Oleh : Hilmi Abdillah*

Pagi yang buta Daenuri sudah bangun, mandi, dan menunaikan shalat tahajjud dua rakaat. Kira-kira jam tiga pagi. Tanpa dikageti alarm, Daenuri beranjak dari kasur seadanya tinggalan orangtua. Umurnya kini sudah mencapai kepala empat. Dan Daenuri tinggal bersama istri dan empat orang anak.

“Dimana Jurumiyahku?” gumamnya dalam hati sebelum ia menaiki sepeda onta yang juga warisan bapaknya.

Lalu ia kembali masuk ke dalam rumah. Mencari sebuah kitab nahwu yang masyhur di kalangan pesantren itu. Tak lama kemudian, ia keluar lagi setelah menemukan kitab berwarna hijau yang akhirnya dikempit di ketiaknya bersama kitab-kitab yang lain.

Daenuri hanya seorang pengajar swasta di sebuah madrasah aliyah di Kudus. Jarak antara madrasah dan rumahnya mencapai lima belas kilometer. Namun, jarak itu ia tempuh menggunakan sepeda onta setiap harinya, terkecuali hari Jumat. Daenuri sudah mengajar selama dua puluh tahun, kurang lebih. Di madrasah, ia dikenal dengan guru paling ikhlas nomer satu. Salah satunya dikarenakan ia masih mau mengajar walaupun jarak antara rumahnya dan madrasah sangat jauh.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Konon pada suatu hari, hujan turun begitu lebat. Pagi itu, banyak guru-guru yang masih menanti hujan terang di rumahnya sambil merokok dan nonton tivi. Hanya sebagian yang tiba di madrasah sebelum pukul tujuh, seperti kepala sekolah dan penjaga pintu gerbang. Saking derasnya hujan, murid-murid juga belum ada yang datang, karena mereka rata-rata tinggal di pondok dan tidak punya payung. Namun beda lagi dengan Daenuri, pukul setengah tujuh ia sudah berada di kantor guru.

Ia sama sekali tidak menjadikan hujan sebagai alasan, walaupun itu sangat deras. Sepatunya ia masukkan dalam tas plastik. Begitu pula dengan seragam dan kitabnya. Ia berangkat dari rumah mengenakan kaos oblong biasa dan celana yang bukan seragam, setelah itu dilapisi dengan mantel. Sesampainya di madrasah, ia ganti pakaian di kantor guru, dan pakaian basahnya ia jemur di teras belakang.

Suyuti, salah seorang guru yang lumayan kaya juga pernah menawarinya sepeda motor. Bukan untuk dibeli, tapi Suyuti memberinya dengan cuma-cuma. Maklum, Suyuti dahulu waktu kecil pernah ngaji kepada Daenuri. Akan tetapi, Daenuri menolak tawaran Suyuti itu. Alasannya simpel, bersepeda pagi-pagi bisa membuat badan keringatan dan sehat.

“Pak, apa artinya Daenuri?” tanya seorang murid di sebuah pelajaran.

Daenuri bingung mau jawab apa. Walaupun ia sudah menggeluti dunia perkitabkuningan dan mengajar nahwu selama dua puluh tahun, Daenuri belum juga tahu apa arti dari namanya itu. “Umm… Daenuri itu sebenarnya diambil dari nama seorang muallif (pengarang) kitab. Pembacaannya yang benar adalah Dinawari. Tapi ketika masuk Indonesia, saya tidak tahu kenapa Dinawari tiba-tiba berubah menjadi Dainuri atau Daenuri.

“Tulisannya seperti ini,” kata Daenuri seraya mengambil kapur dan menulis rangkaian huruf hijaiyyah di papan tulis “dal-ya’-nun-wawu-ro’-ya’, ”Ini bisa dibaca Dinawari, bisa juga dibaca Daenuri.”

Selain itu, Daenuri juga mengerti kalau orang yang bernama Daenuri bukan cuma dia. Tapi banyak juga Daenuri-Daenuri yang lain yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di Jawa. Dan anehnya lagi, ia belum pernah menemukan seorangpun yang mempunyai nama Dinawari. Dia jadi mikir dua kali, apa memang yang benar itu Dinawari, atau Daenuri? Atau kedua-duanya benar? Atau malah justru Daenuri itu yang benar, dan Dinawari salah?

Tetapi kalau membaca kitabnya Ibnu Bathuthah yang berjudul Rihlah Ibni Bathuthah, yang benar bacanya itu memang Dinawari, dengan dal kasroh, dan fathahnya nun dan wawu. Daenuri khawatir, jika Syekh Dinawari yang sesugguhnya datang kepada semua Daenuri yang ada di Indonesia dan menyuruh mereka mengganti nama menjadi Dinawari. Tapi di satu sisi, Daenuri juga ingin bertemu dengan Syekh Dinawari yang sesungguhnya untuk ngobrol dan curhat masalah ini.

Pada akhir tahun 2008, ada Perlombaan Kaligrafi Internasional di Baghdad. Salah satu dari murid Daenuri dikirim ke sana untuk berpartisipasi dalam even tersebut. Dan kebetulan, Daenuri dipercaya untuk mendampingi muridnya itu selama perlombaan di Baghdad. Ini adalah pertama kalinya Daenuri pergi ke luar negeri.

Singkat cerita, perlombaan itu selesai. Perwakilan dari Indonesia tidak ada yang memperoleh penghargaan sama sekali. Dan karena itu, Daenuri tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Ia ingin berziarah ke makam wali-wali Baghdad dan ulama-ulama yang pernah tenar pada zaman dahulu. Seperti Imam Nawawi, Syekh Abdul Qodir al-Jilani, Imam Hanbali, Imam Junaidi al-Baghdadi, Imam Ghazali, dan lain-lain.

“Pak, Panjenengan[1] tidak pulang?” tanya muridnya, “Pesawat sebentar lagi terbang.”

“Tidak, saya ingin bertawasul kepada wali yang ada di sini. Kamu pulang saja dulu. Oh ya, saya juga titip kepada guru-guru di madrasah kalau saya tidak bisa memenangkan lomba kaligrafi ini,” kata Daenuri, agak menyesal.

“Ah, Pak Daenuri kan tidak ikut lomba. Seharusnya saya yang akan minta maaf.”

“Ya sudah kalau begitu, kamu pulang saja dulu. Nanti saya nyusul.”

“Nyusul naik apa, Pak?” tanya muridnya.

“Tidak usah dipikir, Allah pasti memberi jalan.”

Murid itu mengangguk, kemudian berjalan pelan menuju pesawat yang akan dinaikinya. Sementara Daenuri bergegas keluar dari area bandara dan bertanya-tanya pada orang yang ada lokasi makam ulama dan para wali.

Pertama kali, ia bertemu dengan makam Syekh Syirazi pengarang kitab. Usai berziarah di makam tersebut, Daenuri bertanya lagi pada seseorang tentang lokasi makam ulama atau wali, siapapun itu. Sampai pada akhirnya ia telah menziarahi delapan belas makam ulama besar. Setelah itu, ia bertanya pada seorang pria yang sedang duduk di bangku di tepi jalan raya. Pria itu brewokan dan memakai pakaian seperti layaknya orang Arab. “Berjalanlah saja ke sana, nanti Anda akan menemukan sebuah makam ulama,” kata pria itu sambil tangannya menunjuk ke suatu arah.

Daenuri dengar saja apa kata pria itu. Ia berjalan ke arah yang pria itu tunjukkan. Dan setelah berjalan kira-kira setengah kilometer, Daenuri menemukan sebuah makam yang pengunjungnya jarang-jarang. Makam ini memiliki penjaga, namun sepertinya penjaga itu tak pernah membersihkan dan merawat area sekitar makam. Daenuri terkejut ketika mau masuk ke makam tersebut, ia membaca sebuah papan kayu yang terpampang di pintu masuk. Yang terlihat dari tulisan itu hanya kata “ad-Dinawari”. Daenuri yakin, ada nama sebelum kata itu. Tetapi karena papan kayu itu sudah lapuk dimakan rayap, nama depan sebelum “ad-Dinawari” sudah tidak kelihatan lagi. Makam ini benar-benar tidak terawat.

Daenuri mulai masuk dan menemukan beberapa makam yang berjajar. Seperti makam-makam yang lain, makam induk adalah makam yang nisannya paling tinggi atau paling besar. Ternyata, nisan makam syekh Dinawari cuma terbuat dari kayu, itu pun juga sudah dimakan rayap.

Di situ Daenuri membaca Yasin, tahlil, dan doa-doa untuk Syekh Dinawari dan beberapa ahli kubur yang dimakamkan di situ. Karena hari mulai senja, Daenuri meminta izin kepada penjaga makam untuk menginap di situ selama semalam.

Pada malam harinya, atas kehendak Allah, Daenuri dipertemukan dengan Syekh Dinawari di dalam mimpi. “Assalamu alaikum…,” kata Syekh Dinawari.

“Wa alaikum salam wa rahmatullah,” jawab Daenuri. Ia agak grogi.

“Siapa nama Anda?” tanya Syekh Dinawari kemudian.

“Saya Daenuri, Syekh. Anda Syekh Dinawari, kan?”

Syekh Dinawari mengangguk, lalu bertanya lagi, “Anda dari Baghdad?”

Daenuri bingung, kenapa beliau bertanya kalau ia dari Baghdad sedangkan di sini adalah Baghdad. “Bukan Syekh, saya dari Indonesia.”

“Oh, dari Indonesia. Pantesan namanya Daenuri. Orang Baghdad tak mungkin punya nama Daenuri,” tuturnya enteng.

Daenuri hanya tersenyum malu. Ia merasa orangtuanya gagal memlagiat nama orang. “Saya punya pertanyaan, Syekh.”

“Tolong jangan bertanya tentang agama, saya sudah lama pensiun,” cletuk Syekh Dinawari. Ternyata beliau juga bisa bercanda dan ngobrol dengan santai.

“Bukan,” lanjut Daenuri, “Jika seseorang memanggil Anda dengan nama Daenuri, apakah Anda akan menoleh?”

“Ya tidaklah! Nama saya kan Dinawari, bukan Daenuri. Selain itu, kenapa sih orang Indonesia banyak yang menggunakan nama Daenuri, bukan Dinawari? Jadinya kan saya tidak terkenal. Coba lihat, banyak orang Indonesia memakai nama Syafi’i, Hanafi, Rofi’i, dan masih banyak lagi. Tidak ada yang salah dalam penyebutan dan cara membaca. Tapi kenapa ketika sampai pada nama saya mereka selalu salah baca?” sentak Syekh Dinawari.

“Mungkin kata Dinawari itu aneh bagi mereka, Syekh. Kalau Daenuri itu punya wazan yang sama dengan nama-nama lain. Contohnya Dailami, Baijuri, dan Kailani. Tapi kalau Dinawari itu tak punya kemiripan dengan yang lain, Syekh,” balas Daenuri.

Mereka seperti sedang duduk di teras, berbincang banyak dan saling bantah-membantah masalah nama mereka berdua. Mereka seperti dua orang yang sudah lama kenal. Atau mungkin, mereka memang sudah saling kenal secara batin.

“Selain itu, Syekh, nama yang ada huruf ‘w’-nya kemudian diakhiri dengan huruf ‘i’, itu cenderung menjadi nama perempuan. Contohnya Dewi, Nikita Willy, Wulandari, dan Wilayati. Kalau laki-laki biasanya diakhiri dengan huruf ‘u’ atau ‘o’ atau huruf konsonan, Syekh. Seperti Wahyu, Waluyo, dan Wawan.”

“Ah, alasanmu tidak masuk akal,” kata Syekh Dinawari ngambek.

“Kalau Anda tahu, Syekh, Dinawari itu seperti tontonan anak saya yang masih SD. Nama Dinawari itu mirip dengan tokoh kartun dari Jepang, namanya Himawari. Dia itu adiknya Sinchan. Dia juga perempuan.” Daenuri mulai berani membuat kelucuan.

“Alah, paling-paling kalau Himawari masuk ke Indonesia juga akan dibaca Haimuri,” kata Dinawari.

Setelah kian lama bercanda dengan Syekh Dinawari, Daenuri ingin menyampaikan maksud dan tujuan ia datang ke Baghdad. “Sudahlah, Syekh. Sebenarnya tujuan utama saya ke sini adalah bertemu dengan Anda. Sekarang saya sudah yakin, kalau ternyata pemilik nama asli Dinawari sudah mengetahui kalau namanya banyak diselewengkan di Indonesia.”

“Terus?”

“Karena itu, saya, Daenuri, dan Daenuri-Daenuri yang lain yang ada di Indonesia meminta kepada Anda untuk mengikhlaskan kesalahan baca tersebut. Akan tetapi jika Anda tidak mengikhlaskan, saya akan meberitahu kepada semua Daenuri yang ada di Indonesia untuk mengubah nama mereka menjadi Dinawari.”

Syekh Dinawari diam sejenak. “Tidak perlu! Nama adalah pemberian spesial dari orangtua. Saya tidak akan memaksa kalian untuk mengubah nama kalian. Dinawari tetaplah Dinawari, dan Daenuri tetaplah Daenuri. Mereka berbeda dalam pembacaan, tapi mereka sama dalam tulisan. Biarlah dal-ya’-nun-wawu-ro’-ya’ itu ditulis, dan biarkanlah orang-orang membacanya dengan cara apapun. Dinawarikah? Daenurikah? Dayanawarakah? Atau Don’t Worry-kah? Hal itu tidak masalah. Karena nama yang salah sesungguhnya bukan kesalahan yang punya nama.”

Daenuri merasa senang dan lega. Ia kemudian pamit kepada Syekh Dinawari dan ingin segera pulang esok pagi. “Terima kasih Syekh, telah mengikhlaskan semuanya. Doakan saya juga, semoga besok pagi bisa pulang dengan selamat,” pungkas Daenuri.

“Amin,” kata Syekh Dinawari sambil mengangguk. Lalu mereka berdua berpisah.

Daenuri bangun di jam tiga sebelum subuh. Seperti biasa, ia mengambil wudhu kemudian shalat tahajjud dua rakaat. Setelah matahari muncul, Daenuri bingung, mau pulang naik apa.

*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Semester 4 dan aktif di Sanggar Komunitas Penulis Muda Tebuireng

Tulisan Pernah dimuat di Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) Edisi 12 April 2015


[1] Jawa: Anda