sumber ilustrasi: ganto.co

Oleh: Muhammad Miqdadul Anam*

Mata tuanya seakan meneropong jauh mengamati para santri di depannya. Duduk di surau yang tak pernah berubah sejak didirikan berpuluh tahun lalu. Sedikit pun tak berubah selain atap yang bocor saat musim hujan diganti dengan atap baru. Surau yang terlihat kuno, tapi belum kehilangan gairahnya dalam meramaikan sepertiga malam. Meski bangunan sekitarnya memakai keramik putih mengkilap, lantainya masih setia membentang khas tahun 1900-an.

Namun, seakan ada hal yang mengganjal di pikiran kiai sepuh itu. Setelah menerima laporan dari ketua kelompok santri, ia manggut-manggut. Melihat ada satu santri yang tidak ikut berjamaah, yang sedang berdiri mematung di belakang sebagai hukuman. Spontan, kiai sepuh itu berkata, “Surau tua ini menjadi saksi kalau dulu kiai pendiri pernah dawuh, ‘Santri, awakmu ojok ngeremehno perkoro cilik, mergo perkoro gede teko barang sing cilik.’ (Santri, Kamu jangan meremehkan hal kecil, karena hal besar berasal dari yang kecil).”

Tak banyak yang diucapkan siang itu. Hanya pengingat nasihat pendiri pondok yang mulai dilupakan. Maka, kiai sepuh itu pun berlalu setelah mengisi pengajian tafsir. Disusul para santri di belakangnya kembali ke asrama masing-masing dengan memeluk kitab kuning dan pulpen kebanggaan mereka, Hi-Tech-C.

“Wah, tadi kiai dawuh begitu menyindir kamu, tuh,” ujar Sidut ke teman karibnya yang barusan dihukum berdiri karena tak berjamaah. Dia santri yang tengah-tengah lah. Tidak pintar-pintar amat, pula tidak malas-malas sangat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Heleh. Apa sih? Nasihat kiai itu kan untuk semua santri. Bukan aku saja, kan?” bela Amin. “Toh, tadi kan juga banyak yang tidak memakai baju putih, padahal kan hari Kamis peraturannya harus memakai baju dan kopiah putih. Apalagi tadi aku kan dijenguk, jadi ada alasan meninggalkan jamaah.”

Sidut diam sebentar, sebelum berujar,

“Bukannya ustadz pernah bilang kalau jangan sampai meninggalkan kegiatan apapun alasannya. Dijenguk kan termasuk kalau begitu. Mending kamu bilang ke orangtuamu kalau menjenguk jangan waktu kegiatan. Minimal lah kamu minta izin kegiatan sebentar.”

“Ah, menghayal kamu. Mana ada peraturan kayak gitu. Kamu tidak tahu sih gimana orangtuaku. Mereka tidak sabaran menanti karena banyak pekerjaan di rumah. Mana sempat nunggu aku kegiatan sampai setengah jam,” balas Amin memberikan klarifikasi.

Sidut kembali terdiam. Sebagai sahabat ia merasa perlu mengingatkan kawannya itu agar tidak menjadi santri seperti yang didawuhkan kiai. “Tapi…” Baru akan angkat biacara, tiba-tiba Amin menyela, “Sudahlah! Daripada memikirkan yang tidak-tidak, mending kamu bacakan aku makna kitab yang kemarin kiai bacakan. Makna kitabku belum lengkap.”

Sidut yang kesal omongannya dipotong Amin, lantas melengos. “Tidak mau!” katanya sambil memalingkan wajah.

Amin yang tak kehabisan akal kemudian bilang, “Hm… tidak mau ya? Sayang sekali, padahal aku sudah menyiapkan kopi Robusta yang dibawakan orangtuaku tadi.”

Amarah Sidut tiba-tiba padam. Rasanya begitu berat untuk tidak menyeruput kopi Robsuta kesukaannya. Hati Sidut seakan luluh dengan tawaran itu. “Baiklah, nanti kubacakan makna kiai kemarin,” kata Sidut masih memasang muka datar.

            “Nah, gitu dong baru sahabatku,” ujar Amin sumeringah.

            “Eits, sebentar. Tapi jangan lama-lama. Soalnya aku mau mencuci baju yang sudah menumpuk itu. Dan, nanti Robustanya buat agak banyakan ya. Hehe,” goda Sidut sambil menunjukkan senyum bulan sabitnya.

            “Dasar!”

Kekecewaan menghujam hati sidut sore itu. siapa kira, Amin, sahabatnya yang ia kenal begitu semangat dalam mengaji, tiba-tiba digiring menuju keamanan. Ia kepergok pihak kemanan saat janjian bertemu santriwati di seberang sungai kecil pemisah pondok putra-putri.

Ternyata, selama ini Amin tidak ikut kegiatan saat dijenguk bukan karena takut ditinggal orangtuanya yang sibuk, melainkan ada maksud terselubung. Saat dijenguk, pasti yang ia cari pertama adalah smartphone. Ia sengaja akhir-akhir ini sering dijenguk untuk mengabari seorang santriwati yang ia kenal tak sengaja dari media sosial.

Dari situ, Amin keterusan berhubungan dengan si santriwati itu lewat surat yang ia taruh di sela tembok pemisah. sampai akhirnya di sore yang agak mendung itu ia memutuskan bertemu dengan pujaan hatinya itu. tapi, takdir berkata lain. Baru saja ia berbincang santai dengan santriwati itu, pihak keamanan yang kebetulan berkeliling memergokinya.

Karena berhubungan lawan jenis selain mahram, Amin pun terkena surat pernyataan (SP). Kalau sampai terkena SP tiga kali, santri di pondok itu otomatis dipulangkan ke rumah karena sudah dianggap tidak bisa dibenarkan lagi. Ini sekaligus mengurangi keberkahan mondoknya.

Setelah kejadian itu, Sidut mencoba menasihati sahabatnya itu. Namun, hasilnya nihil. Tak satu pun nasihatnya digubris Amin. Amin sekarang seolah bukan Amin yang dulu lagi. Ia tak lagi memperhatikan ustadznya saat menerangkan pelajaran, malah sibuk ber-halu. Tugas hafalan pun berganti dengan mengulang-ulang syair cinta. Bahkan, Amin sudah berani keluar lokasi pondok tanpa izin.

Puncaknya, Amin balik memarahi Sidut yang ia rasa terlalu mencampuri urusannya. Akhirnya, persahabatan mereka berdua pun terputus sebab keegoisan Amin. Amin berubah mulai tak memperhatikan peraturan kecil dilarang memakai barang elektronik saat dijenguk. Dan pelanggaran itu merembet menjadi pelanggaran lain yang lebih besar.

Amin hanya duduk terpungkur. Dia enggan melakukan apapun. Suara tahlil terdengar bersahutan di luar, pertanda jenazah kiai sepuh sudah mulai diantar ke pemakaman. Meski yang lain berhambur keluar surau untuk mengiringi jenazah, Amin bergeming di pojok surau tua itu.

Sudah sepuluh tahun semenjak ia keluar pesantren demi melanjutkan kuliah. Namun, kehidupannya seperti banyak ditimpa masalah. Maka, di bawah asbes, yang usianya mungkin lebih tua darinya itu, Amin merasakan ada yang menghentak dadanya. Pikirannya kembali pada kejadian ia dihukum berdiri karena tak ikut jamaah.

Bibirnya bergetar sambil mengulangi petuah kiai sepuh saat itu yang menyampaikan dawuh pendiri. “Santri, awakmu ojok ngeremehno perkoro cilik, mergo perkoro gede teko barang sing cilik.”

__________________________________________________

*Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo Malang