ilustrasi khotbah singkat

Dalam kehidupan sehari-hari, seorang teman yang baik akan memiliki rasa peka dan pengertian dengan sesamanya. Begitu juga tetangga misalnya, akan sangat dicintai oleh tetangga lainnya jika dia bisa memahami kondisi dan situasi yang ada.

Hal ini juga berlaku di dalam konteks ibadah, misalnya shalat berjamaah. Dalam hal ini, imam yang baik, adalah dia yang peka dan mengerti dengan kondisi makmum.

Sebaliknya, imam yang tidak terlalu mengerti dengan kondisi makmumnya, bisa jadi malah dibenci. Contoh konkretnya, mungkin bisa kita lihat di dalam konteks shalat lima waktu berjamaah di desa. Biasanya sosok imam yang disukai warga desa adalah dia yang paham akan kondisi mereka.

Ciri Orang Cakap dalam Beragama

Pada kesempatan kali ini, penulis akan menawarkan catatan sederhana mengenai problem yang masih berhubungan dengan realita di atas. Kita akan berbicara seputar shalat jumat. Lebih spesifik lagi mengenai khotbah dan pelaksanaan shalat.

Satu riwayat mengatakan:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

إنَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقَصْرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فأَطِيْلُوا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوْا الخُطْبَةَ وَإنَّ مِنَ البَيَانِ لَسحرًا

Sesungguhnya panjang shalat dan singkatnya khotbah seseorang, menjadi tanda dari kecakapannya mengenai agama. Oleh karena itu, panjangkanlah shalat dan ringkaslah khotbah yang kamu laksanakan. Sesungguhnya dalam penjelasan yang fasih dan menarik itu terdapat sihir.” (H.R. Imam Muslim No. 869).

Secara global, hadis di atas berbicara seputar salah satu ciri yang dimiliki oleh sosok yang benar-benar kompeten, cakap dan tahu menahu mengenai aturan beragama. Dia adalah orang yang tidak terlalu lama ketika berkhotbah, namun memilih untuk lebih lama ketika shalat. (Alwi Abbas dan Hasan Sulaiman, Ibanah al-Ahkam, [Beirut: Dar al-Fikr, 2004], juz 2, halaman 60.)

Cakap Agama Berarti Paham Prioritas    

Mungkin muncul satu pertanyaan. Kenapa kondisi di atas bisa menjadi tolak ukur dalam menilai cakap tidaknya seseorang mengenai aturan beragama? Bagaimana memahami durasi khotbah singkat dan shalat yang lama sesuai dengan konteks hadis di atas?

Sebelum menjawab beberapa pertanyaan di atas, lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu maksud dari setiap lafad yang dikehendaki di dalam hadis yang sudah disebutkan di muka. Untuk itu, pembaca perlu menilik penjelasan sebagaimana di bawah ini,

Lafad مَئِنَّةٌ secara bahasa berarti tanda atau ciri. Jadi, kalau kita gabung dengan lafad setelahnya, yakni مِنْ فِقْهِهِ bisa kita pahami bahwa singkatnya khotbah dan panjangnya shalat menjadi tanda seseorang benar-benar paham mengenai seluk-beluk keagamaan.

Mengenai lafad فِقْهِ, ulama memiliki beberapa penafsiran. Misalnya, kata “al-Fiqh” diartikan sebagai pemahaman. Ulama lain menjelaskan, makna “al-Fiqh” berarti pengetahuan akan suatu hal, baik secara tekstual atau kontekstual (esensial). (Muhammad al-Jauzi, Kasyful Musykil, [Riyadh: Dar Watn], juz 1, halaman 347).

Selanjutnya, kita akan lebih memperdalam mengenai makna yang dikandung oleh hadis di muka. Penulis akan menawarkan beberapa cara pandang ulama salaf dalam memahami hadis tersebut. Kiranya penjelasan sebagaimana berikut bisa dipahami secara sederhana oleh pembaca.

Di dalam kitab berjudul Dalilul Falihin, Muhammad Ali menawarkan satu pernyataan sebagaimana berikut:

لِأَنَّ الفَقِيْهَ يَعْلَمُ أَنَّ الصَّلَاةَ مَقْصُوْدَةٌ بِالذَّاتِ وَالخُطْبَةَ تَوْطِئَةٌ لَهَا، فَيَصْرِفُ العِنَايَةَ إِلَى مَا هُوَ الأَهَمُّ

Karena orang yang cakap dalam beragama itu tahu bahwa shalat Jumat adalah tujuan utama. Sedang esensi khotbah hanyalah pembukaan. Sehingga dia paham seharusnya perhatian lebih itu diarahkan ke shalat, bukan khotbah.”  

Beliau menambahi:

وَالخَطْبَةَ المُرَادُ مِنْهَا التَذْكِيْرُ وَمَا قَلَّ وَقَرَّ خَيْرُ مِمَّا كَثُرَ وَفَرَّ

Di dalam khotbah, yang dikehendaki adalah peringatan kepada jamaah. Sehingga, sedikit namun mengena, itu lebih baik daripada banyak namun cepat hilang dan terlupakan.” (Muhammad Ali, Dalilul Falihin, [Lebanon: Dar Marifat, 2004], juz 5, halaman 170).

Keterangan di atas senada dengan konsep yang ditawarkan oleh Muhammad al-Manawi berikut:

وَمِنَ القَضَايَا الفِقْهِيَّةِ إِيْثَارُ الأَصْلِ عَلَى الفَرْعِ بِالزِّيَادَةِ وَالفَضْلِ

Termasuk ketentuan yang ada di dalam kajian fikih adalah memprioritaskan pokok (shalat jumat) atas cabang (khotbah shalat jumat). Bentuknya bisa dengan melebihkan atau lebih mengutamakan.” (Muhammad al-Manawi, Faidul Qadr, [Mesir: Maktabah Tijariyah], juz 2, halaman 457).

Keterangan di atas ditambahi oleh Muhammad bin Ismail berikut:

وَإِنَّمَا كَانَ قِصَرُ الْخُطْبَةِ عَلَامَةً عَلَى فِقْهِ الرَّجُلِ؛ لِأَنَّ الْفَقِيهَ هُوَ الْمُطَّلِعُ عَلَى حَقَائِقِ الْمَعَانِي وَجَوَامِعِ الْأَلْفَاظِ فَيَتَمَكَّنُ مِنْ التَّعْبِيرِ بِالْعِبَارَةِ الْجَزْلَةِ الْمُفِيدَةِ

Singkat dalam berkhotbah menjadi tanda dari kecakapan seseorang dalam beragama dikarenakan dia tahu dan mampu mengutarakan hakikat dari suatu makna serta perkataan yang sedikit namun mengena. Sehingga dia sangat bisa untuk kemudian menyampaikan pesan kepada jamaah dengan ungkapan yang begitu memahamkan.” (Muhammad bin Ismail, Subulus al-Salam, [Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2006], juz 2, halaman 151).

Durasi Shalat dan Khutbah Proporsional

Pembahasan selanjutnya seputar konsep panjang shalat dan singkat ketika berkhotbah. Bagaimana memahaminya?

Di dalam kitab Bazlul Majhud, Khalil Ahmad menjelaskan:

قُلْتُ: وَالمُرَادُ بِالتَّطْوِيْلِ: التَطْوِيْلُ الَّذِيْ لَا يُثْقِلُ عَلَى القَوْمِ

Maksud dari memperpanjang shalat adalah yang tidak memberatkan bagi jamaah yang hadir.” (Khalil Ahmad, Bazlul Majhud, [India: Markaz Syakh Abu Hasan, 2006], juz 5, halaman 139).

Di lain kesempatan, Husain al-Magribi menjelaskan:

وَالمراد بِطُوْلِ الصَّلَاةِ هُنَا هُوَ الطُوْلُ غُيْرُ الَمنْهِي عَنه وَهُوَ مَا اقْتَفَي فِيْهِ بِالسُّنَّةِ النَبَوِيَّةِ – إلى أن قال – وَذَلِكَ هُوَ طُوْلٌ بِالنِسْبَةِ إِلَى الخٌطْبَةِ وَكَانَ غَيْرَ تَطْوِيْلٍ مَنْهِيٍّ عَنْهُ

Yang dikehendaki dari panjangnya shalat adalah panjang yang tidak dilarang. Hal ini sesuai dengan ketentuan Nabi. Durasi panjang itu sendiri ketika dibandingkan dengan durasi khotbah, bukan panjang yang dilarang.” (Husain al-Magribi, Badrur Tamam, [Tanpa kota: Dar Hajr], juz 3, halaman 450).

Ditambah keterangan di dalam kitab al-Mafatih, Mudhiri menjelaskan:

بَلْ مَعْنَاهُ: كَانَتْ صَلَاتُهُ طَوِيْلَةً، وَلَكِنْ لَمْ يُجَاوِزْ فِي الطَّوْلِ حَدَّه، بحَيْثُ يَحْصُلُ مِنْهَا مَلالَةٌ 

Yang dikehendaki adalah, shalat yang dilaksanakan dengan durasi lama, namun tidak sampai melewati batas tertentu. Semisal, lamanya sampai memunculkan rasa bosan.

Beliau melanjutkan:

وَكَانَتْ خُطْبَتُهُ قَصِيْرَةً، وَلَكٍنْ لَمْ تَكُنْ فِي القصرِ عَلَى حَدِّ النُّقْصَانِ 

Khotbahnya Nabi itu pendek. Namun, tidak sampai mencapai batas kekurangan (misalnya kurang dari segi rukun dan ketentuan).” (Mudhiri, al-Mafatih, [Kuwait: Dar Nawadir, 2012], juz 2, halaman 328).

Kesimpulan

Melalui beberapa penjelasan di atas, kiranya bisa menyimpulkan beberapa poin pembahasan sebagaimana berikut,

Pertama, singkat durasi khotbah dan panjang salatnya seseorang menjadi salah satu ciri dari kecakapannya dalam masalah keagamaan.

Kedua, durasi singkat khotbah yang dikehendaki tidak sampai mencacati aturan yang ada. Begitu juga panjangnya shalat, tidak sampai mencapai batas yang dilarang. Misalnya, lama hingga membuat para jamaah keberatan.

Demikianlah catatan sederhana ini disuguhkan. Semoga bermanfaat!

Baca Juga: Kecakapan Memimpin Ala KH. Hasyim Asy’ari 


Ditulis oleh: Moch Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang