Sumber gambar: https://www.merries.co.id

Setiap anak dilahirkan putih, memiliki peran menjadi tokoh dalam cerita dan rasa ingin tahu. Poin pertama adalah niscaya, kedua dan ketiga mungkin hasil rekayasa alam. Lanala gadis hujan yang dilahirkan hutan, ibunya menyusui dengan embun dan tetesan kehangatan, meski berkali-kali diyakinkan bahwa mereka akan tetap primitif karena menolak berpindah tempat tinggal, hidup keduanya tenteram. Soal pekerjaan dan makan, tidak ada yang meragukan pembagian alam, Lanala sudah terbiasa hidup dari yang diberikan semesta.

“Lanala, setelah cuci tangan harus berdo …” ucap ibunya setiap kali menghidangkan makanan.

“Aaaa,” jawab Lanala dengan senyum yang dilipat-lipat.

Ibunya sangat sayang kepadanya, karena memang hanya anak perempuan itu yang dia punya. Selain manis, Lanala adalah perempuan kecil yang sangat patuh, rambutnya dikucir menyerupai ekor kucing dengan bulu tebal. Setiap hari Lanala bermain bersama Lambo, kambing kecil yang tak pernah besar, ke padang rumput di seberang danau. Cukup beberapa kali dayung naik sampan, keduanya sampai di padang hijau, bermain kejar-kejaran hingga berkeringat. Kalau sudah letih begitu, pergi mencari jambu dan sisa mangga di tepi hutan adalah pilihan yang menggiurkan. Bersama-sama Lanala dan Lambo memakan jambu dengan lahap, satu buah, dua buah, lalu selesai dengan mangga muda.

“Aaaaaaggh …” Lanala bersendawa. Lambo tertawa, tapi matanya melotot, ia lupa sesuatu, “mbeee!”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lanala terus menggigiti sisa biji mangga yang masih manis, tangannya menggapai-gapai telinga Lambo, kambing kecil itu menolak sambil terus mengembik tidak karuan. Di jilatan terakhir tangan yang dipenuhi cairan manis mangga, Lanala baru ingat, ia lupa berdoa. Bagaimanalah ini? Buru-buru ia menggendong Lambo, membawanya lari meninggalkan tepi hutan, terus menuju sampan dan pulang. Di rumah ibu tidak ada, mencari kayu mungkin, Lanala terlanjur meyakini tidak terbacanya doa sebelum makan menjadikannya anak yang tidak bersyukur. Air mata penyesalan selalu ada seusainya, Lanala merasa menyia-nyiakan pesan ibunya, apalah yang lebih membuat kaki setinggi ilalangnya terus berlari mencari. Mulut manisnya senantiasa memanggil, sementara sisa dari hatinya berteriak “ibu, aku lupa membaca doa sebelum makan!”

Ah, nampaknya ibunya pun demikian sibuk mencari kayu atau entah apa di mana. Lanala lelah terus menyebut ibu, hingga sore hampir jatuh di kolong barat, tinggal Lambo yang berusaha menghibur dengan suara dan derap empat kaki mungil, apalagi yang bisa diperbuat kambing kecil? Suara gemeletuk di danau menambah suasana senyap, hingga kepak kawanan burung di pohon menimbulkan bunyi ranting yang saling bertabrakan. Lanala bangkit, melongok jendela kayu, sepi. Perasaan kehilangannya menjadi lebih berat.

Sebelumnya terbesit dalam hatinya untuk memaafkan perbuatan yang tidak menyertakan doa dalam prosesi makannya, menunggu ibunya pulang, melihatnya memasak sup kepala ikan. Tidak. Begitu yang diyakininya, sekecil apapun kecerobohan yang diperbuatnya mesti jua disampaikan kepada ibunya. Keputusannya bulat, menyusul ibunya. Kemana? Menuju kemanapun kaki mengajaknya pergi. Tampaknya perjalanan senja Lanala terasa sepi, kambing kecil Lambo telah lelap di bawah kursi panjang, helaannya panjang serupa bayang-bayang pinus saat diterpa cahaya matahari dari arah berlawanan. Lanala keluar juga dari rumah, membawa keyakinan bahwa ia akan bertemu dengan ibunya, memberitahukan perihal doa yang lupa dirapal. Apa lagi yang bisa diyakini oleh gadis belia ini selain itu.

Keluar dari rumah, dua langkah di depan, burung gelatik mematut-matut di ranting paling dekat, “Malam-malam begini mau kemana La?”

“Mencari ibu,” jawab Lanala tanpa menoleh.

“Ibumu akan pulang nanti, tunggu sajalah di rumah.” Kali ini gelatik sudah pintar menasihati.

“Aku melakukan dosa besar, Tik. Oh ya, ini masih sore, belum malam.” Gelatik bernama Tiktik melihat saja, ada api dalam tubuh Lanala, mungkin bisa jadi obor melewati hutan gelap.

Peduli apa malam-malam keluar? Yang jelas Lanala ingin segera menemui ibunya, di bawah ancaman yang tidak terduga sekalipun atau dalam lindungan gelap, ia lebih takut dianggap tidak bersyukur kepada alam. Maka dilanjutkannya kaki mungil itu berjalan kecil-kecil, melewati jalan yang bukan dibuat sengaja, disebut jalan karena memiliki sisi dengan rumput lebih pendek. Sisa sisi yang lain setinggi paha orang dewasa, bukan rumput, semak-semak berduri kejam. Dalam hatinya yang paling kecil, gadis kecil ini menyeru dengan suara tak kalah kecil, ibu, kau di mana, apa berdosa jika aku tidak berdoa?

Sengaja atau tidak sebuah cerita itu dikisahkan kembali sebagai nasihat, yang jelas dalam cerita ini Lanala tidak berhak menasihati siapa dan apapun. Gelatik yang diacuhkannya hendak menemani, tapi urung saja, perihal keselamatan Lanala sudah ia kabarkan lewat daun, secepat kilat daun-daun silih berganti berbisik hingga seluruh penghuni hutan mengetahui ada gadis kecil mencari ibunya, seorang diri. Lanala menginjak tanah yang mulai meninggi, hatinya sedikit ragu tapi dilanjutkannya langkah dengan nafas yang ditahan-tahan. Melewati tanah tinggi, ia tak menemukan apa-apa selain saat itu hari telah berganti diselimuti gulita, hanya mata jernihnya serupa senter dalam gelap yang memantul-mantulkan cahya.

“Gadis kecil, mau kemana?” Lanala menoleh, tidak ada siapa-siapa, memang bukan siapa, seekor ular bisa disebut siapa atau apa?

Lanala menjerit, ditutupnya kedua telinga dan kedua mata secara bergantian. Apakah semua gadis melakukan hal yang sama saat merasa terancam?

“Hey, ussh ussh!” ekor ular berganti posisi di depan bibir Lanala, mencoba meredam suara dan ketakutannya.

“Jangan dekat-dekat!” Lanala menyingkirkan ekor ular dari hadapannya.

“Kenapa? Kau takut dimakan olehku?”

“Mana mungkin ular makan manusia. Kata ibu kamu makan buah apel kering,” jawab Lanala polos.

“Haha, anak manis. Untungnya kau bertemu denganku, coba bertemu kobra, pastilah selesai kau dipeluknya,” kata Dak Awu hingga tertawa mengguling-guling.

“Kobra tidak baik?”

“Dia baik, hanya saja saat manusia sepertimu mengganggunya, dia akan sangat tidak senang.”

Keduanya terlibat percakapan serius juga tampaknya, Dak Awu menyibak beberapa helai daun yang keras untuk menyediakan jalan pintas Lanala. Sampai malam menjelang, Lanala terus berjalan menyusuri apa saja yang ada di hadapannya, ia yakin kepada puluhan bintang yang menggantung di atas sana akan berbaik hati menunjukkan jalan menuju ibunya. Lagi-lagi binatang lain yang kebetulan bertemu dengan gadis kecil itu heran, sepasang kuskus dengan tangan menyerupai jari bayi melihatnya, demi apapun keduanya saling tatap, manusia lagi, dia mau menangkap kita buat jadi peliharaan di rumah-rumah berlantai batu itu. Pikir mereka.

“Kau bisa berbicara bahasaku, kuskus?” Lanala yang kebetulan melihat sorot mata bulat kuskus memberanikan diri bertanya.

“Tentu saja kami paham yang bangsamu katakan, hanya saja manusia tak pernah tahu malu kepada alam. Mereka memenjara, memberikan kami dua ekor jangkrik setiap malam, huh!” salah satu di antara kuskus memperagakan sesuatu.

“Oh, jadi kau tidak menyukai jangkrik?”

“Suka, tapi kurang,” jawab yang lain.

Lanala tersenyum, bibir manisnya terlihat lebih menyejukkan timbang apapun di malam hari.

Kuskus mendekati pelan-pelan Lanala yang berdiri kelelahan, ”Apa kau tidak akan menangkap salah satu dari kita?”

Lanala menggeleng, baginya cukup isyarat sesederhana gelengan untuk menyampaikan sebaris kalimat.

“Tidakkah kau lelah? Mari istirahat di atas, ada batang pohon yang bisa dipeluk olehmu,” ajak kuskus jantan.

Gelengan, hanya itu yang menjawab pertanyaan selanjutnya, Lanala hampir melanjutkan perjalannya, kuskus betina memanggil kawanan lain dengan bahasa entah. Beberapa kuskus dengan jenis dan warna mata yang beda berdatangan, membawakan selembar syal dari daun kering dan bulu-bulu rontok mereka. Lanala hampir tak percaya jika hewan memiliki pengertian begitu besar, bahwa manusia selalu mendapatkan yang terbaik dari alam.

Terus berjalan, supaya tidak terlihat lelah Lanala mengerjap, keyakinan jika malam ini ibunya akan ditemukan, atau paling tidak dia akan menemukan anak gadisnya ini. Tapi skenario kembali berubah, di tempat lain dengan waktu yang sama, ibunya tengah duduk di depan perapian dalam rumah berdinding batu. Seorang wanita setengah abad duduk di depannya, tangannya yang kecil menggenggami gelas tanah berisi doa.

“Tidurlah di rumahku sampai fajar tiba Galya, ramuan ini akan bekerja hanya setelah menginap semalam di sini.” Mulut wanita setengah abad itu mengunyah udara kosong mirip mantra.

“Tapi, bu …”

“Jangan salahkan aku jika pada masa yang akan datang, Lanala menanyakan sesuatu yang tidak pernah ia miliki dalam hidupnya.”

Begitulah, gadis semalang Lanala yang berjalan mengelilingi malam hanya untuk bertemu ibunya, nyatanya gagal meski telah menyisir hampir sepertiga hutan. Pada saat waktu belum ditentukan, embun-embun kemudian turun di pelipisnya, gigil datang. Suara gadis kecil itu mendesah, kedua tangannya mendekap, mencoba mengusir dingin yang semakin semena-mena menguliti tubuh. Ibu, kau dimana? Haruskah aku kembali ke rumah, atau melanjutkan perjalanan ini untuk bertemu denganmu? Aku takut. Disimpannya rapat-rapat kata-kata itu, Lanala memang pandai menyembunyikan perasaan, dan lagi, dia amat mencintai ibunya.

Delapan langkah di depan, berdiri pohon beranting banyak, meski bungkuk dan rambut daunnya gugur, masih ada sisa kegagahan yang teduh saat berada di bawahnya. Lanala sejenak memutuskan berhenti, menyandarkan punggungnya pada tubuh pohon, sementara letih sudah mengajaknya beristirahat. Lanala merebah di atas tanah, dari arah berlawanan, sepasang kunang-kunang heran.

“Hei Biruji, lihat! Aku bertaruh kalau gadis kecil yang duduk meluruskan kakinya itu pasti kedinginan,” kata salah seekor kunang yang lebih pendek.

“Kau tidak boleh menilai begitu!” sergah kunang berwajah tenang, “dia kelaparan,” imbuhnya.

Lanala memandang dua ekor kunang dengan bibir yang bergerak-gerak itu, dia ingin mengabaikannya, namun urung, melihat cahaya di tubuh bagian bawah kunang-kunang, mata Lanala menyala.

“Apa tubuhmu hangat?” Ia yakinkan diri bertanya dengan bahasa manusia. Kedua kunang bersitatap, heran bercampur gembira.

“Dari mana kau tahu bahasa kami, gadis kecil?”

“Itu kalimat biasa yang diajarkan ibuku setiap hari.”

“Wanita pencari kayu bakar yang berumah di tepian danau itu?”

Lanala mengangguk, tapi matanya berat. Angin fajar berhasil membuatnya tidur. Buru-buru kunang-kunang bernama Biruji mendekatkan tubuhnya di pipi bagian kanan Lanala, sementara Indania, kunang berbadan pendek di bagian sebaliknya. Sayup terdengar dari bibir manis gadis malang itu, “Allahumma baariklana fiima Razaqtana …aku lupa, Bu.”

“Ternyata ayah kita benar, tentang kisah gadis yang mencari ibunya karena lupa doa makan,” bisik Biruji.

“Ssshh.” Indania melotot, didekatkan tangan yang mirip jari telunjuk itu di depan mulutnya.


Data penulis: Khoshshol Fairuz, lahir dan besar di Cilacap, saat ini masih belajar mengeja buku-buku. Bisa ditemui di IG: khoshshol.fairuz. alamat: SDN Sugihwaras 1 kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang.