Malam jumat yang mencekam, bulan yang seharusnya ceria kini tampak buram. Aku masih berdiri menempel di dinding yang berada di samping pintu. Orang-orang aneh di ruangan kantor BEM tampak pucat, wajah mereka bopeng dan mulutnya lebar. Gigi-gigi besar dan iler meleleh keluar dari mulut berbau busuk. Bibir mereka tidak bisa untuk sekedar menutup. Semua mata melotot seperti hantu yang ingin mengajak pergi ke dunia gaib, akan menyeret tubuhku untuk melompat ke jurang. Satu diantara mereka bergerak mendekat ke arahku, jantungku dilanda ketakutan besar, tubuhku gemetar melihat tubuhnya menjadi meleleh, matanya yang keropos dan mulutnya yang hancur. Jiwaku terguncang dan memberi isyarat untuk segera berlari kencang, menghindar dari hantu mulut besar, tetapi semakin cepat aku berlari semakin dekat dia mengejar.
Kini bulan tinggal separuh, malam ini sinarnya buta. Aku tunggang-langgang melewati gang-gang sempit. Melarikan diri dari kejaran hantu menuju puncak gedung kampus. Melompati satu persatu anak tangga dengan sekarat. Saat ini aku mendapati teror amat besar. Terbayang sebuah kematian akan segera datang dan sadar bahwa pelarian ini adalah sia-sia. Tidak sejengkalpun hantu dower itu menjauh dariku meski aku berlari kencang dan dia hanya melangkah pelan.
Aku berteriak meminta tolong tetapi tidak ada yang mampu menolong. Malam begitu sepi. Semua orang telah tidur di kamar tidur mereka. Hanya berlari dan berlari yang bisa kulakukan. Sehingga kudapati diriku telah sampai di puncak gedung dan kurasakan ajal akan segera tiba. Tidak ada tempat untuk berlari lagi kecuali melompat dari ketinggian 35 Meter. Dalam ketinggian ini aku tahu jika melompat tidak mungkin bisa hidup. Tubuhku akan hancur, tulang-tulangku remuk dan kepalaku menggelinding entah kemana. Namun ketakutan membuatku tidak berpikir kesana. Aku segera mengambil ancang-ancang untuk melompat sambil berteriak minta tolong akan tetapi sia-sia. Aku benar-benar melompat dari puncak gedung kampus. Menantang kematian.
Kutemukan diriku di balik semak-semak bersembunyi dari kejaran hantu mulut besar. Dia masih berada di sisi lain tetapi saat aku mencoba mengintip, tiba-tiba dia sudah berdiri di depanku. Kepalanya berubah menjadi kadal dan tubuhnya membengkak. Aku berteriak sekarat dan berlari sesisa mampuku. Aku tidak tahu kapan akhir dari pelarian ini.
Cahaya itu muncul di depan sana. Aku melihat kakek Pocet duduk di kursi goyang. Kemudian muncullah persepsi kalau harapan hidup masih ada. Aku semakin cepat berlari mendekati Kakek Pocet. Menghindar dari hantu kepala kadal. Tapi yang kutemukan lebih menyakitkan lagi. Kursi goyang kakek, berlari menjauhiku. Aku berteriak “Berhenti!, berhenti!,. tolong aku kek, tolong aku kek!” kakek Pocet tidak menoleh sedikitpun. Kursinya semakin cepat menghindariku. Malam membuatku semakin putus asa, gelapnya adalah bau kuburan. Kakek dan kursinya lenyap di balik pohon Bindeng. Kini aku sekarat dan mampus. Harapan untuk hidup telah punah. Disamping nafasku tersengal aku menangis gila. Tidak ada yang bisa menolongku dari kejaran makhluk berkepala kadal kecuali mata telah terbuka.
Ya! Kini aku selamat. Terperanjat dari tempat tidur dan lolos dari ancaman mimpi buruk yang mengerikan. Tubuhku basah oleh keringat. Mataku masih melotot dan nafasku masih terputus-putus. Jam menunjukkan sekitar pukul dua malam. Aku beranjak dari tempat tidur. Mengambil air dalam kulkas dan meminumnya hingga habis satu botol.
Ternyata malu tadi siang membuatku terbawa kedalam mimpi buruk. Saat semua orang di kantor BEM mencampakkanku di lingkaran rapat karena menganggap mulutku banyak bacot. Memberi sebutan omong kosong atas nama diriku. Tidak seorangpun menilaiku sebagai manusia normal. Wibawa sebagai seorang yang lahir tanpa cacat hancur terbangkalai bahkan lebih hina dari picek mata, budek telinga atau bisu.
“Coba saja Suhai diam dan tidak banyak omong, mungkin saja aku akan segan dengannya!” Nuhat beber gosip di toilet kampus, di suatu hari ketika aku lewat.
“Ah, kau ini. Mana mungkin kebiasaan cerewet yang sudah mendarah daging bisa hilang begitu saja.” Teman di sebelahnya ambil bagian.
“Kenapa dia tidak mikir ya!? Kalau kita eneg mendengar banyolan dan sok ngalawak dia yang tidak jelas itu.” Lanjut Nuhat seolah berkuasa atas pribadiku. Semena-mena membicarakan mulutku yang dia anggap bocor.
Percakapan Nuhat bukan sekali dua kali terdengar dari balik pintu kelas. Dia seolah tidak merasa telah melukai seseorang. Saat cerita tentang mulutku menjadi topik utama, telinga serasa digigit semut merah. Mencabik-cabik perasaanku sebagai teman sekelas dan teman seorganisasi BEM. Menelanjangiku sebagai manusia yang ingin dianggap. Namun apa daya hakku untuk marah kalau yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran mutlak. sedang aku secara sejati juga merasa benci pada mulut bocorku. Ucapan yang keluar darinya adalah musuh yang meruntuhkan kerajaan citra manusiaku. Sebuah konspirasi besar terjadi pada tubuhku.
Rapat koordinasi tadi siang menjadi berantakan karena mulutku. Kenapa kok tiba-tiba bibirku membahas gosip retaknya hubungan Asri dan Darto yang tidak ada sangkut pautnya dengan pembahsan rapat. Tak juga karena Arsi cantik.
“Mereka itu putus karena ada orang ketiga. Tidak mungkin hanya gara-gara Asri tidak mandi dua hari Darto rela melepas kecantikan Asri, Eman-emanlah. Ya, saya pikir memang ada orang ketiga. Selain si Asri cantik tentu ada sebab lain. Lagian Asri centil sih! Reno kamu mau gantiin Darto? Peluangnya besar kawan ha ha ha. Baik kita lupakan itu! Acara seminar budaya akan kita laksanakan minggu depan. Tinggal kita urus berkas-berkasnya!” secara spontan kalimat itu meluncur dari mulutku. Semua anak di ruang rapat diam menatapku. Akupun baru sadar hal jelek telah terjadi melalui mulutku. Membicarakan orang di tengah rapat. Hal buruk itupun terjadi. Sebelum kuralat ucapan. Nuhat telah berdiri menyangga kedua tangannya ke meja, garis mukanya tidak bersahabat. Pantas karena nama Asri yang kubicarakan adalah sepupunya.
“Kamu kalau ngomong jaga ya! saya disini mendengarnya. Perlu Suhai tahu, sepupu saya bukan keganjenan dia anak baik-baik. Kok tiba-tiba kamu ngomong centil, gak mandi dua hari, maksud kamu apa?” Nuhat betul-betul marah, ucapannya membuat semua mata menjatuhkan pandangan ke arahku. Tergegap, ya! Aku pucat pasi. Mendadak semua ruangan berubah menjadi gelap hanya lampu dop bergelantung di atas kepala seperti berada di ruang interogasi.
“Kami tahu kalau kamu pembohong!”
“Kami selama ini tahu kamu terlalu bocor untuk seorang ketua BEM. Biar, biar! Saya sudah lama ingin mengatakan ini. supaya dia mikir. Kita-kita ingin lebih serius. Serius Hai!”
“Ingat! kalau omongan busukmu itu kedengaran Asri kamu mampus!” Nuhat bukan hanya berani mengataiku tapi dia sudah berani mengancamku. Orang yang dalam struktur adalah Ketua.
“Sekarang jawab! Kenapa kamu ngomongin Asri?” aku tergagap menerima pertanyaan sulit dari Nuhat.
“Ya… Biar tidak tegang. Biar kita Refresh” ucapan gagap itu keluar dari mulutku saat masih duduk membeku. Ketika sedang terperosok ke dalam wilayah non-manusia. Setara antara ada dan tiada. Lemah mengecilkanku seolah menjadi tumpuan nista. dan semua itu adalah ulah mulut nyinyirku. Dia bergerak sendiri tanpa kendali otak. Memberontak dari bagian tubuhku yang lain. Dia adalah penghianat diatas penghianat.
“Saya heran! kamu ini adalah Cucu kakek Pocet. Kok bisa punya mulut parah seperti itu?” Nuhat lagi-lagi menamparku dengan ucapan. Dia semakin memperparah keadaan yang sudah parah. Kaki dan tubuhku seperti halnya kursi, ketiganya sama-sama mati.
Nuhat membanding-bandingkan diriku dengan kakek Pocet. Seorang tua yang pendiam dan disegani semua orang. Dia kakekku yang kemampuan bicaranya hanya sepuluh persen. Kakek yang kucurigai menderita bisu ringan. Mulutnya tidak berbicara kecuali ditanya orang. Tapi orang-orang tidak bosan berbicara dengannya. Sosok yang menurutku agak bisu. Dan berbanding terbalik dengan diriku. Buktinya kalau kakek Pocet di segani orang maka aku disepelekan orang. Bila kakek Pocet berbicara sedikit maka aku bicara banyak. Bila ada orang berbincang dengan kakek maka orang itu yang lebih banyak bertanya dan mencari bahasan sehingga kakek tinggal menjawabnya. Tetapi bila ada orang berbincang denganku maka aku yang harus bekerja keras mencari topik pembicaraan, dan sering-sering bertanya agar nyambung. Itupun sering aku tidak dipedulikan. Bila orang-orang merasa enak berbicara dengan kakek Pocet maka lain halnya denganku. Tidak ada sedikitpun kharisma dalam diriku.
Dan akulah bukti bahwa tidak semua buah jatuh di dekat pohonnya. Aku lahir dari kelainan gen yang berimbas pada kelainan nasib. Dan penyebab kelainan itu hanya terletak pada satu titik yaitu mulut.
****
Kamarku masih tampak gelap. Ada seekor kunang-kunang masuk melalui celah jendela mengelilingi seluruh ruangan dan hinggap di dinding. Aku keluar dari kamar. Melangkah menuju kamar Kakek Pocet. Orangnya masih tidur lelap. Kursi goyangnya menghadap keluar jendela. Cahaya bulan menembus genteng kaca membuatku dapat melihat wajah kakek Pocet cukup jelas. Dalam tidurnya terpancar karisma seorang tua. Senyum sosok yang disegani. Senyum manusia yang telah di manusiakan. Mempunyai tempat di mata setiap orang. Tidak ada perkataan nista keluar dari bibir keriputnya.
Kukeluarkan kaca cermin yang kubawa dari kamar. Meski malam tampak gelap tapi sedikit sinar bulan membuatku bisa melihat muka dalam keburaman malam. Memandangi wajahku disana dan membandingkannya dengan wajah kakek Pocet. Ternyata mirip! Mata, pipi, telinga, Bentuk mukanya yang oval. Dan bentuk rahang perseginya, persis!!. Beda karena dia sudah keriput dan aku belum. Tapi kenapa kesamaan ini tidak memberi kesamaan pada nasib. Siapa sebenarnya diriku ini? Kenapa kemanusiaanku begitu berbeda dibanding Kakek Pocet?
Kenyataan ini membuatku pantas menuntut keadilan Tuhan. Menuntut hak keturunan. Meski tidak diberi kesamaan persis tapi beda sedikit tidak apa. Bahkan seumpama Tuhan membuatku bisu seumur hidup atau mengirim petir menempeleng mulutku yang bocor aku rela. Asal aku bisa menjadi manusia.
Ada rembasan air di mataku disebabkan lamunan perjalanan kehidupan masa lalu. Aku bukan tidak mencoba menjadi seorang pendiam. Pernah kucoba beberapa kali tapi selalu gagal bahkan pernah sampai dua bulan tidak berbicara dengan orang-orang sehingga aku merasa menjadi penjara. Mulutku terus memberontak keras menjadikan citra yang dibangun dua bulan hancur hanya dalam lima menit bicara.
Mendengar sergukan ingusku, mata kakek tiba-tiba terbuka. Dia bangun dari tidur. Melihatku yang hampir menangis kemudian kakek menyingkap selimut. Tangan rentanya diletakkan di pundakku.
“Ada apa Hai?”
“Aku tidak sanggup lagi Kek. Aku telah kalah Kek!. Semua orang mengataiku pembohong. Tidak ada lagi yang mempercayaiku. Mulutku terlalu nyinyir Kek!”
“Apa yang kau katakan Hai?”
“Aku kek. Aku. Orang-orang selalu membandingkan aku dengan kakek. Kenapa mulutku banyak omong sedang kakek tidak. Kenapa orang segan pada kakek sedang padaku jijik. Kenapa orang gampang mengolokku sedang pada kakek tunduk. Kenapa kakek dianggap hebat sedang aku ada atau tidak ada sama saja. Kenapa kakek pendiam sedangkan aku banyak bacot, membicarakan orang-orang. Kenapa aku sendiri tidak sanggup menahannya. kenapa kek. Kenapa?” yang kutanyai masih diam “Atau jangan-jangan aku bukan cucumu?” tangan kakek bergetar. Matanya melotot. Setiba-tiba langsung menampar mukaku. Sangat keras!
“Apa? Suhai pikir kakek tidak bisa merasakan apa yang Suhai rasakan? Suhai pikir kakek tidak pernah mengalami apa yang terjadi pada Suhai saat ini? Suhai pikir kakek tidak pernah mengalami hal buruk seumur hidup? Suhai pikir kakek sudah hebat sejak lahir? Oh. Jadi Suhai belum tahu kalau Kakek hampir mati gara-gara minum racun serangga? Jadi Suhai belum tahu kalau nyawa kakek hampir melayang gara-gara habis minum racun kemudian gantung diri di dapur? Heh. Suhai salah besar. Kakek masih ingat, kalau seandainya tidak ada Tarmin yang menolong Kakek dan cepat-cepat mengantar ke rumah sakit mungkin sekarang Suhai tidak bisa melihat kakek disini.” Kakek Pocet meninggikan suaranya, matanya menatap genteng kaca. Melihat bulan dengan menghubungkan tragedi bunuh dirinya. Agak lama kekek diam.
“Dulu. Kakek membuat dua keluarga tetangga di kampung berantakan karena omongan kakek. Membatalkan lamaran keponakan karena calon suaminya kakek anggap tidak cocok. Membuat suasana rapat Kepala Desa hambar karena kakek melawak, dan mengajukan usul tidak serius. Kakek malu Hai! Padahal kakek tidak ingin seperti itu. Kakek benci punya mulut nyinyir, tapi mulut kakek berbicara sendiri, dia seolah tidak bisa dikendalikan sehingga tahu-tahu semua sudah berantakan. Kalau malam datang sering kakek bermimpi mempunyai kehidupan seperti orang biasa. Mempunyai citra kemasyrakatan. Terlepas dari keterplesetan ucapan. Sehingga pada akhirnya oleh sebab mimpi-mimpi itulah kekek menemukan dua pilihan. Pilihan pertama minum racun serangga dan gantung diri di dapur dan kedua terus berusaha diam dan bersabar. Tapi kakek memilih yang pertama karena kakek bodoh.” Kakek menarik napas sebantar wajahnya ditundukkan beberapa saat dan kembali menatapku.
“Tapi Allah berkehendak lain. Kakek masih diberi kesempatan hidup dan membuat keturunan. Dan sekarang seandainya Kakek disuruh memilih kembali antara dua pilihan tadi maka akan Kakek pilih yang kedua. Sebab berjuang melawan kemunafikan adalah jihad Fi Sabilillah.
*Zainuddin AK bin Sugendal, adalah cerpenis Pesantren Tebuireng Jombang asal Sampang MaduraDuduk di kelas 4 Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ri Tebuireng. Ia bergiat di Majalah Tebuireng dan KOPISARENG (Komunitas Sastra Santri Tebuireng)