
Namanya Iman. Di pondok, dia sering dipandang sebelah mata. Wajahnya biasa saja, tidak punya kecerdasan istimewa seperti teman-temannya yang sudah hafal beberapa juz. Keluarganya? Tidak seagamis yang diharapkan oleh sebagian besar orang di pondok. Ayahnya seorang petani sederhana yang jarang mengaji, dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang tak pernah mengenal dunia pesantren.
Iman sadar akan semua kekurangannya. Saat teman-temannya berbicara tentang hafalan dan kajian, dia hanya bisa mendengar tanpa bisa ikut menyumbang. Di kamarnya yang sederhana, dia sering menangis, bertanya pada dirinya sendiri mengapa Allah memilihnya berada di jalan yang sulit ini.
“Iman, kok kamu nggak bisa hafal-hafal sih? Teman-temanmu udah khatam!” itu adalah kalimat yang sering didengar Iman dari teman-temannya. Mereka tertawa terkadang, merendahkannya, dan Iman hanya bisa diam.
Pagi-pagi, Iman bangun lebih awal. Tak peduli hujan atau panas, dia selalu berusaha mengulang hafalan dengan tekun, meski sering merasa tertinggal. “Allah, aku bukan yang paling pintar, tapi aku akan terus berusaha,” bisiknya setiap kali membuka mushafnya.
Di pondok, ejekan datang bertubi-tubi. “Kamu mau jadi apa, Iman? Masa hafalan aja nggak bisa lancar?” Itu membuat Iman ingin menyerah. Sering kali, dia hampir putus asa, merasa sudah tidak mampu lagi mengikuti jejak santri lain yang cepat hafal.
Namun, Allah memberikan kekuatan lain untuknya. Iman tidak menyerah. Meskipun hatinya terasa sakit, meskipun sering mendapat hinaan, dia tetap sabar. Ia terus berjuang, walau kadang di tengah malam ia merasa sepi dan frustasi. Iman tahu, hanya dengan ketekunan dan keikhlasan dia bisa sampai pada tujuan, meskipun jalan yang dilalui penuh kerikil tajam.
Tahun demi tahun berlalu. Seiring berjalannya waktu, Allah mengangkat derajat Iman. Hafalannya semakin lancar, meskipun tidak secepat teman-temannya yang sejak awal memiliki kelebihan. Iman selalu istiqomah, mengulang hafalan yang sama hingga ia menguasainya, dan dengan sabar terus belajar meski dalam kelelahan.
Suatu hari, kepala pondok memanggilnya.
“Iman, kamu sudah menyelesaikan hafalanmu?” tanya beliau dengan mata penuh harap.
Iman menundukkan kepala, “Alhamdulillah, saya sudah khatam.”
Kepala pondok itu tersenyum, mengangguk, “kami sangat bangga padamu. Kamu telah menunjukkan apa yang dimaksud dengan kesabaran dan istiqomah. Kami ingin memberimu penghargaan.”
Tidak lama setelah itu, Iman menerima kabar yang mengejutkan. Dia mendapat beasiswa kuliah di Mekkah, tempat yang selalu dia impikan. Tidak hanya itu, dia juga mendapatkan tiket umrah dan haji untuk seluruh keluarganya. Satu kebahagiaan besar yang tak pernah ia duga akan datang. Di perjalanan pulang, ia bisa melihat air mata ibunya yang bangga, air mata yang penuh syukur. Ayahnya memeluknya erat, tidak tahu bagaimana mengungkapkan rasa syukurnya.
Saat wisuda tahfidz tiba, Iman maju dengan langkah penuh percaya diri. Di hadapan seluruh santri dan guru-guru, ia menerima piagam kehormatan sebagai santri terbaik. Teman-temannya yang dulu sering merendahkannya, kini tercengang melihat pencapaiannya. Mereka tak percaya bahwa Iman, yang dulu selalu dipandang sebelah mata, kini menjadi salah satu yang terbaik di antara mereka.
Sering kali kita merasa tidak cukup, merasa diremehkan karena keluarga kita tidak setinggi yang diharapkan orang lain. Namun, Allah melihat kesungguhan hati, bukan hanya kehebatan tampak. Mereka yang merendahkan kita, menghina kita, tak akan tahu bahwa dalam kesederhanaan kita ada kekuatan yang tak tampak. Yang mereka lihat hanyalah pakaian kita yang lusuh, tapi mereka tak melihat isi hati kita yang terus berjuang.
Iman tidak pernah berkata kasar pada mereka yang merendahkannya. Tapi kini, Allah sudah menjawab doa-doanya. Dan bagi mereka yang dulu menghina, mungkin kini mereka baru tahu: kesuksesan tidak datang dari popularitas atau kedudukan, melainkan dari kesabaran yang tak kenal lelah.
Penulis: Wan Nurlaila Putri