D Zawawi Imron, saat diwawancarai oleh wartawan tebuireng.online, Jumat (18/08/17). (Foto: DR)

Tebuireng.online- Wartawan tebuireng.online menemui penyair dan budayawan nasional, D Zawawi Imron yang terkenal dengan sajak ‘Celurit Emas’nya, di depan Perpustakaan Tebuireng. Siang itu, sedang berlangsung tanya-jawab soal bagaimana cara santri atau pemuda pada umumnya tetap mampu mementingkan diri menulis dan mencatatnya di dalam buku daripada di media sosial (medsos) yang rawan hilang, serta pembicaraan soal bagaimana percaya diri pada karya sendiri, dan cara menghargai seseorang yang memiliki bakat menulis.

Siang itu, Jumat (18/08/17) lelaki asal Sumenep Madura itu pun sangat jelas memberikan komentar tentang kebiasaan santri atau pemuda saat ini yang kebanyakan lebih sering menulis di media sosial dari pada serius menulis dan membukukannya. Baginya hal itu memang sebuah transisi, tetapi jika memang lebih abadi, tulisan-tulisan itu ditulis dan baiknya diterbitkan jadi buku.

“Kalau di medos bisa hilang karena virus. Tidak semua orang Indonesia itu main medsos, handphone, dan sejenisnya, jadi buku itu tetap diperlukan, itu bisa dibuktikan,” ungkapnya.

Menurutnya, perguruan paling modern pun sampai sekarang ini belum ditemukan ada yang membakar buku, jadi selama perpustakaan masih dijaga, buku masih ditulis, berarti buku itu tetaplah lebih penting dari pada medsos. Hematnya, medsos itu hanya membantu saja.

“Kalau niat mau menulis di buku harus lebih serius, dari tatanan bahasa, cara menulis itu diperbaiki, ada editor, tapi kalau di medos lebih santai dan kesalahan bahasanya amburadul sangat tinggi,” respon pelantun puisi Ibu itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selanjutnya, pemain film Semesta Mendukung itu juga mengungkapkan bahwa ketika kita menulis ngaur itu harus ditepis, harusnya lebih terpikirkan dan merenung. Apa yang kira-kira masih meragukan dan tidak benar, tidak perlu ditulis, sehingga jadi selektif sekali orang yang bikin buku. Buku itu dinilai oleh masyarakat, penting akan dicatat dalam  kenangan dan mungkin disimpan sebagai warisan penting dalam perpustakaan.

“Entah lagi nanti kalau suasana sudah berubah, orang bosan sama buku dan buku-buku dibakar di perpustakan, itu lain. Yang jelas buku itu lebih baik dari pada di medsos yang masih rawan hilang,” tegasnya.

Dalam sebuah percakapan panjang, pemilik kumpulan sajak Bulan Tertusuk Ilalang yang telah menginspirasi salah satu sutradara film tersebut, mengungkap bahwa menulis itu tergantung diri orang itu, Ia mengakui bahwa dirinya pun begitu. Lelaki asal Sumenep Madura itu memberi pesan agar kita saling mengajari untuk penulis pemula itu jujur pada diri sendiri.

“Diajarilah mereka jujur, bahwa nulis puisi yang benar-benar getaran hati, getaran hati itu lain dengan permainan kata-kata yang tak jelas maknanya. Tapi kalau itu memang kata-kata yang berasal dari kejujuran hati, tak usah malu,” nasihatnya.

Selain itu, Ia juga menyampaikan filosofi orang Libanon, Elya Bumadi, ‘barang siapa dalam dirinya tak punya rasa keindahan, dia tidak bisa melihat wujud alam semesta sebagai sesuatu yang indah’, lanjutnya, tapi jika kita melihat burung garuda dan apapun yang dianggap indah, maka kita tuangkan sebagai tulisan, itulah keindahan.

Penyair Celurit Emas itu pun juga sempat mencontohkan apa yang pernah Ia tulis dari hal-hal kecil dan sederhana tetapi masih dianggap bagus dan luar biasa oleh orang lain termasuk juri lomba. Contohnya adalah puisi berjudul Sungai kecil dan Semut. Baginya, semut saja bisa ditulis dan dianggap puisi, apalagi hal lain yang lebih indah dan lebih luas daripada itu.

Selain filosofi Libanon, Ia juga menyampaikan pepatah orang Bugis yang artinya, ‘berpikirlah kamu dengan hati yang jernih, maka kemuliaan akan menyelimuti hatimu. Menurtunya juga, hati yang mulia dan bersih itu tidak akan menulis yang bukan-bukan, tidak akan menerka-nerka, dan menipu pembaca. Itu pentingnya hati yang bersih.

“Kalau santri mau menulis, menulislah terus. Tentunya itu dengan hati yang taqarrub pada Allah. Tapi ingat, saat kamu menulis, ada yang melihat tanganmu yang bergerak, ada yang membaca, yaitu Allah dan malaikat. Ketika menulis hanya ingin disanjung orang, maka yang akan tampak di situ hanya rasa arogansi yang terselubung, maka tidak menarik sebagai puisi, apapun yang dibicarakan, tidak ada getarakan yang benar-benar vibrasi atau gempa rohani, karena menerka nerka saja,” nasihatnya begitu dalam dan disampaikan dengan penuh semangat dan dukungan.

Terakhir, budayawan itu menyampaikan perkataan Imam Syafi’i, yang dikutip oleh Imam Az Zarnuji dalam taklim mutaalim, “Bersungguh-sungguh, bertabah-tabah dengan vitalitas akan membuat perkara yang jauh menjadi dekat, bersungguh-sungguh dengan vitalitas pintu yang tertutup rapat pun bisa didobrak jadi terbuka,” ungkapnya seraya melanjutkan nasihatnya, bahwa kesungguhan dan ketabahan dalam belajar itu menjadi hal yang sangat penting dan kesungguhan akan membuat apa yang diinginkan menjadi sebuah realitas.


Peawrta : Raa-An

Editor : Munawara MS

Publisher : Rara Zarary