sumber gambar: http://www.suarapemredkalbar.com

Oleh: Yayan Mustofa*

Sebut saja Wildan, balita yang telah meninggal di usia tiga tahunan itu. Ia mengidap penyakit kelanjar di kepala. Sekilas pandang, tubuh terlihat kecil dan kepala membesar. Orangtuanya sudah kehabisan harta bahkan minus untuk mengobatkan ke sana ke mari. Terakhir, hanya berobat jalan ala kadarnya.

Memperhatikan keadaan tersebut, tetangga depan rumah ingin membiayai operasinya kalau kedua orang tua tersebut berkehendak. Sebenarnya, beberapa pengobatan terkahir sebelum menawari operasi, tetangga depanlah yang menanggung beban biaya karena rasa iba. Akan tetapi, Wildan sudah tidak berkehendak. Ntah rasa sakit atau apa yang membimbing jawaban ogah pada bibirnya. Selang beberapa minggu, Wildan pulang ke rahmatullah.

Bulan berikutnya di tahun 2003, tetangga tersebut naik haji. Seperti kata banyak orang, Ka’bah selalu punya cerita. Di sana, si tetangga bertemu dengan Wildan. Bahkan ia sempat melayani tetangganya sebagai ungkapan terima kasih yang belum terucapkan semasa hidup. Tetangga itu percaya tidak percaya dengan apa yang dialami. Sebab ia mengkuti prosesi pemakaman Wildan.

Sepulang dari tanah suci, ia langsung berkunjung ke rumah Wildan dan membagi ceritanya. Ibu Wildan pun sedikit meragukan ceritanya, sebab ia sebagai ibu tidak lagi pernah bertemu setelah pemakaman. Tapi si ibu juga tidak bisa mengabaikan ceritanya karena si tetangga terlibat sejarah dengan Wildan. Tujuh saudara dan bapak Wildan juga tidak pernah bertemu. Mimpi hanya sekali yang dialami bapak setelah tujuh hari pemakaman.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Beberapa hari berikutnya, ketika kemenakannya pulang dari pondok dalam rangka liburan, ibu Wildan berkunjung untuk menanyakan tentang cerita si tetangga dari sudut pandang agama. Apakah memang benar adanya pertemuan antara yang sudah meninggal dan yang masih hidup?

Santri yang berumur jagung itu berusaha menjawab sepengetahuan yang pernah dipelajari. Katanya, ada ayat yang menjelaskan tentang anak-anak kecil yang di surga akan melayani masyarakat di sana, yathufu ‘alaihim wildanun mukhalladun. Hanya saja, para mufassir banyak berbeda pendapat. Ada yang mengatakan mereka adalah malaikat, wildan sendiri, dan ada yang mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak kecil yang meninggal. Barangkali anak bu lek itu menjadi Wildan yang dikekalkan.

Itu nanti ketika di surga. Kalau di Ka’bah dunia ini si Wildan sudah melayani tetangga dermawan tersebut, kemenakan santri itu masih kebingungan menjelaskannya. Memang santri amatir ini pernah mendengarkan banyak cerita para kiai yang bertemu secara fisik dengan para pendahulu yang sudah meninggal di jalan Allah SWT. Tapi realitas itu mempunyai dalilnya sendiri. Bahwa kekekalan kehidupan mereka tidak menunggu proses kematian atau surga. Wala tahsabannalladzina qutilu fi sabilillah amwat itu umum tanpa menunjuk tempat. Di lain sisi, ada perjuangan. Sedangkan wildan, mengisyarahkan tempat di surga, dan di sisi lain mereka belum memperjuangkan sesuatu untuk agama.

Selepas kepulangan bu lek. Ia membaca Al Quran yang sudah menjadi rutinitas setelah shalat Maghrib. Sampai pada surat Ali Imran: 29, ia mengulangi beberapa kali dan berusaha meresapi maknanya. Qul in tukhfu ma fi sudurikum, aw tubduhu, ya’lamhullah. Wa ya’lamu ma fissamawati wama fil ardhi. Wallahu ‘ala kulli syai’in qadir.


*Penulis adalah Tim Pustaka Tebuireng.