cak-jahlun-logoSuatu malam Cak Jahlun diajak Kiai Sepuh mendatangi kenduren di kampung sebelah. Acaranya cukup singkat hanya doa yang dipimpin Kiai Sepuh kemudian dilanjutkan makan-makan. “Kebetulan memang belum makan dari siang” kata Cak Jahlun dalam hati. Keluarlah aneka jajanan dan buah-buahan. “Kalau hanya jajanan dan buah nggak akan bikin kenyang” gumam Cak Jahlun dengan nada kecewa.

Tanpa malu-malu Cak Jahlun melahap semua sajian yang ada di situ. Setelah isi piring Cak Jahlun habis, keluarlah nasi dan lauk-pauk dan semacamnya. “Ini baru mantab..” kata Cak Jahlun sambil menyunggingkan senyumnya. Dengan lahapnya Cak Jahlun memenuhi isi perutnya. Kurang… tambah lagi.. lagi.. dan lagi…

Dengan perasaan puas Cak Jahlun menyudahi makannya. Perutnya yang buncit kini tambah buncit lagi. “Sudah kenyang, tingal pulang nih” lamun Cak Jahlun. Belum selesai Cak Jahlun melamun, si tuan rumah mengomando “Tolong keluarkan sajian penutupnya” dengan aba-aba seperti itu kini di depan Cak Jahlun sudah tersedia sepiring pudding siap disantap.

Cak Jahlun kaget, perutnya sudah kenyang tidak mungkin diisi lagi tapi, “Cuma sepiring pudding paling Cuma nyempil di perut” pikirnya. Dalam waktu singkat sepiring pudding sudah pindah ke dalam perutnya.

 Dengan sajian penutup tadi, maka acara tayakkuran itu pun usai. Kiai sepuh  mengomando “Allahumma sholli ala Muhammad” “Allahumma sholli wa sallim wa barik alaih” jawab hadirin serempak sambil berpamitan kepada tuan rumah dan kembali ke rumah masing-masing.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kiai sepuhpun berdiri hendak berpamitan kepada tuan rumah, namun Cak Jahlun masih duduk. Kiai sepuh heran melihat santrinya tersebut, lalu dipanggilnya “Cak Jahlun, mari kita pulang” “B..Beb..Baik Kyai” jawab Cak Jahlun sambil meringis menahan rasa sakit. Ternyata kaki Cak Jahlun kram tidak bisa digerakkan akibat kekenyangan.

“Ayo Cak” ajak kyai sepuh lagi. Mendengar kyainya mengajaknya sampai 2 kali, Cak Jahlun dengan sekuat tenaga memaksakan menggerakkan kakinya yang kram, dan “PRANG..” piring-piring dan sajian di depan Cak Jahlun berhamburan ke sana- ke mari karena ketendang kaki Cak Jahlun. Semua hadirin menoleh ke arahnya. Muka Cak Jahlun menjadi merah masam menahan malu. (F@R)