Siti Nur, perempuan yang hidup di sebuah desa kecil yang sejuk, adalah putri dari pasangan sederhana. Siti adalah seorang petani yang hidup dengan penuh keharmonisan. Setiap hari, ia bekerja di ladang bersama orang tuanya, menanam padi dan memanen hasil bumi. Meski hidup dalam keterbatasan, Siti selalu merasa cukup dan bahagia dengan kehidupannya.
Namun, di desanya terdapat sebuah pesantren yang cukup besar dan terkenal. Pesantren itu dipimpin oleh seorang Kiai yang sangat dihormati oleh seluruh warga, Kiai Abdul Malik. Kiai yang sudah sepuh itu memiliki seorang anak laki-laki yang tampan dan cerdas, bernama Arif. Arif tidak seperti anak-anak Kiai lainnya yang gemar bergaul dengan para santri. Ia lebih suka membaca buku, berpikir dalam diam, dan kadang terlihat duduk di pinggir sungai sambil menatap langit.
Siti pertama kali bertemu Arif pada suatu acara peringatan Maulid Nabi di desa mereka. Saat itu, Siti membantu ibunya menyiapkan makanan dan hidangan untuk para tamu. Tanpa sengaja, ia melihat Arif sedang berbincang dengan beberapa pemuda di dekat tenda, dan meskipun Arif tampak begitu biasa, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat hati Siti berdebar. Arif berbicara dengan penuh kelembutan, pandangannya tajam namun penuh kedamaian. Siti tak tahu mengapa, namun sejak saat itu, bayangan Arif selalu terlintas di benaknya.
Hari demi hari, Siti merasa hatinya semakin terikat pada Arif, meskipun mereka jarang bertemu. Terkadang, ia melihat Arif sedang berjalan bersama teman-temannya menuju pasar atau ke masjid. Setiap kali bertemu dengan mata Arif, Siti merasa ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Perasaan itu tumbuh dalam diam, seperti bunga yang mekar tanpa disadari. Siti tahu bahwa cinta ini tak mungkin terbalas. Ia hanyalah seorang gadis biasa, sedangkan Arif adalah anak Kiai yang memiliki segalanya kecerdasan, karisma, dan masa depan yang cerah.
Suatu sore, setelah menanam padi di sawah, Siti duduk di bawah pohon bambu untuk beristirahat. Tak sengaja, pandangannya menangkap sosok Arif yang sedang berjalan sendirian di tepi jalan desa. Tanpa berpikir panjang, Siti berdiri dan menyapa Arif dengan suara lembut.
“Assalamualaikum, Arif.”
Arif menoleh dan tersenyum. “Waalaikumsalam, Siti. Apa kabar?”
Siti merasa canggung, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Alhamdulillah, baik. Bagaimana kabar Anda, Arif?”
“Alhamdulillah, sehat. Kamu habis dari sawah?”
Siti mengangguk pelan. “Iya, baru saja selesai membantu orang tua di sawah.”
Arif mengangguk, kemudian duduk di samping Siti tanpa berkata-kata untuk beberapa saat. Mereka berdua menikmati keheningan, hanya angin yang berbisik lembut di antara mereka.
“Ada yang ingin saya katakan, Siti,” Arif akhirnya membuka suara. “Saya tahu kamu pasti sering merasa bahwa dunia kita berbeda, dan mungkin kamu merasa ada jarak yang besar antara kita.”
Siti terkejut mendengarnya. Ia merasa seolah-olah Arif bisa membaca pikirannya. “Benar, saya sering berpikir begitu. Tapi, bukankah itu memang kenyataannya?”
Arif tersenyum, meski senyum itu tak terlihat sepenuhnya bahagia. “Mungkin begitu. Tapi, yang aku rasakan… cinta itu tak terbatas oleh kasta, tak peduli siapa kita atau dari mana kita berasal. Yang penting adalah hati yang tulus.”
Siti terdiam. Kata-kata Arif menembus hatinya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang memudar dalam dirinya, semacam batas yang selama ini ia buat antara dirinya dan Arif. Namun, ia tahu bahwa ini adalah cinta yang penuh dengan tantangan.
“Saya hanya seorang gadis desa, Arif. Saya tak sebanding denganmu. Kamu anak Kiai, dan hidupmu sudah dipenuhi dengan harapan-harapan besar. Saya… saya tak bisa membebani hidupmu dengan cinta yang tak mungkin terwujud,” kata Siti dengan suara bergetar.
Arif memandang Siti dengan lembut. “Siti, cinta tidak mengenal batas. Memang, ada banyak hal yang menghalangi kita. Tapi, jika kita ikhlas, apapun bisa terjadi. Kita harus belajar untuk mempercayai jalan yang Tuhan takdirkan.”
Siti menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasakan ada sesuatu yang berat dalam hatinya, rasa cinta yang tulus namun juga rasa takut akan perpisahan yang tak terhindarkan.
“Arif, aku takut. Takut cinta ini akan mengubah segalanya. Aku takut jika kita saling mencintai, justru kita akan saling menyakiti.”
Arif menghela napas panjang. “Kadang, kita harus siap untuk mencintai, meski tahu bahwa cinta itu bisa berakhir dengan perpisahan. Namun, yang terpenting adalah kita menjalani cinta itu dengan penuh keikhlasan.”
Matahari semakin meredup, dan angin sore semakin sejuk. Siti tahu, bahwa perasaan ini adalah sebuah kisah yang tak mudah, namun juga tak bisa ia tolak begitu saja. Di hati kecilnya, ia merasa bahagia hanya dengan mengetahui bahwa Arif juga menyimpan rasa terhadapnya meskipun mereka terpisah oleh dunia yang berbeda namun masih mampu melihatnya sebagai seseorang yang layak dicintai.
Saat mereka berpisah, Siti tahu bahwa cinta ini tak akan pernah terungkap sepenuhnya. Cinta yang ia rasakan akan tetap terpendam, seperti tanaman yang tumbuh dalam diam. Namun, ia merasa bersyukur, setidaknya ia pernah merasakan cinta yang begitu murni, cinta yang mengajarkan ketulusan, meskipun tak bisa bersama.
Dan seperti itu, kisah cinta mereka berakhir di antara doa-doa yang tak pernah terucapkan, di antara harapan-harapan yang tersimpan dalam hati masing-masing.
Penulis: Lian