Foto Soekarno

Indonesia, sebuah negara kepulauan yang beragam, meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Di garis depan pencapaian sejarah ini adalah Sukarno, yang akrab disapa Bung Karno, Presiden pertama Indonesia dan tokoh penting dalam perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan. Ideologi politik Bung Karno sangat dipengaruhi oleh komitmennya pada Islam, yang ia pandang sebagai sarana untuk persatuan dan identitas nasional. Selain itu, ia keras kepala menentang radikalisme dan berusaha untuk menciptakan masyarakat yang pluralistik berdasarkan toleransi dan inklusivitas.

Pengaruh Islam dalam Visi Bung Karno

Bung Karno dibesarkan dengan nilai-nilai Islam dan sangat terhubung dengan warisan Jawa-Muslimnya. Sepanjang hidupnya, ia mengekspresikan rasa hormat yang mendalam terhadap Islam dan sering mengutip al-Quran sebagai sumber inspirasinya. Ia menyadari potensi Islam untuk menyatukan etnis dan budaya yang beragam, sebagai kesempatan untuk membentuk identitas bersama bagi rakyat Indonesia.

Ketertarikannya pada Islam dapat ditemukan di berbagai karyanya, khususnya di surat-surat Endeh, dan Di Bawah Bendera Revolusi. Secara lebih serius, Rahmat Sahid merangkum hubungan Bung Karno dengan Islam melalui karangannya yang berjudul “Ensiklopedia Keislaman Bung Karno” yang telah terbit pada tahun 2018 lalu.

Meskipun begitu, melalui kontemplasi yang cukup panjang, Bung Karno mempercayai bahwa negara harus bersifat sekuler dan menghormati semua keyakinan agama. Visinya mencakup sebuah filsafat nasional yang dikenal dengan Pancasila, yang menjadi dasar masyarakat Indonesia yang pluralistik. Pancasila, dengan lima silanya, menekankan atas Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial, memberikan kerangka untuk kehidupan yang harmonis antar komunitas agama (Soekarno, 2015).

Penolakan Bung Karno terhadap Radikalisme

Bung Karno adalah pejuang anti-radikalisme dan dengan tegas menentang segala bentuk ekstremisme. Ia meyakini bahwa ideologi radikal dapat mengganggu persatuan dan stabilitas negara. Selama tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, ia menghadapi tantangan internal dari faksi-faksi radikal yang berusaha memaksakan ideologi mereka dengan kekerasan. Ia berpendapat bahwa kekuatan Indonesia terletak pada keragaman dan menentang penggunaan agama sebagai alat untuk manipulasi politik.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Untuk melawan radikalisme, Bung Karno mempromosikan ide persatuan Indonesia, mendorong warga negara untuk merangkul semangat nasionalisme yang melampaui batas agama, etnis, dan budaya. Ia menekankan konsep “gotong royong” sebuah nilai tradisional Indonesia tentang kerjasama saling membantu dan solidaritas komunitas, untuk memupuk rasa kebersamaan dan mengurangi munculnya ideologi radikal.

Mulanya, nilai-nilai ini dapat dilacak sejak sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, Bung Karno mengucapkan “Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’ . Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”.

Pencapaian Indonesia yang Bersatu

Bung Karno memimpikan Indonesia sebagai negara yang bersatu, merayakan keragaman daripada membiarkan perbedaan itu menyebabkan perpecahan. Ia percaya bahwa berbagai kelompok etnis dan agama dapat hidup berdampingan secara damai, dengan mengutip falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” (Bersatu dalam Perbedaan). Falsafah ini menjadi prinsip panduan dalam menyatukan negara di bawah satu bendera, tanpa memandang afiliasi agama individu.

Pemerintahannya menekankan pembentukan lembaga-lembaga kuat yang akan menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial, dan kesetaraan bagi semua warga negara. Bung Karno meyakini bahwa dengan memastikan kesempatan dan representasi yang adil, keluhan yang sering kali memicu radikalisme dapat diatasi melalui dialog dan cara-cara damai.

Bung Karno secara konsisten mendorong dialog antar agama dan saling pengertian untuk memperkuat ikatan antara komunitas agama yang berbeda. Ia meyakini bahwa dengan memfasilitasi dialog dan saling menghormati, akan tercipta masyarakat yang harmonis, bebas dari pengaruh radikalisme.

Melalui berbagai inisiatif, Bung Karno berupaya mempromosikan pertukaran budaya dan agama, menciptakan lingkungan toleransi dan penerimaan. Ia secara rutin berinteraksi dengan para pemimpin agama dan sarjana dari latar belakang yang berbeda, menyoroti persamaan yang dapat menyatukan orang-orang.

Warisan Bung Karno dalam sejarah Indonesia sangat mendalam dan beragam. Akar Islam yang kuat mengarahkannya dalam upayanya membangun negara yang bersatu dan inklusif, di mana radikalisme tidak mendapat tempat. Melalui komitmennya pada Pancasila, dialog antar agama, dan penolakan terhadap ekstremisme, ia berusaha menciptakan negara yang menjadi contoh harmoni dan kerjasama antar umat beragama.

Meskipun tantangan masih ada, visi Bung Karno tentang Indonesia yang bersatu di bawah bendera toleransi dan anti-radikalisme tetap menjadi inspirasi abadi. Saat Indonesia terus berkembang dan berubah, prinsip-prinsip yang ia usung tetap relevan dalam membimbing negara menuju masa depan yang sejahtera dan damai. Warisan Bung Karno sebagai seorang negarawan, pejuang Islam, dan promotor anti-radikalisme akan terus membentuk karakter dan identitas bangsa untuk generasi yang akan datang.


Ditulis oleh Satrio Dwi Haryono, Santri Pondok Ngeboran, Boyolali