Oleh: Almara Sukma Prasintia*
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat muslim, karena pada bulan ini terdapat banyak keistimewaan. Pada bulan Ramadhan, umat muslim yang sudah memenuhi syarat wajib puasa, maka hukumnya wajib bagi ia melaksanakan puasa. Hal ini berlandaskan pada dalil berikut ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah ayat 183).
Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa dalam ayat ini Allah ber-khitab kepada orang-orang mukmin dari kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa. Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt.
Puasa mengandung hikmah yang besar, di antaranya hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan akhlak-akhlak yang rendah.
Allah SWT berfirman, sebagaimana puasa diwajibkan atas mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan berpuasa atas umat Islam sebelum mereka. Dengan demikian, mereka mempunyai teladan dalam berpuasa, dan hal ini memberikan semangat kepada mereka dalam menunaikan kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih sempurna dari apa yang telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum mereka.
Adapun syarat wajib puasa sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Qorib ada tiga perkara, menurut sebagian keterangan ada 4 perkara, yaitu :
Islam
Orang yang tidak beraga Islam maka tidak diwajibkan berpuasa. Apabila ada orang yang agamanya non muslim ia tidak makan, tidak minum seharian, dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang membatalkan puasa, ia tidak mendapatkan pahala orang berpuasa.
Dewasa (baligh)
Apabila ada orang muslim akan tetapi ia belum dewasa (baligh) maka ia tidak diwajibkan berpuasa. Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Najah menyebutkan ada 3 (tiga) hal yang menandai bahwa seorang anak telah menginjak akil baligh.
تمام خمس عشرة سنة في الذكر والأنثى والاحتلام في الذكر والأنثى لتسع سنين والحيض في الأنثى لتسع سنين
“Ketiga tanda baligh tersebut adalah sempurnanya umur lima belas tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, keluarnya sperma setelah berumur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, dan menstruasi atau haid setelah berumur sembilan tahun bagi anak perempuan”.[1]
Seorang anak yang sudah mengalamami salah satu dari tiga tanda tersebut maka sudah bisa disebut baligh.
Berakal sehat
Maksud dari berakal sehat adalah orang tersebut bukan orang bodoh, orang tersebut bisa menahan diri dari hal yang batil, dan bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Orang yang akalnya tidak sehat tidak diwajibkan untuk berpuasa. Meskipun ia orang Islam dan sudah baligh akan tetapi akalnya tidak sehat kewajibannya puasa gugur karena salah satu syaratnya tidak terpenuhi.
Kuasa (mampu) mengerjakan puasa.
Orang muslim yang sudah dewasa dan berakal sehat akan tetapi tidak mampu atau tidak kuat untuk melaksanakan ibadah puasa karena ada alasan ‘udzur syar’i seperti karena sudah pikun, atau karena sakit yang apabila kita puasa maka akan bertambah sakitnya dan mengakibatkan bahaya untuk fisik maka yang demikian itu juga tidak wajib puasa.
Syarat yang keempat (kuasa berpuasa) inilah yang dianggap gugur menurut keterangan yang mengatakan, bahwa syarat puasa itu hanya 3 perkara. Maka tidak wajib puasa bagi orang yang mempunyai sifat berlawanan dengan keempat tersebut di atas.
[1] Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safiinatun Najah, (Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 17
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari