ilustrasi mendeteksi hadis palsu

Dalam perkembangannya, hadis sangatlah berpengaruh terhadap hukum Islam. Karena hadis menjadi sumber hukum kedua setelah al-Quran. Lafadz dalam al-Quran selalu dapat diterima karena mutawatir dalam periwayatannya. Berbeda dengan lafadz hadis, yang masih butuh dikaji ulang setiap lafadz/teksnya karena tidak ada jaminan seperti al-Quran yang dijaga keauntetikannya oleh Allah sendiri.

Dari berbagai macam kajian dalam ilmu hadis, telah melahirkan banyak sekali jenis hadis seperti hadis sahih, hasan, dhaif, bahkan maudhu’. Dari contoh empat contoh yang disebutkan tadi ada satu hadis yaitu maudhu‘ (palsu) yang menarik dibahas. Sebenarnya hadis maudhu’ bukanlah hadis nabi, karena tidak bisa dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam baik dari hal perkataan, perbuatan, dan ketetapan dari nabi.

Pengertian Hadis Maudhu’

Hadis maudhu’ menurut istilah adalah:

هو الكذب، المختلق، المصنوع، المنسوب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dusta yang dibuat-buat yang dinisbatkan kepada Rasululloh sallallahu alaihi wasallam[1]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari pengertian di atas memang sejatinya hadis maudhu’ bukanlah sebuah hadis, melainkan sebuah pernyataan yang dibuat-buat dan dinisbatkan kepada nabi.

Hadis maudhu’ terbagi menjadi dua, pertama yakni:

أن يضع الواضع كلاما من عند نفسه، ينسبه إلى النبي صلى الله عليه وسلم أو إلى الصحابي

Pembuat hadis palsu membuat narasi yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau kepada sahabat.

Contoh:

 لو أحسن أحدكم ظنه بحجر لنفع

jika salah seorang daripada kalian bersangka baik dengan batu, niscaya akan menjadikannya bermanfaat baginya.

Kedua:

أن يأخذ الواضع كلاما لبعض الصحابة أو التابعين أو الحكماء أو ما يروى في الإسرائيليات مثلا فينسبه إلى رسول الله ليروج وينال القبول

Pembuat hadis maudhu’ mengambil perkataan beberapa sahabat, tabiin, atau orang bijak, atau apa yang diriwayatkan di kalangan Bani Israil misalnya (cerita israiliyyat), dan mengaitkannya/menisbatkan dengan Rasulullah agar dapat diterima

Contoh:

أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما، وابغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوما ما

Cintailah orang yang engkau kasihi sekedarnya saja karena boleh jadi kelak engkau akan membencinya. Bencilah orang yang engkau benci juga sekedarnya saja karena boleh jadi kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai

Perkataan di atas bukan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melainkan dari Ali bin Abi Thalib RA.[2]

Cara Mendeteksi Hadis Palsu

Para ulama hadis khusunya telah merancang sebuah metodologi atau semacam rumusan dalam mendeteksi sebuah hadis maudhu’, di antaranya adalah Muhammad Musthafa Azami. Dia menyebut sebenarnya ada beberapa indikator dalam mendeteksi hadis maudhu’, yaitu:

  1. Apabila suatu hadis memuat sebuah narasi yang berlebihan dan mustahil dilakukan oleh nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
  2. Pengalaman menolaknya.
  3. Jenis penisbatan yang tidak masuk akal.
  4. Bertentangan dengan sunnah yang masyhur.
  5. Menisbatkan pernyataan kepada nabi seolah pernyataan tersebut tidak dibuat di hadapan banyak sahabat tapi mereka semua seolah menyembunyikannya.
  6. Pernyataan itu tidak punya kemiripan dengan pernyataan nabi dalam hadis.
  7. Seperti perkataan orang mistikus.
  8. Bertentangan dengan al-Qur’an.
  9. Gayanya tidak pantas[3].

Selain sembilan ciri dari hadis maudhu’ di atas, penelitian kritik sanad juga sangat berperan dalam menentukan hadis itu palsu atau tidak. Karena dengan mendeteksi sejarah hidup para perawi hadis, kita mampu menyimpulkan apakah hadis tersebut sambung sanadnya sampai nabi atau tidak. Bukan itu saja, dari kritik sanad, kita mengetahui kualitas pribadi seorang perawi hadis apakah dia seorang yang dapat dipercaya ataukah seorang pemalsu hadis.

Di samping kritik sanad, penelitian teks matan hadis (kritik matan) juga sangat krusial, bisa dilihat dari rumusan tanda-tanda hadis palsu menurut Mustafa Azami No. 9, hal itu berkaitan dengan uslub bahasa Arab yang digunakan.

Jika gaya bahasa yang digunakan tidak seperti gaya bahasa yang biasa dipakai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka ada indikasi juga kalau hadis itu bukan berasal dari nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena nabi ketika berbicara terbiasa menggunkan Jawami al-Kalim yakni berbicara dengan lafadz sedikit tapi sarat akan makna.[4]

Salah satu metode lagi selain kritik sanad dan matan ialah metode Isti’nas bi qaul al-naqid min ahl al-‘ilm yaitu penelitian mencari kualitas sebuah hadis dengan mengandalkan penelitian ulama terdahulu yang sudah menelitinya. Bukan tanpa alasan, metode ini dipakai karena ada yang merasa kalau penelitian/kritik sanad dan matan sudah dianggap final karena sudah dilakukan oleh ulama terdahulu, maka kita cukup menukil pendapat mereka saja tanpa melakukan penelitian ulang.

Baca Juga: Pelajari Ini, Tiga Langkah Memahami Hadis


[1] محمود الطحان، تيسير مصطلح الحديث، صفحة ١١١

[2] محمد أبو شهبة، الوسيط في علوم ومصطلح الحديث، صفحة ٣٢٥

[3] M M Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, Terj. Meth Kieraha (Jakarta: Lentera, 2003, hal 124

[4] ابن حجر العسقلاني ,فتح الباري لابن حجر ,13/247


Ditulis oleh Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng