku bukanlah termasuk dari bagian orang-orang terpilih itu.

Berbeda dengan nasib sialku seperti yang sudah diramalkan dalam sebuah kitab kuning karangan seorang ulama salaf. Bagiku, seteleh kesulitan ada kesulitan lain yang lebih dalam hingga membuatku tersungkur ke dalam jurang yang lebih dalam. Bukan tidak pernah aku lakukan usaha yang berkali-kali gagal. Bahkan sudah aku lakukan kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah seperti yang diperintahkan. Hingga aku menangis tersedu sampai aku hampir muntahpun Tuhan tak pernah mendengarkan.

Atau barangkali Tuhan mendengar, hanya saja Dia senang mendengarku mengadu terus-menerus tanpa memberikan imbalan apa-apa. Karena sekali lagi, aku tidak terpilih dan masih tidak termasuk kategori manusia yang beriman. Aku masih memejamkan mata. Bukan tidur, melainkan menahan kesal.

Alarmku berbunyi. Sekarang sudah pasti jam 03.00 dini hari. Namun sedikitpun tidak ada keinginan untuk beranjak menjalankan rutinitas malamku, Tahajjud dan Witir. Semua itu tiada artinya bagi Tuhan. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kesusahan dan tak sedikitpun usaha yang membuahkan hasil, akhirnya aku putuskan untuk memberontak pada Tuhan. Mungkin saja dengan pemberontakan, Tuhan akan menyadari eksistensi dan kebutuhanku akan bantuannya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Setidaknya balasan untuk keteguhan keimanan bapak dan emakku yang tetap istikamah saban malam berdiri di tengah kesunyian meminta kemudahan. Bukankah Dia berfirman bahwa hal jazaa ul ihsaan illa al-ihsan? Tiada balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan?. Kalau aku sendiri memang sudah memutuskan tidak percaya adanya keajaiban dan pertolongan Tuhan. Jadi aku hanya manusia hidup yang masuk kategori hanya mendapat bagian “Rahim” Nya dan bukan “Rahman” Nya. Karna mungkin Tuhan masih “menganggap” aku kurang beriman.

Tok tok tok!

“Tangi nduk, wes jam 3. Wayahe tahajudan,” emak mengetuk pintu kamarku pelan mengajakku shalat malam. Aku bergeming dan tak menyahut. Rasa-rasanya ingin aku berteriak memanggil Tuhan, tak rela rasanya melihat kedua orang tuaku yang telah renta tetap tak lelah berusaha namun tak pernah membuahkan hasil apa-apa. Aku bangun dengan malas dan berjalan ke arah pintu tanpa rasa semangat sedikitpun. Aku membuka pintu kamar sedikit dan memperlihatkan separuh wajah kusutku yang belum bisa tidur sama sekali sejak tadi.

“Buat apa shalat? Tuhan sudah bosan mendengar igauanku, sia-sia saja. Kalau emak masih mau mencoba merayunya, sana lakukan sendiri,” aku menutup pintu keras. Sekilas sebelum pintu tertutup secara sempurna, aku melihat wajah emak terkejut luar biasa mendengar ucapanku. Ucapan anak semata wayang kesayangannya yang telah menjadi seorang santri dari tiga pesantren dengan tiga kiai terkemuka, telah melakukan pemberontakan pada Dzat paling sakral di dunia, Tuhan.

Bersambung,..


*Penulis adalah Mahasiswa PBA Unhasy, Santri di Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang.