Ada suatu pribahasa yang berbunyi “ketika seorang tokoh wafat, maka mulai dari detik itulah ia telah menjadi teks. Dan kewajiban kita sebagai penerusnya harus dapat mengabadikan pemikiran melalui karya dan meneruskan perjuangannya.”
Begitulah yang dilakukan oleh Sahlu Fuad, Agus Ghulam, Firdaus, Ali Zawawi, Rofiqul Umam dan Dumairi. Mereka berenam mencoba untuk mengabadikan pemikiran, sepak terjang, dan juga perilaku baik dari seorang KH. Salahuddin Wahid atau biasa disapa Gus Sholah melalui buku berjudul “Gus Sholah Sang Arsitek Pemersatu Umat”.
Dalam perjalanannya hidupnya, bahkan saat memasuki usia senja. Gus Sholah memberikan pelajaran dan juga suri teladan kepada santri-santrinya bagaiamana merawat persatuan, kesatuan, dan juga mempersatukan umat yang kian hari tampak tercerai berai dalam perbedaan pandangan dan pendapat. Menurut Gus Sholah, perbedaan ialah suatu keniscayaan yang nyata dan harus dapat diterima sebagai bagian dari kehidupan.
Buku “Gus Sholah Sang Arsitek Pemarsatu Umat” menyajikan bagaimana sepak terjang beliau dalam merekatkan kembali tali-tali perbedaan yang terurai di negeri ini. Sehingga pada salah satu halaman, Prof. Dr. Abdul Mu’ti Sekertaris Umum PP. Muhammadiyah memberikan kesan terhadap sosok Gus Sholah, “Dari Gus Sholah saya banyak belajar bagaimana hidup sederhana di tengah gempita kehidupan yang hedonistik. Bagaiamana hidup bersahaja walaupun memiliki banyak alasan untuk berbangga-bangga. Kepada Gus Sholah ingin saya katakan bahwa warga Muhammadiyah sangat mencintai dan mengangumi ketulusannya membangun kerukunan yang sejati. Inilah salah satu di antara sekian banyak legasi Gus Sholah yang bisa kita warisi”. (hal 360)
Sebelum kembali ke Pesantren Tebuireng sebagai pengasuh, Gus Sholah telah mencurahkan ide, waktu dan juga tenaga untuk keberlangsungan dan kemajuan demokrasi Negara Indonesia. Beliau aktif diberbagai lini nasional, baik ikut serta mendirikan partai, mendirikan gerakan perubahan, bahkan Gus Sholah pun tercatat pernah mencalonkan sebagai wakil Presiden di putaran pemilu bersama Wiranto sebagai calon presiden.
Ide-ide beliau tertuang dalam bentuk tulisan dan telah diterbitkan di berbagai media cetak nasional antara lain surat kabar Kompas, Jawa Pos, Harian Bangsa, dan sebagainya. Melalui gagasan dan ide-ide cemerlang Gus Sholah ini, beliau dianugrahi gelar Doktor Kehormatan di bidang Manajemen Pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri Malang.
Memasuki era memimpin Pesantren Tebuireng, Gus Sholah lebih banyak mencurahkan waktunya untuk kemajuan pesantren yang didirikan oleh kakek beliau, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Sehingga dimasa Gus Sholah memimpin Pesantren Tebuireng, tercatat lembaga-lembaga baru baik dari internal pesantren sendiri yang dibangun pada masa kepengasuhan beliau, yakni Majalah Tebuireng (majalah pesantren) Pustaka Tebuireng, Website Tebuireng Online, Pusat Kesehatan Pesantren, lembaga sosial pesantren tebuireng (LSPT) Madrasah Muallimin, Kawasan Makam Gus Dur (KMGD), museum KH. M. Hasyim Asy’ari, Rumah Sakit Dhuafa, beberapa pesantren cabang Tebuireng di berbagai daerah di Indonesia.
Pada launching buku ini, KH. Abdul Hakim Mahfudz selaku Pengasuh Pesantren Tebuireng yang mengantikan Gus Sholah pasca wafat, menyampaikan bahwasanya buku ini semacam “Manaqib Al – Magfurllah Gus Sholah” dengan mengetahui rekam jejak seorang KH. Salahuddin Wahid, salah seorang di antara putra kebanggaan keluarga besar Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan tentu bangsa Indonesia umumnya.
Hari ini atau esok nanti, kita sudah tidak dapat menemukan sosok seperti Gus Sholah dalam merekatkan perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia. Tetapi, sebelum Gus Sholah beristirahat (wafat) beliau telah menyiapkan kader-kader penerus perjuangan beliau, yakni kita, santri-santri beliau yang senantiasa mencintai beliau. Teruntuk Gus Sholah mari kita hadiahkan sebait doa terbaik, Al-fatihah…
Judul buku : Gus Sholah Sang Arsitek Pemersatu Umat
Penulis : Sahlul Fuad, Agus Ghulam, Firdaus, Ali Zawawi, Rofiqul Umam & Dumairi
Cetakan : Cetakan Pertama 2021, Tebuireng Intiatives.
Tebal : XV + 517 halaman
Peresensi : Dimas Setyawan Saputra*
*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.