Tebuireng.online– KH. Husein Muhammad jelaskan peran pesantren dan kiai dalam panggung kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini disampaikan dalam acara webinar nasional “Peran Sejarah untuk Memperkuat Eksistensi Santri di Era Modern” oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari (BEM Unhasy) pada Sabtu (24/10).

Kiai kelahiran Cirebon ini menyebutkan 4 tokoh pesantren yang berperan besar dalam kemerdekan Republik Indonesia. Mereka adalah Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Wahab Chasbullah, dan KH. Bisri Syansuri.

Buya Husein panggilan akrab KH. Husein Muhammad memaparkan sebuah sejarah yang diterima dari KH. Said Aqil Siradj tentang perubahan sila pertama yang terdapat pada pancasila. Yang awalnya “Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

“Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, ada satu peristiwa penting yang menentukan masa depan Republik Indonesia. Yakni terdapat keberatan dari pihak timur dengan piagam jakarta (7 kata pada sila pertama), mereka berkata bahwa kemerdekaan ini asli dari perjuangan seluruh rakyat dari berbagai latar belakang,” ungkapnya.

Lanjut cerita, hal tersebut kemudian disampaikan Bung Hatta kepada KH. Wahid Hasyim. KH. Wahid Hasyim pun pulang ke Jombang dan matur ke Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Hadratussyaikh kemudian istikharah dan dipagi harinya setuju atas penghapusan 7 kata pada sila pertama tersebut seraya berkata.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Persatuan bangsa itu prinsip di dalam Islam. Kita tidak bisa mengisi kemerdekaan dalam keadaan bangsa yang terpecah belah,” tegasnya.

Menurut cerita yang Kang Husein sampaikan, akhirnya KH. Wahid Hasyim menyampaikan keputuasan tersebut ke panitia BPUPKI dan mereka menyetujuinya.

“Ini sangat luar biasa, saya menangis atas keberanian dan keluasan pandangan dan kelapangan dada ulama besar ini. Saya menyebutnya kiai atau ulama yang progresif tapi juga moderat yang melampaui apa yang terjadi pada pandangan-pandangan mainstream,” tutupnya.

Pewarta: Devi Yuliana